REVENGE

Scha Noire
Chapter #2

Riot

Di sudut kamar yang nyaman, Matteo mengerang pelan saat cahaya pagi semakin menyilaukan matanya. Ia menggeliat, berusaha mencari posisi yang lebih nyaman di antara tumpukan bantal. Suara alarm yang berulang kali berbunyi hanya membuatnya semakin enggan untuk bangkit. “Lima menit lagi,” gumamnya, meski ia tahu bahwa itu hanya akan berujung pada pengunduran waktu yang tak berujung.

Setiap kali ia membuka mata, pikirannya berputar di antara rasa lelah dan keinginan untuk tidur lebih lama. Kelembutan selimut seakan mengingatkan betapa nikmatnya momen ini, menjauhkan semua tanggung jawab dan rutinitas yang menunggu di luar. Dalam kebisingan pagi, ia merasakan ketenangan yang hanya bisa ditemukan di ranjangnya yang besar dan empuk.

Ketukan pintu terdengar membuat Matteo menggeram kesal. “Tuan Sanchez, maaf mengganggu waktu tidur Anda—”

“Diamlah, Vincente!” bentak Matteo, masih mendusal di balik selimut tebalnya mencari kehangatan yang sulit didapatkan. Kelopak matanya tertutup rapat, lengan kekarnya memeluk bantal erat-erat seakan tidak berniat melepaskan pelukannya tersebut.

“Tetapi ini penting, Tuan Sanchez!” balas Vincente tanpa sadar membentak sang tuan. Meski terhalang pintu yang masih tertutup rapat, suara bentakan Vincente dapat didengar jelas oleh pria bermarga Sanchez tersebut.

Matteo lantas bangkit dengan langkah tegasnya bersiap meninju wajah menyebalkan bawahannya yang sudah bersikap kurang ajar padanya. “Berani-beraninya kau menaikan nada suaramu kepadaku,” geram Matteo dengan kepalan tangan yang siap menghantam apapun yang menghalangi jalannya.

Decitan pintu terdengar, baru saja tangan kekar milik Matteo hampir meninju wajah Vincente membuat pria bersurai cokelat muda itu tidak bergeming dan diam seperti patung. Siap menerima hukuman apapun, yang terpenting sekarang tuannya itu sudah terbangun.

“Maaf telah mengganggu waktu tidur Anda. Anak buah Tuan Eduardo merusak fasilitas kasino milik Anda, tadi malam,” ucap Vincente dalam sekali tarikan nafas.

Matteo membelalakkan matanya hingga hampir keluar kedua bola mata itu. “Apa kau bilang!” teriaknya kesal mencengkram kerah kemeja milik Vincente, membuat nyali pria bersurai cokelat muda itu ciut seketika.

“Kenapa baru diberitahu sekarang?! Kenapa saat kemarin malam tidak ada yang membuka suara akan masalah ini?!”

“Bukan begitu, Tuan Sanchez. Memang saya baru saja mendapat kabar dari Max pagi ini. Kejadian itu terjadi sesaat setelah kita kembali dari klub kemarin,” cicit Vincente dengan nada pelan, dirinya sudah bersiap terkena amukan Matteo.

Matteo mendorong kasar bawahannya itu, mengusap wajahnya pelan. Menghembuskan nafas perlahan mencoba menahan emosinya yang siap meluap keluar. “Renan sialan!” Matteo menendang pintu kamarnya dengan keras, membuat Vincente berjengit kaget. Namun, dengan professional dia berdiri tegak dan mengatur rasa ketakutannya.

Langkah kaki besarnya kembali berjalan masuk ke kamar megahnya lalu mengambil ponsel di meja nakas. Netra abunya menatap layar ponsel dengan serius sebelum memencet kontak nomor yang dituju untuk melakukan panggilan suara.

“Selamat pagi, Tuan San—”

“Max,” ucap Matteo dengan nada rendah melalui panggilan telepon.

“Y-ya, Tuan Sanchez.” Terdengar dari nada suara lawan bicara tergugup panik. Perasaannya tidak enak, Max yakin dirinya akan terlibat dalam masalah besar saat ini.

“Kenapa kau baru memberitahu Vincente di pagi hari?” ucap Matteo dengan penuh penekanan.

“Tuan Sanchez dan Tuan Hiss sedang mengadakan pertemuan, jadi saya tidak ingin mengganggu—”

“Jadi maksudmu hal itu tidak penting?! Jadi kau tidak memberitahuku terlebih dahulu?!” potongnya kesal. Benar, sepertinya Max telah salah mengambil langkah kali ini. Hingga membuat putra kedua dari keluarga Sanchez yang satu ini murka.

“Sa-saya—”

“Jangan membuat alibi! Aku akan kesana dalam 10 menit!” finalnya lalu menutup panggilan itu secara sepihak.

Matteo melempar asal ponselnya ke ranjang sebelum berjalan ke kamar mandi untuk menyegarkan pikirannya. Sedangkan, Vincente masih mematung di depan kamar Matteo menunggu perintah.

Matteo melangkah cepat menuju kamar mandi, membasuh wajah dan tubuhnya dengan air dingin. Setiap percikan air seakan membangunkan kesadarannya dari kemarahan yang masih menggelora. Ia tidak bisa membiarkan situasi ini terus berlarut. Setelah merasa cukup segar, ia menatap cermin, berusaha menenangkan diri sebelum melangkah ke walk-in closet.

Setelah mengenakan pakaian yang rapi, ia melirik Vincente yang masih menunggu di luar. “Kita pergi,” perintahnya singkat. Vincente segera mengikuti di belakang, berusaha tidak menunjukkan rasa takutnya.

Lihat selengkapnya