MEREKA menertawakan salah seorang sesama pengajar yang sedang kusyu' berdoa. Merasa doanya terganggu, Shazia lekas mengakhiri, lalu bertanya kenapa ia ditertawakan.
"Itu hujan!" Shazia menjawab yakin sekali, menunjuk ke luar jendela meski matanya masih jelas melihat begitu benderangnya mentari.
Sontak, dua rekan pengajarnya semakin menjadi-jadi menderaikan tawa.
"Itu bukan hujan! Ada yang nyemprot dari bawah!" Freya memperjelas.
Shazia yang semula mengira diolok-olok sekaligus heran karena ia yakin rekan-rekannya tahu adanya anjuran berdoa saat hujan, memperhatikan ke luar. Dua jendela yang berjarak. Sebelah hujan, sebelah tidak. Ia menarik salah satu ujung bibir, merutuk malu dirinya sendiri dalam diam.
Meski tidak sedang melakukan kesalahan yang fatal atau merugikan siapa pun, Shazia bersikap sok tenang menyembunyikan malunya. Kembali memberi perhatian pada murid-murid untuk menyelesaikan makan siang. Sementara di dalam hati, menantikan hujan yang sebenarnya yang akan turun—karena ia bersungguh-sungguh dalam berdoa. Berharap, urusannya untuk menemui pakai profesional kejiwaan bukanlah pilihan yang keliru.
Ia akan membebankan seorang teman yang dikenalinya di dunia maya. Seorang mantan badgirl, yang juga menjadi penghiburnya meski si mantan badgirl ini tidak sedang menghiburnya. Dianggap penghibur karena mengakui Shazia sebagai teman. Saat-saat bersedih tidak diakui oleh Iqlima sebagai sahabat, kemudian tak dinyana hiburan Tuhan tentang undangan pernikahan Marsha sang kawan SMP sepuluh tahun tidak bersua pun datang, hampir lupa oleh Shazia bahwa masih ada seorang lain yang sungguh-sungguh menganggapnya sebagai teman. Menganggapnya ada.
Seruni, nama sang mantan badgirl yang dikenali di dunia maya, memaksa Shazia datang ke pernikahannya--sudah sangat jelas bahwa Shazia dianggap sebagai teman! Shazia bisa melihat itu, meski Khadijah juga mengundangnya ke pernikahan tapi ia mewajarkan karena memang sudah sepantasnya sebagai teman dekat--tidak seperti Iqlima. Ia bisa melihat betapa dirinya dipandang sebagai teman saat pertama kali melakukan kopi darat, Seruni mengaku sebagai perokok dan pemabuk.
Bukan terkejut, Shazia justru heran untuk apa hal yang merupakan aib tersebut dibisikkan padanya. Namun mengerti saja, Shazia yakin ia hanya diuji apakah dirinya yang berpakaian syar'i tetap menerima Seruni yang nakal atau tidak. Tanpa pernah menasihati Seruni karena ia sendiri tanpa sadar trauma dengan dinasihati oleh masa SD, pada kopi darat selanjutnya ia dibisiki kembali bahwa sang teman dunia mayanya tersebut telah mengurangi mabuk dan merokok karena pernah diajak solat oleh Shazia pada kopi darat pertama. Hingga pada kopi darat ketiga, akhirnya tindakan merokok dan mabuk benar-benar tidak dilakukan.
Shazia tidak mampu berkata apa-apa pada waktu-waktu itu. Rasa harunya tidak bisa membentuk barisan kata bahkan bahasa mana pun. Hanya bisa memandang dengan pandangan mendukung dan mengajak kebaikan pada sang temannya itu tanpa merasa sebagai yang lebih baik. Sampai kemudian undangan pernikahan itu diterima. Belum lagi wajah penuh penghargaan Seruni bisa dirasakannya, seakan sedang becermin pada Seruni yang sama sangat berharap pada sebuah pertemanan.