"KAK, Ridho kabur!"
Lehernya menegang ketika sepasang matanya membaca pesan dari Prita. Tidak pernah terharap olehnya bila prasangka yang membikin kekhawatirannya menjadi nyata. Ridho, adik laki-laki yang tengah menginjak masa putih biru di sebuah pondok pesantren sudah diduganya tidak akan betah dengan dunia pondok, karena memang adik bungsu mereka terlalu menghasrati kebebasan dibanding kakak-kakak perempuannya. Orang tua yang kewalahan dengan ketidakmaudiaturan si bujang satu-satunya itu terpaksa memondokkannya, dan kinilah sebuah prasangka terwujud.
Dengan menyusun alasan yang dibuat-buat supaya tidak dicecar rangkaian pertanyaan, Shazia meminta izin pada tuan rumah tempatnya menumpang tinggal, yakni orang tua kakak sepupu supaya diizinkan keluar. Terlintas sosok Rudiyanto si peretas, berpikir untuk meminta bantuan--bukankah dia menyatakan kesediaan menjadi 'Jin'-ku?
Setelah merasakan degup jantung cemas oleh angkot yang sempat terhenti karena macet, halte bus dijejakinya. Namun seakan baru saja ditampar kesadaran, arah mana yang harus dituju untuk mencari si bungsu.
Kalau Ridho diketahui keberadaannya, bukan kabur namanya!
Gadis itu merasa diejek oleh sepotong batinnya sendiri. Namun, ia merasa gengsi untuk menghubungi si peretas. Ketika mempertimbangkan akan kembali ke rumah sepupu, tanpa disangka si nomor tanpa nama mengiriminya pesan.
"Adikmu bersama seorang lelaki. Aku membuntutinya."
Sebuah foto diterima. Shazia merasa memang mengenali orang yang bersama adik lelakinya. Disusul kemudian setelahnya, sebuah foto diterima lagi. Berupa tangkapan layar aplikasi ojol menuju alamat yang dituju, disertai ketikan alamat di bawah foto tersebut. Shazia kemudian menggandakan ketikan alamat tersebut untuk ditempelkan ke ruang alamat di aplikasi ojol pada ponselnya. Setelah menemukan titik lokasi keberadaan pengemudi, halte bus ditinggalkannya, ia pun menyeberang demi menghampiri si pengemudi.
"Ngebut ya, bang! Adik saya di pesantren kabur dari pondok!" burunya begitu menaiki jok boncengan.
Seperti mengerti betul, sang pengemudi meliuk-liukkan kuda besinya terutama ketika tidak ada polisi lalu lintas yang memantau. Saat dirasa dekat dengan titik lokasi, pacu kendaraan dikurangi dan perlahan menepi. Si penumpang lalu menghubungi seseorang di seberang sambungan panggilan telepon.
"Kamu jangan terkejut, aku akan membuka aplikasi peta di ponselmu, ikuti ya!" Suara dari seberang yang mendahului Shazia bicara, sambungan secara sepihak dimatikan oleh si penerima panggilan. Benar saja, aplikasi peta ponsel Shazia membuka sendiri, terlupa olehnya untuk tidak terkejut.
Sempat bergidik, namun gadis itu lekas turun dan membayar biaya aplikasi ojol demi mengikuti kemana peta menuntun. Ia harap tidak sedang dalam bahaya karena mengikuti si peretas.
Belum sampai pada titik yang dituju, terlihat olehnya seorang berambut pirang dengan perawakan tubuh mirip Rudiyanto si peretas, seperti beradu argumen dengan seorang lain yang sedang berdiri di dekat Ridho si bungsu.
Adu argumen berakhir begitu Shazia menghampiri. Perhatian tertuju pada kakak dari remaja lelaki yang diperebutkan.
"Kak Shai!" Ridho berseru.
"Eh kak Shai," lelaki yang diduga membawa Ridho ikut-ikutan memanggil 'kak', kelihatan lega. "Kok ada di sini? Pas banget sih ada orang asing ngaku kenal Ridho!"
Shazia mengarahkan pandangan pada Rudiyanto si peretas dengan bulu-bulu halus di wajah yang sudah tidak terlihat lagi. Setelah merasa heran oleh penampilan si peretas, ia lalu memutar pandangan pada lelaki yang membawa adik bungsunya yang tidak lain adalah kekasih dari adik perempuannya. "Kenapa dia ada sama kamu?"
"Loh? Bukannya aturan tanyain orang ini dulu?" Kekasih Prita itu menyipitkan mata pada Rudiyanto.
"Kamu gak tau ya kalau kamu itu udah bikin gempar orang sepondok karena bawa Ridho kabur!?"
"Loh? Kok bisa sampe gitu? Kesan kayak menculik dah!" Kekasih Prita itu lalu memindahkan tautan pandangannya pada Ridho, bertanya, "tadi izinnya gimana?"
Ridho menundukkan pandangan seolah sudah terpojok. "Sebenarnya gak diizinin. Tapi saya nekad pas ustad dan ustazahnya lengah..."