Retas

Gia Oro
Chapter #11

Kartu Identitas

PAGI itu ia menjerit, tetapi dalam diam. Di dalam hati. Jeritan bahagia. Sudah takut-takut hidupkan data kuota internet ponsel, ternyata akun layanan psikologi mengiriminya pesan. Padahal mengira tidak akan bisa mengikuti konseling bila tidak mengirim biaya tanpa kode unik, sudah dikiranya uang harus melayang demi tetap harus mengganti pada Seruni. Rupanya akun layanan psikologi itu memaafkan Shazia. Rasanya ingin sekali Shazia memeluk Seruni dan para petugas layanan psikologi yang akan ditemuinya nanti.

Oh ya, Jin!

Shazia pikir sang peretas yang telah mendorongnya untuk menekadkan diri menemui tenaga profesional, akan mengucapkan 'selamat' atas keberaniannya menemui psikolog. Namun sampai sudah pada hari siap-siap akan berangkat, si blonde itu tidak juga menghubunginya.

Mungkin dia sudah berhenti menguntitku, ini memang lebih baik meski aku tidak lagi pasang foto selfie tanpa jilbab di galeri!

Menyusun alasan keluar, Shazia tidak mungkin berterus terang akan kemana. Bukan saja terkait stigma negatif bila jujur, sudah terbayang juga olehnya cibiran-cibiran dianggap sok memiliki masalah lebih besar padahal belum menikah atau dianggap belum memiliki beban--pernah dicibir demikian karena raut muka Shazia pada beberapa momen yang terlihat sedih padahal aslinya sedang menahan takut bilamana ada berbuat salah.

Sempat takut-takut bepergian seorang diri, terbayang karena pernah dibekap oleh seorang pria tak dikenal usai keluar dari lokasi wawancara kerja--peniti jilbab di leher sempat lepas saat itu. Shazia harus menahan napas oleh kuatnya tangan lelaki yang membekap di kala silam itu. Tidak bisa berteriak. Tidak mampu mencakar. Tubuh mungilnya jatuh ke pelukan pelaku namun tiap berpikir menyerah, justru makin keras ia ingin bertahan sampai akhirnya pelaku yang justru kelelahan dan akhirnya melepaskan korbannya. Namun naas, sang pelaku berhasil melarikan diri. Berurai air mata Shazia oleh syok, menyumpah serapahi dari jembatan penyeberangan yang terhubung dengan halte bus, tangisnya tidak berhenti meski ia sudah bebas. Pejalan kaki yang lewat sempat ingin membantu tetapi tidak bisa berbuat apa-apa karena pelaku sudah jauh berlari, salah seorang wanita paruh baya justru memintanya jangan kekanakkan.

Tersentak mengingat pembekapan di jembatan penyeberangan yang terhubung dengan halte bus, teringat pernah bicara pada si peretas di jembatan penyebrangan juga tapi tempat yang berbeda. Sempat takut-takut bila sang peretas akan berbuat celaka padanya, tapi syukurnya tidak.

"Puri Kembangan?" Shazia membuyarkan semua lamunan disertai ketakutan tentang pembekapan, masuk ke bus mini setelah dua kali transit.

Tidak pernah ke daerah yang dituju, Shazia tidak bisa menghentikan ketakutannya, terlebih ia hanya seorang diri sebagai penumpang setelah dua orang lain turun lebih dulu.

Melihat kiri dan kanan setelah bus menurunkannya di wilayah tujuan, Shazia ragu-ragu ingin menghubungi sang peretas. Namun bukankah ia telah menolak tawaran sang peretas untuk ditemani? Kenapa aku harus mengharapkan lelaki yang masih asing itu?

Shazia tetap pada pilihan untuk bersabar. Akhirnya ia berada pada tujuannya. Berada di kawasan gedung-gedung tinggi dan elit. Ia membuka aplikasi peta dari kontak layanan psikologi yang akan dituju. Rupanya hanya di depan mata. Di dalam sebuah gedung tinggi. Namun tidak puas kalau tidak memastikan alamat yang dituju pada sekuriti gedung tersebut, maka ditanyakannya pada sang sekuriti benarkah alamat yang dituju sesuai dengan apa yang ditunjuk. Setelah rupanya tidak salah tujuan, ia melewati gerbang Metal Pendeteksi tubuh. Memasuki lantai satu, takut-takut menemui resepsionis karena memang selalu canggung dengan situasi resmi terlebih dengan orang yang tidak kenal. Sayang, upayanya menuju pulih hari ini gagal karena setelah memastikan benarnya lantai yang dituju, tidak bisa diberikannya kartu identitas untuk ditukar dengan kartu masuk ke atas.

"Kalau tidak ada KTP, bisa dengan kartu NPWP," ujar sang resepsionis.

Shazia berkesah di dalam hati, namun berusaha tidak ditampakkan. "Baik, sebentar ya mbak," tukasnya yang kemudian berbalik, berusaha menahan diri untuk tidak ikuti geram pada diri sendiri yang bisa-bisanya tidak membawa kartu identitas.

Di sebuah sofa empuk dekat pintu kaca, di sana ia duduk menenangkan diri. Berusaha tidak merutuk momen yang dikiranya saat ini telah sia-sia. Menjemba ponsel di dalam tas, tidak ada sinyal untuk melakukan panggilan pada pihak layanan psikologi yang akan dituju.

Menahan kecewa atas diri sendiri, ia keluar mencari sinyal. Menelpon ibu di rumah, bertanya dimana KTP yang memang tidak dibawanya kemana pun ia pergi--dengan alasan takut hilang kalau dibawa. Dengan berat hati dikatakannya dengan jujur untuk apa ia meminta dikirimkan KTP melalui layanan ojol, beruntung saja ibu bisa mengerti dan menjadi orang pertama yang tahu mengenai patah hati terhadap Iqlima. Tidak ada cibiran dari ibu perihal keputusan untuk konseling, namun Shazia tidak mampu menahan air mata kesal atas KTP yang kemudian berusaha dicari ibu ternyata tidak ditemukan.

"Jadi ibu gak tau dimana tepatnya? Yah, Bu! Melayang gitu aja dong uangnya?! Shai udah jauh-jauh juga!" Masker kain di wajah untungnya menutupi tangisnya.

"Ya mau bagaimana lagi, kamu pulang aja ya. Jangan nangis. Nanti Ibu ganti."

Lihat selengkapnya