Gila. Tahu loading kerjaan bakal segini banyak, mending aku tolak aja tawaran dari Pak Ganesha. Apa kata Pak Anwar minggu lalu? Kerjaan gampang, tinggal bersin aja beres. Beres apanya? Yang ada aku meriang! Belum lagi tingkah Pak Ganesha yang demanding dan sok perfect. Apa-apa yang aku kerjakan kurang lengkap lah, analisis kurang dalam lah, data kurang representative lah. Itu analisis apa sumur, kudu dalem segala? Sebel aku.
Belum lagi ternyata pekerjaan unofficial yang sifatnya tambahan ini malah menyita lebih banyak waktuku dibanding pekerjaan rutin. Akibatnya aku jadi nyaris lembur setiap hari. Eh, ralat. Setiap malam. Seringnya hampir jam sembilan malam baru aku sampai di rumah. Padahal biasanya belum setengah enam sore aku sudah memasukkan motor ke dalam garasi.
Tentu saja, ini kan Dumai, kota kecil. Kemacetan di sini tidak separah kota-kota besar. Pun dari Pekanbaru, ibukota provinsi. Jadi mudah saja untuk memacu kendaraan dengan lancar di jalanan. Oke, jadi apa inti ocehanku yang panjang lebar ini? Aku capek. Capek badan iya, capek hati iya. Menghadapi Pak Ganesha benar-benar menguras tenaga dalamku.
Malam ini untuk kesekian kalinya aku tiba di rumah di atas pukul sembilan malam. Setelah bersih-bersih dan makan malam aku segera bergabung dengan Ibu. Jam segini Ibu sedang repot di dapur, menyiapkan aneka kue jajan pasar yang akan didagangkan besok pagi.
“Sudah sholat, Va? Dah makan?” tanya Ibu tanpa mengalihkan pandang dari lembaran-lembaran kulit risol yang sedang dimasaknya.
“Sudah, Bu. Sisa lauk mau dipanasin dulu atau langsung masuk kulkas aja?”
“Masukin kulkas aja. Besok aja dipanasin buat sarapan.”
Aku mengangguk lalu ke ruang makan, membereskan lauk dan menyalakan penghangat nasi. Lalu mengelap meja dan membawa piring kotor ke bak cuci.
“Besok lembur lagi?”
“Belum tahu, Bu. Sava usahakan nggak lembur. Atau kalau harus lembur, nggak lewat jam delapan,” jawabku sambil mencuci piring.
“Besok ibu bawakan bekalmu agak banyak, ya. Nanti bisa untuk makanmu sore hari. Kerja keras begitu pasti bikin lapar.”
Aku terkekeh. “Kayak kerbau ya, Bu. Kerja keras terus makan yang banyak, terus kerja keras lagi sampai maghrib,” ucapku geli. Ibu ikut tertawa.
“Ingatnya kok kerbau. Yang benar tuh kuda. Kerja keras bagai kuda.”
“Kerbau lebih keras loh kerjanya, Bu.”
“Iya lah, terserah kamu. Ngomong-ngomong, Ibu jadi ingat dulu waktu kamu kecil. Usia berapa ya? Lima tahun mungkin, waktu kita sekeluarga jalan-jalan ke Payakumbuh. Gayamu sok mau naik ke punggung kerbau yang paling besar, baru dinaikkan ke punggung anak kerbau aja sudah jejeritan.” Ibu bercerita dengan semangat. Aku menyengir di balik punggungnya. Meletakkan piring terakhir di rak lalu beralih menghadapi dua loyang cake sarang semut.