REVENGE

Scha Noire
Chapter #1

Sanchez

Di sudut kota yang ramai, sebuah klub malam berdiri megah dengan cahaya neon berkilauan. Musik bass menggema dari dalam, menarik perhatian para pengunjung yang antri di depan pintu. Malam itu, klub tersebut dipenuhi oleh berbagai macam orang. Mereka yang ingin melupakan kesedihan, para penari yang ingin menunjukkan bakat dan pasangan yang mencari kebahagiaan dalam keramaian.

Ketika pintu terbuka, semilir angin malam membawa aroma parfum dan keringat bercampur, menciptakan suasana yang berenergi. Di dalam, panggung kecil di tengah ruangan menjadi sorotan, sementara bar panjang dipenuhi pengunjung yang menikmati minuman mereka. Suara musik keras, tawa dan obrolan meramaikan suasana, namun dari pojok ruangan sepasang mata menatap malas sekitar.

Dengan sekaleng bir di tangannya, dia menatap datar lautan manusia yang sibuk mencari kesenangan. Seorang pria bersurai cokelat muda berpakaian formal tiba-tiba mendatanginya dengan bungkukkan hormat dia berkata. “Mohon maaf, Anda jadi harus menunggu begitu lama, Tuan Sanchez.” Kepalanya tertunduk seakan bersiap untuk menerima hukuman akibat membuat pria bermarga Sanchez itu menunggu.

Pria bernama lengkap Matteo Sanchez itu mendengus kesal sebelum menaruh kaleng birnya di meja. Dia bangkit, meninju pria yang mendatanginya dengan satu pukulan telak hingga membuat pria itu tersungkur. Beruntung mereka berada di pojok ruangan jadi keberadaan mereka tidak terlalu mencolok serta kejadian itu tentu tidak tertangkap banyak orang disana.

“Bangunlah,” ucap Matteo kepada pria yang masih meringis kesakitan sebab pukulan di wajahnya. Dengan cepat, pria itu mematuhi perintah dan berdiri tegak sebelum berkali-kali membungkuk meminta maaf pada Matteo.

“Cukup, Vincente.” Sebuah tangan kekar menahan bahu tegap sang pria membuatnya berhenti membungkuk. Pria bernama Vincente tersebut kembali berdiri layaknya patung. Seakan semua ucapan Matteo adalah perintah mutlak yang tak terbantahkan. Layaknya anjing yang mematuhi majikannya.

“Berapa lama lagi Austin akan datang?” tanya Matteo mengambil jasnya yang tersampir di sofa lalu kembali memakai jas tersebut. Dengan tinggi semampai, tubuh atletis dan wajah rupawan bak dewa, siapapun yang melihat pria itu pasti akan terpesona pada pandangan pertama. Dia serius manusia? Itulah yang selalu muncul di benak orang yang pertama kali melihatnya.

Dibalik wajah rupawan nan mempesonanya, tersimpan sisi iblis di dalam jiwanya. Siapapun yang mengenalnya dengan baik bahkan keluarganya pun sulit memprediksi tingkah lakunya.

“Tuan Sanchez, mungkin sekitar tujuh menit lagi Tuan Hiss akan datang,” jawab Vincente.

Matteo hanya mengangguk kecil sebelum berjalan diikuti oleh Vincente di belakangnya, “Austin bodoh, bisa-bisanya membuat ku menunggu di ruangan penuh manusia menjijikan ini,” ketusnya. Beberapa kali pula mata tajam milik Matteo menatap kesal pada sekumpulan wanita dengan pakaian kekurangan bahan yang mencoba untuk menggodanya dengan menyentuh tubuhnya. Tentu mereka tahu, siapa yang mereka coba goda. Beruntung Vincente dengan sigap menjauhkan dan menghalangi mereka yang mencoba menyentuh tuannya dengan tangan kotor mereka.

