DIRINYA sudah berada di depan pesantren itu sebelum menerima notifikasi yang terhubung dengan aplikasi perpesanan sang korban peretasan. Merenung. Rasa malu pada kedua orang tua yang membawanya untuk menyadari sesal. Memandang para santri yang sedikit keluar masuk--mungkin karena suatu atau beberapa urusan. Tentu sangat tidak mungkin ia kembali mendaftarkan diri mengingat usia yang sudah seharusnya mendidik bukan dididik.
Apakah dia akan menerimaku? Batinnya meraba bahu sampai sikutnya saat itu, yang di balik pakaian lengan panjangnya terhampar tato di wilayah yang diraba. Sesal atas kenakalan di masa remaja seakan hanya mampu 'dikenang'. Ia bahkan tidak berani berharap, sebab tiada pula keberanian untuk pulang pada Umi dan Abi, namun ia merasa harus tetap bertanggung jawab pada sang korban.
Seraya menikmati kopi di kedai makanan dekat pondok pesantren, benaknya berkelana pada dirinya yang berpikir maju mundur untuk menemui sang korban kontrol di rumah sakit di bulan-bulan berikutnya. Begitu jelas saat gadis itu menunjukkan ponselnya untuk menunjukkan nama Rudiyanto--namun sudah diganti nama gadis itu. Ia melihat kamera depan gadis itu ditutup dengan plester. Sangat dimakluminya, karena toh dirinya juga curang karena mengetahui semua tentang sang korban peretasan tapi nama dirinya sendiri belum diungkapkannya.
Tebersit satu topik dari akun Blueberry, jemarinya melekas menari di atas tuts keypad sentuh pada ponselnya. Tidak sengaja melihat adik sang korban peretasan keluar dari pondok, bersamaan termuat tulisan postingan yang dicari dengan judul 'Seishun Amigo' di layar.
>>>
SEBUAH lagu yang berasal dari negeri matahari terbit. Berisi tentang pertemanan masa remaja. Memang artinya adalah 'Teman Masa Remaja'. Seishun Amigo.
Bukan, bukan merindukan seorang teman karena momen berharga dengan teman, melainkan memang ia merasa seperti sang tokoh utama bernama Nobuta Kotani dalam drama Jepang yang menggunakan soundtrack lagu tersebut. Ada sesal mengapa pula pernah menonton drama Jepang itu.
Di rumah sepupu tempat menumpang tinggal, kembali memandangi langit-langit kamar yang penuh dengan noda rembesan hujan, ia merasa 'terpukul' oleh terputarnya lagu tersebut di tepi benaknya tanpa ia inginkan sepulang menginterogasi sang peretas. Sepanjang perjalanan rupanya tidak bisa berhenti berpikir apakah sang peretas pantas disebut teman atau tidak bila mengingat dukungan barusan.
"Tuh kan! Kamu aja belain dia! Kamu orang baik!"
"Kamu gak boleh gak percaya manusia. Gak semua manusia jahat."
"Agama kan nyuruh kita berdoa dan berusaha. Nah menemui profesional adalah salah satu usaha kita yang dibarengi dengan berdoa!"
"Dari tulisan di akun Blueberry kamu, aku berasa bisa melihat lukamu yang belum selesai..."
"Mungkin traktiran di rumah sakit tidak begitu bisa dijadikan wujud maaf. Hm, ya memang tidak bisa. Hehe. Gimana kalau aku temani konseling?"
Potongan-potongan kalimat sang peretas membuatnya termenung. Merasa heran pula apakah sebegitu menyesalnya sang peretas sampai sudah menawarkan sebagai jin pengabul permintaan, disusul akan menemani konseling. Semakin heran sebab bila memang menyesal maka semestinya pria itu mengungkapkan identitasnya bila benar Rudiyanto bukan namanya.
Akan tetapi bersamaan dengan rasa heran terhadap pemuda itu, lagi dan lagi ada rasa lain dari dirinya yang juga sedang berlangsung di hati. Yakni mengenai kepasrahannya apakah dirinya baik kah salah kah--sungguh ia merasa tidak pernah mendapat dukungan dari seseorang seperti sang peretas untuk menemui seorang profesional. Teringat, bisa dirasakannya Iqlima lebih banyak bingung saat ia curhat. Bahkan ia sendiri bingung mengapa selama masa sekolah tiada teman yang bisa disebut sahabat selain memang ada teman tapi takut ia menaruh harap seperti pada Marsha dan Khadijah.