Retas

Gia Oro
Chapter #3

Kontrol

"EH hacker, sebenarnya kamu meretas apa sih? Oh iya, waktu itu kamu bilang kartu SIM dan akun-akun media sosialku ya? Kenapa kamu biarkan aku login lagi?"

Alih-alih membalas pesan Rudiyanto terkait sosok yang disebut sebagai bambu manis, tulisan di atas diketikannya ke akun media sosial berbagi foto yang bernama pengguna Blueberry pada fitur cerita.

Beruntung, Freya dan Lisa tidak menagih kenapa ponselnya dikunci dengan pola yang rumit. Keriangan dan keseruan tetap berlangsung antara mereka dengan para murid, meski tidak ada satu pun yang tahu bahwa Shazia dengan kepala sekolah sedang dalam keadaan 'dingin'. Tulisan teruntuk Rudiyanto di atas cukup seakan menjadi wasit antara kondisi batinnya perihal kepala sekolah.

Berawal komentar Tiara sang kepala sekolah yang juga merupakan kakak pembina Rohis-nya di masa SMA, mengomentari kepindahan domisili Shazia dari satu kabupaten ke kabupaten lain. Momen kala itu sangat tidak tepat, sebab Shazia sedang dirundung duka oleh sosok yang dikiranya sahabat tapi sosok itu seperti tidak menganggap hal yang sama, dengan sudah cukup jelas dari tidak diundangnya Shazia ke hari pernikahan Iqlima si 'sahabat'. Merasa bertepatan pula pindah rumah--diharapkan bisa menghindari Iqlima yang sebelumnya bertempat tinggal tidak cukup jauh, Tiara berkomentar pada status di aplikasi perpesanan Shazia yang berbunyi "Bismillah semoga rumah baru kali ini adalah berkah."

Aaarrrg!!! Ck!

Mengerang dan mendecis di dalam hati, Shazia merasa kembali perih bila mengingat komentar Tiara yang mengaku perhatian dengan memintanya pindah bekerja karena jarak yang cukup jauh untuk Shazia bertubuh rentan. Belum memproses benar untuk memulihkan diri dari luka sang 'sahabat', Tiara justru memintanya berhenti, padahal tempat bekerjanya saat ini adalah satu-satunya harapan untuknya bertahan, sebab berhadapan dengan anak-anak akan membuatnya mau tidak mau memasang rupa ceria dan demikian berangsur-angsur mempengaruhinya ceria sungguhan--selain dijadikannya jarak tempat mengajar dan domisili yang sangat jauh sebagai tantangan supaya makin memperhatikan kesehatannya yang memang rawan sejak kecil.

"Nomor antrian 218"

Suara mesin dari layar antrean ruang tunggu poli penyakit dalam membuat segala lamunannya terhentikan. Ia harus sadar bahwa ia tidak sedang berhadapan dengan Iqlima atau Tiara. Diubahnya perhatiannya pada angka di layar monitor, dibandingkannya dengan angka dari secarik kertas yang didapatinya dari bagian pendaftaran. "Nomor 281," ia mengeluh karena nomornya yang masih sangat jauh.

Memandangi calon-calon pasien lain yang kebanyakan manula atau orang tua dan hampir semuanya ditemani pasangan atau kerabat mereka, membuat Shazia kembali teringat pada Tiara yang pernah menaruh iba karena Shazia kontrol ke rumah sakit seorang diri. Shazia tidak tahu kalau ke rumah sakit harus ditemani atau tidak. Lagipun ia nyaman sendirian, dan ia juga sedang tidak dalam keadaan gawat darurat yang membutuhkan orang untuk membawa atau menemaninya.

Hampir murung, merenungi diri mengapa begitu rentan. Ia mencurigai kondisi psikisnya yang kemungkinan buruk, mengakibatkan fisiknya kerap tidak stabil. Melihat pasien lain ada yang menemani, Shazia mendadak ingin pula ada yang menemani supaya kelabu perasaannya tidak menguat.

Teringat cemilan yang sengaja dibawa, ia akan menunggu panggilan sambil menikmati cemilan. Seraya sesekali memandang layar monitor yang terpasang di dinding, menampilkan urutan panggilan--yang rupanya lebih sering tidak berurutan!

Setelah menghabiskan sebungkus kemasan biskuit lapis dengan rasa Blueberry, ia memainkan ponsel, terlintas sosok Rudiyanto. Merasa geregetan, kenapa peretas itu tidak membalas tulisan di fitur cerita pada akun dengan nama pengguna Blueberry-nya, dan merasa heran mengapa tidak ada pesan lagi sejak ketahuan Lisa waktu lalu.

Awang-awangnya perkara Rudiyanto membuyar oleh lambung yang mulai berdendang meski telah terasupi cemilan, namun ia harus bersabar untuk makan bekal siang.

Lihat selengkapnya