PANDANGAN mereka masih bertaut. Cukup lama untuk hitungan orang yang sedang berdiri. Ada pemaksaan dari diri untuk menantang oleh Shazia, namun ketakutan yang dibaluti keraguan juga memerangkapi gadis berjilbab itu. Sedangkan, pemuda di hadapannya juga tidak melepaskan tumpuan pandangan.
Sepersekian detik berlangsung, waktu seakan menguap tanpa ada kesan apa-apa. Shazia melengos. Berpikir, untuk apa saling beradu pandang seperti salah satu serial drama komedi yang ditokohi keluarga penghipnotis yang anaknya berusaha menghipnotis sang Papa. Sudah berganti-ganti pula pengunjung masjid rumah sakit yang keluar masuk, gadis itu memilih bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, akan memutar arah menghindari sang peretas menuju apotik.
"Benar-benar tidak bisa bicara ya?" Si pemuda menghentikan langkah korbannya yang diyakininya sudah ke sekian kali.
Shazia berbalik badan. Nada suara pemuda itu terdengar heran, dan dirinya pun juga tidak lebih demikian. Benar-benar diarahkan badannya menghadap sang peretas, sepersekian senti mempersingkat jarak namun tetap membentang dengan tatapan menyipit curiga.
"Kamu benar-benar Rudiyanto itu ya?" Shazia akhirnya mengabulkan 'permohonan tersirat' sang peretas untuk bicara, dengan mengajukan sebuah pertanyaan yang berkesan meminta kepastian sekaligus konfirmasi.
Sang peretas tidak menjawab, justru memasang wajah heran yang menjurus pada ekspresi polos seperti anak di bawah umur yang belum alami pubertas.
Tebersit suatu hal, Shazia meraih ponsel, membuka aplikasi penyedia layanan operator SIM, kemudian mendekat sedikit untuk menunjukkan layar dari benda elektronik tersebut. "Jadi Rudiyanto ini kamu?"
"Hmmm? Namanya sudah diganti...," pemuda itu mendekatkan wajahnya ke layar ponsel korban peretasannya.
Shazia membeliak, menarik tangannya, memandang nama yang bertengger di aplikasi. Dalam diam, malu menggerogotinya karena nama Rudiyanto sudah ia ganti menjadi namanya. Beruntungnya demi mengalihkan rasa malu, ia menemukan hal lain untuk ia tagih pada Rudiyanto si peretas. "Coba lihat KTP kamu!"
"Oh, sebentar," Rudiyanto tanpa diduga dengan mudahnya memenuhi permintaan korbannya.
Shazia kira permintaannya akan ditanggapi dengan main-main, namun pemuda di depannya benar-benar mengeluarkan dompet. Gadis itu merasa tidak sabar saat melihat Rudiyanto memilah-milah kartu yang dikeluarkan semua dari dompet. Namun ia berusaha tetap tenang, sampai akhirnya kartu yang dipinta ditarik juga oleh sang pemilik.
Mata Shazia mulai menyipit ingin menyorot sebaris nama. Akan tetapi si pemuda yang tahu ketidaksabaran sang korban, mempermainkannya dengan mengangkat kartu identitas itu setinggi-tingginya supaya pandangan dan tangan sang korban peretasan tidak mampu menjangkau.
Shazia merasa jengkel. Ia mendengkus kasar. Merasa geram telah dipermainkan. Alih-alih menghajar dengan kata-kata yang hampir dikeluarkan, ia lebih memilih berbalik akan menuju tujuan semulanya.
"Rudiyanto bukan nama saya," pengakuan ini membuat sang korban kembali menghentikan langkah dan membalikkan badan lagi menghadap kepada si peretas. "Saya memiliki banyak nama di dunia maya, sebagaimana kamu yang sering menggonta-ganti nama demi privasi. Apalagi saya menyelam di dunia hacking!"
Shazia merasa seakan-akan tertangkap basah karena tindakannya sering gonta-ganti nama dari berbagai akun yang dibuatnya diketahui sang peretas--untuk itulah ia sempat menambahkan akun surel dari situs pencari satu ke akun surel dari situs pencari berlogo amplop demi mengurus segala akunnya. Entah, ada hal yang tidak ingin dari dirinya diketahui oleh orang-orang tertentu. "Trus?" tanyanya berlagak menantang.
"Saya ingin kamu percaya kalau saya bukan orang jahat."