“Saya juga tidak tahu, jika Tuan Hiss belum melakukan reservasi ruangan VVIP untuk pertemuan kali ini.” Pernyataan Vincente membuat Matteo menggertakan giginya tanpa sadar.

“Dia itu bodoh atau bagaimana? Dia yang membuat janji temu untuk pertemuan tapi dia belum melakukan reservasi bahkan datang terlambat. Kau tahu aku benci menunggu!” gerutu Matteo.

“Mohon maaf, Tuan Sanchez. Seharusnya saya mengkonfirmasi hal ini terlebih dahulu dengan Tuan Hiss,” ucap Vincente berhati-hati, takut-takut dirinya akan terkena bogem mentah lagi dari sang majikan.

“Ini bukan salahmu, Vincente.”

Vincente menghembuskan nafas lega setelah mendengar ucapan Matteo. Hari ini dewi fortuna sepertinya sedang baik dengannya, walau hari ini terhitung sudah dua kali dia terkena bogem mentah dari Matteo. Tapi tak apa, biasanya dia mendapat lebih dari lima pukulan. Vincente sudah terbiasa menjadi samsak Matteo.

Matteo berjalan memasuki lift khusus tentu dengan Vincente yang selalu membuntutinya kemanapun dia pergi. Di dalam lift hanya ada mereka berdua, Vincente menekan tombol angka 5, tujuan mereka memang ke lantai tersebut. Lantai tersebut tersedia khusus bagi para tamu VVIP, jadi tidak semua orang dapat menginjakkan kaki di lantai tersebut. Setelah sampai, mereka keluar dari lift dan langsung disuguhi dengan dua pria berbadan kekar yang berjaga di sana.

Setelah melihat wajah Matteo, tentu mereka langsung mengenalinya dan membungkuk hormat saat Matteo melewati mereka. “Selamat malam, Tuan Sanchez,” ucap pria berbadan kekar tersebut yang hanya dibalas dehaman oleh Matteo. Mereka pun mengikuti langkah pria bermarga Sanchez tersebut untuk mengantar pria itu menuju ruangan yang telah dia sewa.

“Disini ruangan Anda, Tuan Sanchez,” ucap salah satu dari mereka saat membukakan pintu ruangan VVIP tersebut.

“Beritahu Tuan Hiss, jika dia sudah datang untuk langsung menuju ruangan ini,” kata Vincente kepada kedua pria tersebut yang langsung dianggukki keduanya.

Matteo sudah lebih dulu masuk dan melempar asal jasnya dan duduk bersandar di sofa dengan kedua kakinya yang terangkat menumpu pada meja.

Kedua pria berbadan kekar itu menutup pintu ruangan tepat setelah Vincente masuk. Vincente senantiasa berdiri tak jauh dari Matteo menunggu perintah. “Duduklah, Vincente.” Mendengar ucapan Matteo, dengan gerakan cepat, pria bersurai cokelat muda itu langsung duduk di sofa yang berhadapan dengan sang tuan.

Hingga suara ketukan terdengar, membuat keduanya menoleh. “Masuk.” Setelahnya seorang pelayan wanita lagi-lagi berpakaian minim menghampiri mereka dengan senyum yang menggoda, sayangnya Matteo tak tertarik.

“Dua botol sampanye,” ucap Matteo dengan nada datar, netra abunya bahkan tidak melihat ke arah wanita itu. Dia justru terfokus pada lampu gantung, menurutnya lampu ruangan itu jauh lebih menarik dan cantik dibanding wanita berpakain minim itu.

Pelayan wanita itu yang belum berkata apapun memilih untuk keluar dengan raut wajah kecewa yang tercetak jelas. Sedangkan, Vincente hampir terkikik geli dengan telinga memerah akibat melihat wajah wanita itu tetapi dia mencoba sebisa mungkin menahan tawanya takut terkena pukulan dari pria didepannya.

Lihat selengkapnya