Seminggu lamanya aku tidak melihat Pak Ganesha lagi. Laporan akhir sudah aku email, sementara dokumen fisiknya diantarkan OB ke ruangannya. Aku malas ke sana, rasa kesalku belum hilang.
Hari ini Pak Anwar memasuki ruangannya tepat pukul dua, setengah jam lebih lama dari yang seharusnya. Enaknya jadi bos, telat di jam istirahat mah nggak masalah. Kalau masih kacung seperti aku, jangan harap.
Aku segera menge-save pekerjaan di komputer sebelum beranjak dari tempat duduk menuju ruang atasanku itu. Beberapa lembar kertas berisi laporan stok terakhir pupuk berada di tanganku. Aku butuh tanda tangan Pak Anwar untuk laporan ini.
“Permisi, Pak,” ujarku setelah mengetuk pintu dan dipersilakan masuk oleh Pak Anwar. “Biasa Pak, stok rutin.”
Pak Anwar mengambil laporanku dan menumpuknya di sisi kiri meja, bersama pekerjaan lain yang belum diperiksanya.
“Eh, Sava, tolong posisi terakhir all stock ya, per siang ini. butuh cepat nih.”
“Kok mendadak Pak? Tahu gitu kan bisa saya satuin tadi, jadi nggak dua kali kerja,” jawabku. Pak Anwar menyengir.
“Lupa saya. Lagi mumet, Sava. Maklum dong.”
“Tapi kayaknya Bapak seger-seger aja. Tuh, rambutnya aja basah kayak habis keramas.”
Wajah Pak Anwar sontak memerah. “Heh, kamu nih. Jomblo nggak ngerti yang ginian. Mumet saya tuh tadi pagi, makanya lupa. Sekarang udah nggak, makanya ingat lagi. Sana, kerjakan yang saya minta.”
Aku cemberut. Apa hubungannya coba, antara laporan, mumet, keramas dan status jomblo? Ish, kenapa semua atasan bersikap menyebalkan, sih? Tidak ingin memperpanjang masalah, kulangkahkan kaki keluar ruangan. Namun di depan pintu aku teringat sesuatu dan kembali mendekati meja Pak Anwar.
“Pak, saya boleh minta tolong nggak?” ucapku.
Pak Anwar mengangkat kepala dari berkas di depannya. “Minta tolong apa?”
“Saya, eum, bisa keluar nggak Pak, dari tim Pak Ganesha?”
“Maksudnya? Kerjaan tambahan kamu itu?”
“Iya, Pak. Saya out saja ya, Pak. Toh kerjaannya juga sudah beres. Tinggal menunggu review dari manajer dan revisi kalau diperlukan.”
“Memangnya kenapa kamu minta keluar?”
“Ya, karena pekerjaan di tim sudah hampir selesai, Pak. Kayaknya saya nggak terlalu diperlukan lagi, kan.”
“Nah itu anehnya. Justru karena tinggal sedikit lagi seharusnya kamu di sana saja. Tanggung, Sava. Paling-paling tinggal satu atau dua hari lagi, kan.”
“Tapi kerjaan saya, Pak—“
“Kan sudah ditangani sama teman-teman yang lain. Lagipula kerjaan kamu kan nggak terlalu banyak.”
Aku diam, menggaruk kepala. Apa ya alasannya? Apa aku bilang saja bahwa Pak Ganesha sangat kepo pada kehidupan pribadiku? Bahwa sikap penasarannya mulai mengusikku?