Retas

Gia Oro
Chapter #35

Berdalih

LANGIT mengelabu. Satu dua titik mulai berjatuhan. Tidak deras, namun secara perlahan merata dengan rintik-rintik yang dianggap salah satu ibu dari para murid akan awet hujannya. Terpaksa agenda mengelilingi daerah sekitar rumah singgah diurungkan. Para pengajar mengajak para murid untuk melatih motorik halus dengan bermain Play-Doh. Tidak seperti sebelum-sebelumnya yang ada murid dengan tipe pembosan dan mendesak pulang pada sang ibu, kini hal itu tidak ada selain sedikit keributan kecil yang terkesan tidak berarti yaitu ketika salah satu murid yang memiliki Play-Doh sendiri tapi menyambar Play-Doh milik anak lain. Meri yang berada di dekat dua anak itu menengahi dan membicarakan baik-baik supaya tidak saling berebut apalagi tanpa izin.

Mengamati jam dinding, kegiatan Play-Doh diakhiri ketika sudah memasuki Snack Time. Para murid diajarkan bagaimana membersihkan lantai yang dikenai adonan Play-Doh. Salah seorang pengajar menggunakan nyanyian untuk memanggil tiap murid supaya duduk di tiap bangku dengan tiga meja melengkung yang kemudian dipertemukan tiap ujung bundarnya menjadi seperti lingkaran. Salah seorang pengajar lain meminta pada siapa pun di antara para murid mana yang bersedia memimpin doa. Tak lama, salah seorang ibu dari para murid datang membawakan gelas-gelas kosong dan makanan ringan untuk para murid.

Hujan turun kian deras saat tiap murid telah mendapatkan makanan ringan mereka. Selepas minum, para murid diajak berdoa atas hujan yang masih berlangsung. Materi selanjutnya adalah membacakan fabel dari salah satu buku di rak dekat dinding. Begitu antusias Meri membacakan, dengan Shazia dan Lisa memerankan diri sebagai tokoh-tokoh yang dibacakan. Sementara Freya, memantau para murid bilamana ada yang tidak memperhatikan atau berbuat jahil dengan sesama.

Setengah jam berlalu, hujan deras kian merintik. Jam bebas untuk bermain ditentukan selama beberapa menit, sebelum kemudian para murid dipanggil dengan nyanyian lagi supaya kembali berkumpul di meja untuk doa pulang. Para murid pun berkemas duduk serapih mungkin ketika pengajar mengatakan bahwa siapa yang paling rapih maka dia yang namanya disebut diizinkan pulang.

Begitu hanya para pengajar di lantai dua, Shazia yang rupanya sejak tadi menahan sesuatu di kaki tiba-tiba melesat masuk kamar istirahat. Ia menggulung celana panjang di balik gamisnya sampai ke lutut. Masa bodo, para pengajar lain yang kemudian masuk terkejut begitu melihat corak dan bekas luka di sepasang kakinya.

"Kenapa lu?" Lisa bertanya khawatir.

"Akibat pergaulan bebas!" Shazia yang tengah menggaruk dengan dilapisi gamisnya menjawab dengan lelucon, merasa berat untuk jujur. Bisa panjang ceritanya! Begitu batinnya. Mirip seperti nyeri haid yang kadang timbul kadang hilang, begitulah kakinya--kalau sedang stres. Untung saja kondisinya saat ini tidak seburuk saat di Sekolah Animasi Pertiwi. Dan lebih beruntung lagi, gangguan panik yang diderita tidak kambuh 'akibat' Arnum, meski nyatanya kakinya yang menjadi sasaran sejak keluar dari rumah sakit mengantar Arqam.

Para pengajar tidak mampu tergelak oleh jawaban Shazia, pun Shazia terhibur oleh tawa mereka.

"Serius!" Freya gemas, ada gurat entah iba namun juga bercampur jijik di wajahnya memperhatikan kaki Shazia.

"Tenang, ini gak akan menular kok!" ungkap Shazia seraya hati-hati supaya menggaruk tidak mengenai yang sudah berdarah.

"Ya tapi itu kenapa?" Meri turut bertanya.

Shazia mengembuskan napas dengan raut wajah yang sangat terlihat begitu terpaksa mengenai apa yang akan dijawabkannya, memang secara terpaksa akan ia jawab namun tentu tidak akan dipaparkannya terkait Arnum dan Arqam. Ia memilih sumber sebab yang menjadi pertama kalinya, yakni tentang patah hati pada guru idaman. "Nah jadi sejak itu kalau stres, gatal gak ngira-ngira nih kaki..."

"Nah trus lu sekarang stres kenapa? Perasaan tadi lu baik-baik aja deh...," Lisa curiga.

"Ada lah, " Shazia terpikir untuk menceritakan dirinya yang tidak nyaman di rumah sepupu sampai memutuskan pergi jarak jauh dari rumah dengan kereta api, namun ia memilih tetap menutup mulut.

"Yaudah, gua kayaknya punya obat deh buat lu...," Lisa lalu meraih tasnya, mengambil sebuah botol dengan kemasan yang didominasi warna putih dan hijau. "Gua suka make ini. Coba lu pake."

Shazia menerima dengan penuh harap bila memang melalui apa yang diberikan Lisa bisa menjadikan kakinya menjadi 'jinak'. "Gimana cara makenya?"

"Lu balurin. Itu minyak. Hm, buat lu juga boleh. Masih banyak kok. Kan sekarang lu butuh banget. Ntar kalau dah ngefek banget, bilang aja ya."

"Lu promosi?" Freya menahan tawa pada Lisa.

Lihat selengkapnya