Retas

Gia Oro
Chapter #36

Namanya Shazia

TERGAMBAR rindu di wajah keibuan itu, tidak mampu menahan gejolak dalam sanubari terhadap sulungnya yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit. Berulang kali mengusap puncak kepala si sulung, sesekali ada yang membulir jatuh dari pelupuk mata. Tidak jauh berbeda dengan sang suami yang biasanya bersikap dingin, kini gurat khawatir itu tidak mampu disembunyikan lagi.

Merupakan rencana dari Khalid dan ayahnya mendatangkan orang tua sang sahabat. Pemuda berparas kaukasoid itu meminta seorang rekan kerja untuk menjaga Arqam di IGD. Sementara ia dan sang ayah bertamu, mengenalkan diri dan memaparkan apa yang sedang terjadi pada si sulung pemilik rumah yang dikunjungi. Ketika dikatakan hari dirumahsakitkan bertepatan dengan adanya tawuran anak sekolah yang telah menjadi berita di media, dengan lekas sang umi mendesak sang abi untuk saat itu juga beranjak melihat kondisi si sulung.

Kejutan bagi Arqam kala didatangi orang-orang yang tidak mungkin dibencinya--karena pernahnya diri menjadi nakal--sedikit sesal karena tidak bisa bangun untuk memeluk umi dan abi. Berulang kali minta maaf karena tidak menemui umi abi setelah lebih memilih tinggal dengan teman-teman berandal—usai abi beri pilihan apakah kembali menjadi santri atau tidak lagi tinggal di rumah.

"Sudah, kita sudah bertemu. Kita akan bersama lagi. Arqam harus cepat sembuh ya, nak," lirih umi berkata, sementara abi tidak banyak berkata namun sorot mata menunjukkan hal yang sama sebagaimana istrinya.

Khalid lantas tidak lagi menjagai Arqam setelah kedua orang tua sang sahabat meminta supaya biar mereka saja yang menjaga. Orang tua Arqam kemudian menelpon adik-adik Arqam--karena kala didatangi Khalid dan sang ayah, adik-adik sedang tidak ada oleh urusan masing-masing di luar rumah. Berbilang jam setelahnya, adik-adik datang. Hampir tidak ada cerita yang bisa diungkapkan oleh rindu yang seakan membubung. Teringin pula para adik menemani abang mereka, tetapi tugas mereka sedang tidak bisa ditinggalkan.

Dengan kondisi kian membaik, Arqam dipindahkan dari ruang IGD ke kamar inap intensif. Bergantian umi dan abi berjaga, sementara adik-adik tidak ikut berjaga tapi tiap hari selalu datang membawa buah tangan dan berbagi cerita. Tetapi tiap abi yang menjaga, Arqam selalu gugup. Sejak memasuki usia baligh, abi menjadi lebih keras bahkan kaku, membuat seringkali persitegangan terjadi.

"Arqam harus percaya kalau Abi sebenarnya kangen dan sayang sama Arqam...," begitu kata umi waktu giliran menjaga, persis setelah abi keluar dan Arqam didapati umi terlihat tegang—yang berusaha disembunyikan. Tatapan sendu keibuan itu membuat batin sulung meleleh.

Secara berangsur-angsur Arqam berusaha melihat bagaimana abi begitu mencintainya. Canda yang pula tidak ingat kapan terukir pada waktu akhirnya terulang kembali. Tawa yang terlepas kadang membuat mereka salah tingkah seakan-akan sepasang kekasih. Namun ketika tato tersingkap, ketegangan kembali menyekat.

Arqam tidak berani menanyakan pada umi tentang abi yang kembali dingin. Tato yang dimilikinya, termasuk salah satu sebab dirinya dihadapkan pada dua pilihan sampai dengan nekad memilih keluar dari rumah. Namun tidak lama kemudian selama hari berganti hari dengan tamu yang berbeda baik dari para ustad, rekan pekerja lepas, rekan pekerja di kafe, hingga beberapa anggota komunitas olahraga menembak, dan salah satu dari anggota komunitas olahraga menembak menjadi topik karena datang kembali pada esok dengan seorang diri, abi menunjukkan gestur curiga.

"Pacarmu?"

"Bukan. Hanya penggemar," Arqam kelepasan berjenaka, dan itu berhasil membuat sang abi tersenyum kecil. Diam-diam Arqam ingin terus bisa melihat senyum itu. "Memangnya Abi mau dia jadi menantu Abi?"

"Ha? Tapi kata kau tadi...?"

Arqam lantas menceritakan dirinya dan gadis yang menjadi pertanyaan bagi abi. "Karena kemiripan nama, sama-sama 'Ar' pada awalan nama, dia 'Arnum', anak-anak komunitas menggoda kami jodohan gitu. Nah ngefek ke Arnum jadi suka beneran ke Arqam."

"Kenapa kau tak suka dia?" Abi menguji kejujuran sulungnya.

"Arqam pikir, Arnum pasti bukan tipe Abi buat jadi menantu," nada bicara Arqam terdengar menggantung. "Karena Abi mungkin lebih suka pilihan Arqam yang satu ini...," ia lalu meraih ponsel dan menunjukkan wajah seseorang di sana. "Arqam sudah melamarnya, tapi belum formal..."

Abi menatap sorot netra putranya dengan kedua alis mata yang menukik, terkejut dari sepasang matanya sangat jelas.

"Namanya Shazia."

>>>

Lihat selengkapnya