"PSIKOPAT?"
Shazia mengangguk.
"Emang gimana ceritanya? Ehm, apa kemarin hasil konselingnya bilang begitu?" Lelaki peretas ini benar-benar dibuat berdebar waspada oleh korban peretasannya. Kudapan dan minuman berupa latte di mejanya hampir terabaikan.
Lalu lalang orang berbagai daerah bahkan negara menyeiringi semarak bising suara sekitaran mereka yang sedang berada di salah satu kedai bandara. Sempat berdebat akan menaiki kendaraan apa karena pasti akan melewati tol, sang peretas tersadari bahwa korban peretasannya tidak akan mau diboncenginya—diyakini masih memegang kewaspadaan terhadapnya.
Shazia yang memang masih waspada bepergian dengan si peretas yang belum akui identitas diri, meminta ponsel sang peretas selama perjalanan sampai tiba di bandara, mencegah sekiranya sang peretas memang orang jahat yang akan berbuat celaka. Sang peretas sendiri bersedia, bahkan ke sekian kali mengaku tidak keberatan bila terus dicurigai. Demi memastikan peretasnya tidak memegang alat komunikasi apa pun, sang peretas patuh saat disuruh menautkan jemari kiri dan kanan kedua tangannya ke belakang bangku samping pengendara mobil ojol.
Selama perjalanan itu pula Shazia tebersit suatu hal yang akan dikatakannya supaya sang peretas juga merasakan waspada padanya dan berhenti mengawasinya. "Tidak. Terlalu cepat aku disebut begitu oleh psikolog. Katanya, diagnosis tidak bisa hanya diputuskan pada sekali pertama pertemuan saja. Tapi aku baru ingat, ada anak di kelasku waktu SMA yang menyebutku psikopat karena aku tidak membaur dan tidak tertawa saat satu kelas menertawakan satu hal atau suatu momen."
"Ya itu sih anak itu yang sembarangan menuduh kamu. Bisa aja kamu lagi fokus pada hal lain sampai gak bisa konek dengan apa yang serempak dibahas satu kelas?"
Shazia diam termangu, lelaki yang duduk berhadapan dengannya ini justru menaruh pikiran positif padanya. Diam-diam ada haru lagi yang meraba batinnya, namun juga di sisi lain merasa ingin mendecis sebal karena usahanya gagal untuk membuat si peretas takut padanya. Terlihat dari lahapnya lelaki ini menikmati kudapan dan minuman, bahkan menawarkan kembali kudapan atau minuman pada sang korban peretasan. Shazia menolak, sebagaimana menolak begitu sampai di bandara, bersikukuh dan sempat adu argumen sampai akhirnya lelaki ini menyerah untuk makan seorang diri.
"Kamu cerita gak tentang kamu dikatain psikopat, ke psikolog kemarin?"
"Nggak. Aku juga baru ingat sekarang."
"Jadi kemarin hasilnya gimana?"
"Aku dikasih tugas. Disuruh menulis pemandangan alam berupa sungai yang di atas ditulis dengan hal baik yang kuingat sejak kecil, dan di bawah ditulis hal buruk yang diingat sejak kecil." Shazia sedang kesulitan mencari bahan lain untuk menakuti Rudiyanto hingga apa yang ditanyakan padanya, dijawabnya saja apa adanya.
"Alhamdulillah berarti, uang gagal melayang. Soalnya kan kamu sempat menangis ke ibu karena lupa bawa KTP. Aku seneng banget dengar langsung sisi rapuh kamu, beda banget sama kamu yang kalau ketemu aku! Jutek! Hihi!"
Dua macam perasaan mulai berlangsung di batin Shazia ketika mendengar apa yang barusan dikatakan sang peretas. Pertama adalah heran, sebab baru kali ini ada orang yang justru senang mengetahui sisi rapuhnya, sangat jauh berbeda dengan saat curhat dengan Iqlima dan Khadijah bahkan orang tua yang bingung bagaimana menanggapinya. Kedua adalah perasaan menahan keki, merasa digoda yang sekaligus merasa malu dirinya menangis menelpon ibu didengar sang peretas di seberang yang tidak diketahuinya. "Seharusnya kamu ngerti untuk bisa hormati privasi orang! Kalau kamu di posisi aku, gimana? Nyaman gak?" Shazia tetap berusaha berlagak ketus.
"Maaf. Tapi, kan jadinya kemarin kamu akhirnya jujur ke ibu kamu. Ternyata ibu kamu baik banget. Malah pengen ganti uang kamu padahal beliau gak salah apa-apa. Aku terharu dengarnya."