ES-es saling bergesekan membentuk irama menggugah pendengaran. Begitu memikat di bawah terik surya. Menyusul bubuk-bubuk dari minuman kemasan ditumpahkan ke blender. Segelas es yang sudah dihancurkan kemudian menyusul pula ke liukkan seisi air begitu tombol ON ditekan. Topping yang sudah siap sedia akan bertebaran di atas gelas plastik yang sudah tertuang minuman kemasan yang terblender tadi. Gerak tangan para pekerja begitu terlatih melayani tiap calon pembeli.
Sesekali dengan perhatian yang teralihkan oleh suara kendaraan roda dua yang melintasi jalanan, seorang gadis berjilbab terlihat tiada keberatan akan makin membeludaknya antrean di depan matanya. Ditempuhnya jalur terpaksa untuk menyingkir, daripada berdesak-desakan dengan para pemilik wajah tidak sabaran.
Ia mengembuskan napas saat menekan jilbab bagian leher untuk menyerap peluh. Sepasang netranya mengedar mencari setidaknya sesuatu yang bisa untuk ia bersandar--kalau memang tidak ada tempat untuk duduk. Alih-alih khawatir tidak akan mendapat giliran karena para calon pembeli yang kian berganti-ganti, kekhawatirannya justru melanglang pada sesuatu lain yang oleh 'sebuah insiden lampau' membuatnya harus meresapi lagi apa itu sebuah kosakata yang disebut 'rela'.
Sesegera kenangan akan sosok yang merupakan maniak terhadap minuman di depan matanya itu ditepis. Dirangkainya upaya agar tergiur pada kipas portabel mini yang tengah digunakan salah satu calon pembeli di antara para antrean--demi mengalihkan rasa kecewa akan sang sosok dalam benak. Arah benak lalu bertaut pada rasa syukur akan semesta yang menghiburnya dengan sosok yang lain lagi.
"Makasih ya, Shai, aku suka tasnya. Selera kamu bagus ya!"
Satu dekade lama tidak bersua sejak kelulusan jenjang masa putih biru, pesan itu sangat menawarkan batin kecewanya.
Hacker itu pasti tau semuanya...
Sebuah akun media sosial berbagi foto akhirnya diputuskan dibuatnya untuk meluapkan semua seraya lakukan pengoreksian diri. Demi menghindari kesalahpahaman, akun itu disengajakannya tidak mengikuti akun apa pun dan tidak diikuti akun siapa pun. Sebut saja diari digital. Lebih aman, ketimbang buku diari yang secara fisik sangat berisiko ditemukan orang yang tidak diinginkan dan riskan untuk dibaca. Diharapkan sekali tiada yang membaca tiap tulisan-tulisannya yang kian 'menelur'. Namun demikian tidak menjadikan dirinya merasa tenang, atas perasaan pada sosok lain yang 'turut serta memiliki' ponsel atau akun-akun media sosialnya.
"Lama banget ya!" Seseorang mengeluh. Berjongkok tidak jauh dari dirinya. Tidak jelas benar rupa pemuda bertubuh jenjang itu meski topi dikenakan dengan pet di belakang, tetapi masker medis yang digunakan menutupi sebagian wajah.
Penekuran atas sosok peretas yang diyakini menjadi penyusup ponsel dan segala akunnya terhempas oleh keluhan pemuda itu. Memandang. Dengan wajah berpikir. Sedikit terkejut atas kehadiran pemuda itu yang sebelumnya tidak ada di dekatnya--mungkin benaknya hampir tenggelam pada sang penyuka minuman blender dan seseorang lain yang menjadi penawar perih atas sang penyuka minuman blender—membuatnya tidak sadar tahu-tahu sudah ada seorang pemuda yang berjongkok di dekatnya. Sesaat kemudian memilih acuh tak acuh. Oleh memori buruk pernah dibekap saat sepulang dari wawancara kerja, gadis itu akan berhati-hati untuk sedikit menyingkir. Mungkin traumanya masih belum benar-benar pulih. Ia pun berusaha tidak merutuk takdir sebagai perempuan yang dari zaman mana pun selalu menjadi sasaran kriminal--terlepas kau cantik atau tidak.
"Lagi ngantri juga?" si pemuda jenjang itu bertanya sok akrab, lalu berdiri.
Si gadis mengangguk. Mulai merasakan sekujur tubuh menebarkan alarm waspada untuk penangkisan terhadap perbuatan yang tidak terduga nantinya.
"Kamu mau apa? Sekalian aja yuk! Saya mau Matcha! Kamu?"
"Ah tidak. Saya tidak sedang mengantri." Oleh ketakutan dari rasa trauma, refleks saja bicara begitu. Akan berbalik meninggalkan tempat--bahkan sudah berpikir untuk berteriak bila dirinya akan diikuti.
"Ada koin gak?" pertanyaan ini membuat si gadis menghentikan langkah dan menoleh.