Senin pagi bagiku adalah hari super sibuk. Selain harus segera ke kantor, Aku juga harus singgah dahulu ke rumah Atok Daud untuk mengantar talam ubi. Kakek baik hati yang usianya sudah hampir delapan puluhan itu suka sekali sarapan dengan talam ubi dan jajan pasar lainnya buatan Ibu. Di hari biasa akan ada anak perempuannya yang menjemput sarapan Atok Daud. Tapi khusus hari Senin tidak bisa karena anaknya yang guru itu harus apel di sekolah.
Setelah memasukkan ponsel dan perlengkapan lainnya ke dalam tas, Aku menyambar kunci motor matik di atas buffet. Lalu setengah berlari ke garasi, mengeluarkan motor dan memanaskan mesinnya. Tas tangan diletakkan di bawah jok yang lumayan lega.
“Sarapan dulu, Sava!”seru Ibu dari dalam rumah. Perempuan itu hafal betul, anak semata wayangnya ini lebih suka melewatkan sarapan daripada telat ke kantor.
“Bungkusin aja, Bu. Sudah hampir jam setengah tujuh, nanti telat. Jalan Soedirman macet banget jam-jam segini,” jawabku sambil mematut diri di cermin lemari hias. Memastikan jilbab sudah rapi di kepala.
Ibu geleng-geleng kepala tapi tetap memasukkan dua lunch box milikku ke dalam tas bekal. Satu untuk sarapan, satu lagi untuk makan siang. Aku memang nyaris tidak pernah melangkahkan kaki ke kantin untuk makan atau memesan layanan antar. Sayang sih, mending uangnya untuk menambah tabungan.
“Nggak bosan apa, makan masakan Ibu terus?” tanya Ibu sambil mengemas talam ubi dan putu ayu ke dalam plastik mika. Untuk Atok Daud.
“Nggak dong. Masakan Ibu tuh paling enak se-Bima Sakti,” jawabku sambil menyengir. Ibu hanya mencibir main-main.
“Menu sarapan kamu hari ini sama dengan Atok Daud,” ujar Ibu. Aku tergelak. “Siang nanti lauknya capcay sama balado udang. Maaf ya, bahan habis. Ibu belum belanja.”
“Udang juga enak kok, kalo pake capcay,” jawabku. Aku memang tidak terlalu suka udang. Tapi kalau terpaksa masih bisa lah, ditoleransi. Lain dengan pepaya. Mencium baunya saja bikin muntah.
Setelah semua bawaan terangkut dan mesin motor siap, aku memakai sepatu dan mencium tangan Ibu.
“Hati-hati,” ucap Ibu sambil menjawil hidungku. Membuatku terkekeh lantas mencium pipinya. Lalu mengucapkan salam dan bergabung dengan kendaraan lain di jalanan.
Hatiku hangat dengan sendirinya. Ibu adalah pahlawanku. Aku akan melakukan apa saja untuk membahagiakannya.
Jalan Sudirman benar-benar padat pagi ini. Senin pagi memang seperti arena balapan plus medan perang. Mulai dari anak sekolah sampai pekerja kantor berlomba-lomba untuk lebih cepat sampai di tujuan. Untung saja perjalanan ke rumah Atok Daud tadi lancar, jadi bisa dipastikan aku tidak akan terlambat ke kantor.