SENGITNYA terik di luar seakan-akan menyelusup ke dalam kafe meski sedikit pun tidak ada masalah pada mesin pendingin ruangan. Berbisik-bisik, tidak ada yang berani menegur. Tidak ada pula lelucon bahkan meski dengan Khalid sang sahabat. Tidak mempengaruhi pekerjaannya baik kerja paruh waktu di kafe maupun dengan berbagai klien sebagai pekerja lepas, tetapi rupa itu seolah-olah akan mencengkeram dan mengancam sebagai pembunuh berdarah dingin bilamana siapa pun berani mendekati. Persetan dengan para pembeli yang jahil melirik dan menggodanya.
Tebersit oleh Khalid akan menggoda sahabatnya itu karena belakangan tidak pula menghisap tembakau yang dikiranya akibat mengenal Shazia, namun kemudian ketidaktahanannya akhirnya terurai dari lisan, ia mendekati. "Gak biasanya lu kalem muram begini!"
Arqam menoleh, tidak mempermasalahkan ketika satu sikut Khalid bertumpu di atas salah satu bahu bidangnya. Ia tidak menjawab, pandangannya mengedar seperti menanti manakala ada pembeli yang butuh bantuan. "Oh iya roti!" serunya, meraih roti dari kantung celananya yang memang sejak tadi menggembung.
"Setdah! Dari tadi lu muram karena lupa makan roti?"
"Lu mau? Mumpung gua anaknya baik nih," datar Arqam berkata terlihat begitu polos, masa bodo ketika satu telunjuk dan satu jari tengah Khalid mendorong pelipisnya namun diterima juga separuh roti itu.
"Gua boleh tau masalah lo?" tanya Khalid setelah menggigit roti, karena meski terlihat sahabatnya pandai berlelucon, buram wajah itu masih kentara.
"Gua gak ada masalah."
"Gak ada masalah tapi muka lu angker tau gak! Gak ada uang buat ngerokok?"
"Gua dah berhenti ngerokok. Makanya gua makan roti aja. Isi selai kacang merah, kesukaan Umi..."
Khalid menatap datar Arqam, bersamaan juga gemas karena kesulitan menebak masalah sang sahabat. "Kangen Umi?"
"Gua khawatirin sodara gua..."
Khalid mengernyitkan kening sejenak, kemudian menjadi masygul "Jadi masalah lu bukan kangen sama Umi? Tapi sama yang didandanin Arnum waktu itu? Kenapa dia? Kalian berantem?"
Arqam menunduk sesaat, tangannya tanpa sadar agak memelintir bibir bawahnya dengan sorot mata seperti sedang berpikir. Menimbang-nimbang apakah harus berbagi cerita, ia lalu memandang wajah kaukasoid itu. "Gua pernah bilang akan ajari dia meretas, yang dengan begitu biar dia bisa meretas gua biar dia tau identitas gua. Dia tadinya gak tau nama asli gua, gua nyamar pake nama Rudiyanto, dan akhirnya dia tahu. Tapi waktu dia meretas gua, ada penelpon masuk salah sambung, trus dia minta gua retas si salah sambung ini, sama dia diretas lagi setelah gua serahin hasil retas gua perihal si salah sambung ini. Dia lalu minta gua temenin ke si salah sambung buat dia setrum. Gua cegah dia, dia marah. Dan pergi lalu blokir gua sampai saat ini."
Kedua alis mata Khalid bertaut berusaha mencerna. "Dia punya alat setrum?"
"Sengaja dia beli jauh sebelum dihubungi si salah sambung, buat jaga-jaga kalau gua orang jahat..."