Tinggal di Dumai berarti harus bersahabat dengan panas matahari. Mungkin karena lokasinya yang berada di tepi laut. Sekaligus banyaknya kilang minyak bumi di daerah ini, sehingga bukan hanya terik, tapi cuacanya terasa membakar. Seperti ada hawa panas yang keluar dari dalam tanahnya.
Di awal kedatanganku ke Dumai, aku gelagapan dengan perubahan cuaca ini. Sempat mengalami heat stroke beberapa hari, namun untungnya segera sembuh dengan banyak minum dan mengkonsumsi buah-buahan.
Ah, satu lagi. Perlengkapan perang yang tidak boleh ketinggalan di sini; tabir surya. Apalagi jika matahari sudah mulai merangkak naik di langit, seperti saat ini. Pukul sepuluh pagi. Saat yang paling tepat untuk merasakan sensasi terpanggang seperti brownies yang dibakar Ibu di dalam oven tangkring miliknya.
Tapi tidak apa-apa, aku rela saja menempuh terik menjelang tengah hari menggunakan motor. Setelah mengoleskan tabir surya, memasang jaket, sarung tangan dan masker juga helm. Tangan kananku terulur untuk menyalami Ibu sementara tangan kiriku dipenuhi kotak-kotak persegi berisi kue-kue dan rujak Aceh.
“Hati-hati, jangan melamun,” pesan Ibu. Aku mengacungkan jempol kanan lalu berbalik menuju motor. Setelah meletakkan barang bawaan ke dalam bagasi di bawah jok, aku segera meluncur ke jalanan.
Lokasi rumah kami di bagian kota yang ramai, sedangkan tujuanku kali ini lebih ke pinggiran kota. Tepatnya ke rumah Tante Ima, adik sepupu Ibu sekaligus satu-satunya keluarga terdekat kami di kota ini. Lebih dari sekadar tante, beliau juga adalah orang yang menolongku dan Ibu dari kekalutan dan masalah kami di Padang.
Sore itu, setelah para debt collector meninggalkan kami, Ibu tunggang-langgang mencari pinjaman. Perhiasan dan uang tunai yang kami punya tidak terlalu banyak dan pasti tidak akan cukup menutupi utang beserta bunganya. Apalagi menurut mereka Ayah sudah menunggak hingga enam bulan. Terbayang kan, seberapa besar bunga utang yang sudah dipupuk Ayah? Bahkan bunganya sudah jauh lebih besar dari pokok utang itu sendiri.
Aku tidak bisa berbuat banyak untuk membantu Ibu. Setelah mengumpulkan perhiasannya dan segera membawanya ke kantor gadai, Ibu kembali dan berusaha meminjam lagi ke saudara-saudara kami. Tapi seperti yang sudah kami duga, tidak mudah mengumpulkan uang begitu banyak hanya dalam satu hari.
Aku menangis frustasi di kamar, dengan ponsel menempel di telinga. Suara operator bolak-balik terdengar, menandakan ponsel ayahku tidak aktif. Kemana dia? Masih selamat atau tidak? Apa dia tahu kondisi kami saat ini? Bayangan akan segera menjadi gelandangan dengan utang yang mencekik berkelebat di benakku.
Keesokan harinya para penagih utang itu menepati janji untuk datang ke rumah kami. Uang yang dikumpulkan Ibu hanya mencapai seperenam dari keseluruhan jumlah yang harus kami bayar. Sambil menahan tangis Ibu minta perpanjangan waktu.