Saat masih anak-anak dan remaja, aku tidak pernah membayangkan akan menjalani masa dewasa seperti ini. Bekerja banting tulang, menahan perasaan dan lelah yang menekan, demi sejumlah uang. Aku membayangkan akan kuliah dengan tenang, lalu bekerja di perusahaan Ayah. Menabung gajiku untuk plesiran ke Korea Selatan dan menonton konser di sana.
Namun apa daya ternyata itu semua hanya mimpi. Biarpun begitu aku tidak menyesal, karena apa yang kulakukan saat ini adalah untuk Ibu. Paling tidak masa dewasaku lebih berguna meskipun semua bayangan saat remaja harus kubuang ke antah-berantah.
Rapat baru saja berakhir dan teman-teman satu tim sedang bersiap meninggalkan ruang kerja Pak Ganesha yang dijadikan ruang rapat dadakan.
“Eh, kalian jangan kendor dulu, ya. Siap-siap siapa tahu hasil kerja kita masih butuh revisi dari manajer,” ucap pria tinggi itu sambil mengangkat tangannya dengan gestur mengingatkan.
“Alsava, notulen dan laporan resmi yang lengkap bisa ya, saya terima sore ini?” lanjutnya sambil menoleh padaku.
Aku melotot tidak percaya. Sementara dari sudut mataku terlihat teman-teman yang lain melipir secepat yang mereka bisa agar tidak ketiban sial dan disuruh membantuku.
“Pak, ini sudah siang. Jam makan siang. Saya baru bisa bekerja lagi sekitar pukul satu. Saya punya pekerjaan dan laporan rutin yang harus saya selesaikan. Bapak pikir saya robot, bisa ngerjain dua laporan dalam waktu kurang dari empat jam?” salakku kesal. Dadaku bergemuruh dan sekuat tenaga aku menahan suara agar tidak meninggi.
“Kan kerjaan rutin kamu bisa ditangani staf gudang yang lain,” elaknya santai.
“Ya nggak semua kerjaan juga dong, Pak! Ini kerjaan tambahan! Kenapa saya malah diforsir di sini?” Aku tidak mau kalah.
Di luar dugaanku dia malah tersenyum. Senyum lebar sampai lesung pipi kirinya yang dalam itu kelihatan. Aku melongo dan mengerjap, dalam hati membatin. Psikopat kali ya, orang ini? Senang banget melihat orang lain menderita.
“Duduk sini, Sava,” ujarnya tenang sambil menunjuk kursi di depan mejanya. Aku bergeming. “Duduk, Alsava. Kalau sedang berdiri dan marah, kata Rasulullah kita harus duduk biar marahnya reda. Kalau nggak bisa—“
“Nggak usah bawa-bawa Rasulullah, Pak!” seruku tertahan. Dia mengangkat tangan dan mengucapkan maaf. Setelah itu mengangkat telepon dan meminta salah satu OB membelikan kami makanan di kantin dan membawanya ke ruangan ini.
“Sebenarnya saya ada keperluan sama kamu. Boleh saya minta waktu makan siangmu hari ini?” tanyanya sopan.