MATANYA memang tidak menunjukkan emosi apa pun. Terlihat tidak ada yang sedang berlangsung di dalam ruang hatinya. Padahal ia sendiri sedang menenangkan diri atas bentuk rasa terkejut oleh pesan yang diterimanya. Selalu akalnya diupayakan supaya lebih mendominasi ketimbang ruang rasanya, sebab ia merasa memang tidak semestinya terkejut atas pesan dari aplikasi perpesanan tersebut. Bukan hanya karena pemuda itu bukan siapa-siapa bagi dirinya, pun hak untuk melaporkan pada pihak kepolisian tetap bisa diajukannya meski ucapan terima kasih untuk tidak dilaporkan ke pihak kepolisian, diterimanya.
Apa dia tahu kalau aku pesan alat setrum?
Degup samar batinnya akhirnya membentuk kalimat tanya tersebut. Disengajakannya alat itu dibelinya melalui aplikasi belanja di jagat maya milik Meri salah seorang rekan sesama pengajar. Sudah berusaha menahan jemari untuk tidak mengetikkan seputar benda tersebut di ponselnya meski sebatas cari tahu di situs pencari pada ponselnya, demi tidak menimbulkan curiga dari sang peretas—bilamana tiap tindakan di ponselnya memang masih dikuasai oleh sang peretas. Akan tetapi kelalaian itu terwujud juga--bertanya pada Meri perihal sudah sampai kah pesanannya.
Foto berupa paket pesanan yang sudah sampai di rumah Meri akhirnya diterima melalui ruang pesan di aplikasi perpesanan. Sama sekali belum terangkat kekhawatirannya akan penggunaan komunikasi terkait alat itu melalui aplikasi perpesanan tersebut. Dan pesan dari sosok Rudiyanto seakan-akan begitu diminta supaya penerima pesan bisa mengerti maksud tersirat dari pesan si peretas.
Tapi untuk apa aku takut? Di sini aku tidak bersalah. Dia juga bukan temanku!
Shazia akan melempar ponselnya ke kasur, tetapi urung. Beranjak benaknya pada akun rahasia Blueberry yang mungkin sudah ditandaskan seorang Rudiyanto. Meski sudah menceritakan ihwal kondisi 'keunikan tubuhnya' sebagai penderita hipokalemia, bukan berarti ia akan memiliki harapan untuk dimengerti--meski sedari kecil memang membutuhkan sosok yang mau mendengarkan tanpa menghakimi.
Bukankahah kau tidak lagi merasa sendiri, karena kau menumpahkan semua perasaanmu di akun itu dan ternyata ada 'yang mendengar'!?
Sepotong hatinya berbisik.
Alih-alih menanggapi bisikan yang menggiurkan itu, Shazia menghempaskan tubuh ke kasur. Memandang langit-langit kamar yang sebenarnya bukanlah kamarnya. Oleh jarak yang tidak memungkinkan antara domisili tempat baru pindah dengan tempat mengajar, ia memutuskan untuk menumpang tinggal di rumah sepupu tiap hari mengajar. Untuk pertama kali melakukan sebuah penentangan dalam hidupnya, berupa ditentangnya tawaran Tiara sang kepala sekolah yang memohon agar mempertimbangkan kondisi kesehatan karena jarak yang terpaut sangat jauh dari ujung ke ujung, namun menjadi tantangan bagi gadis bertubuh mungil itu untuk lebih menjaga kesehatan lagi. Padahal sudah sangat disyukurinya bisa melebur dengan para ibu dari para murid, dan bisa belajar 'memperbaiki diri' dengan memahami tiap murid bila mengingat dirinya takut bersosialisasi. Belum lagi adanya sebuah alasan ingin pulih dari gangguan psikis yang masih ditelusurinya dari diri dengan cara mengajar di rumah singgah.
Salah satu upaya pulih yang dilakukannya adalah pulih atas sakit hati dari Iqlima sang 'sahabat'. Dilakukannya intropeksi diri, mengikuti info-info kesehatan jiwa di akun media sosial berbagi foto yang diikutinya, mencoba mengorek diri dan tak disangkanya memang ada yang terluka dari dirinya namun ia tidak sadar. Shazia benar-benar terkejut tatkala memorinya memutar ketakutan lima tahun di masa SD--padahal telah diputuskan untuk melupakan begitu lulus SD—bagai membeku karena tidak menyangka mengalami hal itu setelah sebelumnya 'bertekad' akan melupakan begitu masuk SMP.
Seorang anak langganan juara pertama berturut-turut, menjadi teman sebangku kala putih merah, kerap mengadu pada ibunya manakala Shazia berbuat salah—meski jauh di bawah kata sepele. Ibu sang teman sebangku memanggil Shazia, menasihati, membuat anak-anak sekitar yang lalu lalang penasaran ada apa, hingga menjadi tontonan dengan sebuah lingkaran yang berpusat pada Shazia.