"KAMU pilih aja. Makan sendiri. Bayar sendiri. Aku duduk aja, mau nanya-nanya kamu!" Dengan sedikit ketus di raut wajahnya, Shazia berkata seraya melihat papan menu yang tergantung.
"Loh kok gitu? Kan tadi niatnya saya traktir kamu, gak bisa lah tiba-tiba kamu menolak secara sepihak begitu... Lagian kalau orang lihat, malu tau nggak!"
"Malu?"
"Iya, cowoknya makan, ceweknya nggak!"
"Hey!" Shazia berseru masygul--benaknya melayang oleh apa yang ditangkap pendengarannya seolah-olah ia dan sang peretas adalah sepasang kekasih. "Emang kamu siapa!?"
"Yang jelas aku bukan orang jahat, dan aku yakin kamu orang baik!"
Shazia melongo. Tidak bisa mengerti perihal apa yang dikatakan sang peretas, pun ia hampir dikuasai gugup oleh pikiran yang 'tidak disengajanya' tadi--berhubung sang peretas memang memiliki paras yang rupawan dan ia harap wajahnya tidak terlihat sedang bersemu merah. "Oke!" Putusnya setelah mengembuskan napas pasrah, kembali melihat papan menu. "Aku latte!"
"Aku latte juga!"
"Jangan sama!" Shazia menunjuk seolah telunjuknya sedang menjadi sebuah pisau. Tidak ada maksud apa-apa darinya mengapa tidak ingin disamakan, hanya refleks saja--mungkin oleh dikuasai gugup.
Sementara itu, para pramusaji menahan senyum melihat mereka yang dikira sepasang kekasih yang sedang tidak akur, atau 'mungkin' sebuah pertemanan lawan jenis yang sedang bertahap akan menjadi sepasang kekasih--dengan sang gadis yang begitu gengsi.
"Baik," manut sekali sang Rudiyanto untuk mengganti pesanannya. "Capuccino!"
Setelah pramusaji menulis pesanan, mereka duduk berhadapan. Rudiyanto menjadikan kedua lengannya menumpu dagu dengan wajah seperti sedang menantikan sesuatu atau seseorang. Tidak seperti Shazia yang diam-diam resah bilamana nomor antreannya di apotik sudah dipanggil.
"Jadi, kamu traktir aku buat minta maaf karena kamu kagetin aku?" Shazia bertanya, seraya berusaha pendengarannya harus dipasang baik-baik supaya bisa mendengar sudah nomor antrean ke berapa.
"Iya. Sekalian minta maaf udah hack kamu juga sih. Kan, biar bagaimana privasi itu kan penting. Aku benar-benar minta maaf. Untuk itu, aku memutuskan untuk jadi jin yang memenuhi tiga permintaan. Hehe. Tapi buat kamu, akan penuhi apa pun selagi aku mampu dan itu masuk akal." Rudiyanto berkata bak anak-anak yang tengah riang-riangnya namun dengan tetap terkendali.
Kedua alis mata Shazia menukik demi benaknya memroses atas apa yang didengarnya. "Itu buat penebus karena kamu hack aku?"
"Yap! Demi menangkal pikiran bunuh dirimu datang lagi! Hihi! Jadi kamu bisa jadikan aku teman atau apa pun terhadap diriku dan aku akan penuhi permintaan kamu selagi aku bisa dan hal itu bukan sesuatu yang buruk bagimu dan bagiku."
Shazia merasakan dadanya berdegup seakan halilintar menyambar tubuhnya manakala ihwal 'bunuh diri' disebutkan si pemuda. Meski tidak menunjukkan rupa terkejut, namun ia merasa seakan tertangkap basah bahkan bak ditelanjangi habis-habisan karena akun rahasianya benar-benar dibaca!--ia berharap tidak semua diingat pemuda ini.
"Aku pikir, tiap orang pasti ada rasa ingin menyerah, putus asa, bunuh diri bahkan ingin membunuh. Tapi selagi hanya dalam angan, kenapa tidak untuk berusaha menjadi lebih baik lagi? Ya gak?" Rudiyanto bisa menangkap kesan rapuh yang berusaha disembunyikan gadis di depannya.
Keharuan sempat menyaputi sanubari Shazia tatkala mendengar penuturan sang peretas, namun sang korban peretasan tetap memilih gengsi untuk melengkungkan senyum--meski ada rasa dari dirinya seakan-akan sedang bersama seorang teman. "Pasti kamu ngikutin aku karena ponsel aku yang di-hack kamu kan, makanya kamu tau aku dimana atau akan kemana?"
"Ya."
Tidak lama pesanan datang, hanya Rudiyanto yang mengangguk senyum sebagai tanda terima kasih kepada pramusaji yang telah membawakan pesanan. "Silakan diminum, anggap saja rumah tetangga," Rudiyanto bergurau, hanya pramusaji yang tertawa kecil sebelum berlalu ke tempatnya.
Shazia hanya merapatkan kuat kedua bibirnya, sebelum kemudian menyeruput latte--cukup menenangkan.
"Lagi kontrol bulanan kan ya?" Rudiyanto memecahkan senyap yang hanya berlangsung sekian detik namun seakan berjalan dalam hitungan jam. Penuturannya menyebut sisi sumbang sang korban peretasan perihal bunuh diri membuatnya merasa tidak enak hati, namun bukan tanpa sebab sampai akhirnya diputuskannya menemui sang korban peretasan.
"Hm," Shazia mengangguk ketus--menyembunyikan ketakutan akan dirinya bilamana dipandang penyakitan sebagaimana orang-orang yang telah 'mengetahui' dirinya.
"Hipokalemia?"