Dua orang pria berbadan besar berdiri di hadapan Ibu. Wajah mereka keras, tidak peduli dan angkuh. Salah satunya mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah seakan menilai atau mencari sesuatu. Sementara temannya menatap Ibu lekat-lekat.
Ibu sendiri berdiri dengan tubuh yang kurasa agak gemetaran. Di tangannya selembar kertas yang kini sedang dibacanya dengan napas memburu. Kami masih berada di teras, dengan pintu rumah yang sudah terbuka namun belum sempat dimasuki. Baru saja pulang dari sekolahku, mengambil rapor semester pertama. Tinggal setengah tahun lagi sampai aku lulus dari SMP.
“Ini, maksudnya apa?” tanya Ibu bingung. Suaranya tercekat, netranya memindai kedua orang di hadapannya.
“Ibu bisa baca sendiri. Apa masih belum jelas penjelasan di surat pemberitahuan itu?” jawab salah satu pria, yang memakai kemeja coklat, sambil menyeringai tipis.
“Tapi saya tidak merasa pernah menandatangani pengajuan pinjaman apapun. Seharusnya kalau memang suami saya meminjam dana dari perusahaan Bapak, saya pasti tahu, kan?”
“Ya itu urusan Ibu, bukan kami. Tapi buktinya jelas di situ. Jumlah peminjaman, nama dan perusahaan peminjam, tanggal jatuh tempo dan jumlah bunganya. Saya pertegas lagi ya, suami Ibu sudah menunggak enam bulan.”
Ibu meremas kertas di genggamannya, sementara aku meremas pundak Ibu. Mata remajaku menjelajah ke arah tulisan di atas kertas dan napasku tercekik demi melihat nominal yang tertera di sana.
Itu jumlah yang besar. Ralat, sangat besar. Bahkan jika rumah ini dijual belum tentu bisa menutupi nominalnya.
“Saya harus bicara dengan suami saya dulu,” putus Ibu. Kedua tamu kami menghela napas tidak sabar.
“Besok kami kembali lagi.”Salah satu dari mereka menekankan kata-katanya.
“Jangan lupa, sesuai ketentuan yang tertera di sana—dan sudah pasti disetujui oleh Pak Syahreza—jika tunggakan tidak bisa terbayar maka akan dilakukan penyitaan aset. Hari ini kami beri kelonggaran, tapi besok belum tentu. Permisi.”