Sebuah mobil mewah memasuki gerbang sekolah elit. Semua orang yang berada di wilayah parkiran sekolah, langsung menatap dan mengagumi mobil mewah itu. Tidak ada yang memiliki mobil semewah itu selain Edsel Arkananta Sebastian. Lelaki yang terkenal dengan wajah tampannya, dan juga anak orang kaya. Bisa dibilang Edsel adalah donatur terbesar di sekolah ini. Sedangkan sekolah ini milik Mahardika Edward.
Pintu mobil mewah itu terbuka dengan lebar. Sebuah sepatu dengan branded ternama terlihat sangat jelas. Seharusnya sepatu itu berwarna hitam, tapi sayangnya sepatu itu berwarna abu-abu. Tas mahal berwarna abu-abu juga bertengger di bahunya dengan menawan.
Saat tahu siapa yang turun dari mobil, semua anak langsung berbisik dan mencibir. Bisa dilihat tatapan mata mereka, sangat tidak bersahabat pada perempuan itu.
"Bukannya Galiena udah out ya dari sekolah ini? Kok masih masuk sih." ucap salah satu dari banyak orang di sekitar parkiran.
"Bawa mobil mahal lagi."
"Gila ya, dia anaknya orang kaya atau gimana sih?"
"Palingan juga simpanan om-om, mana mungkin orang miskin kaya Galiena punya mobil mewah."
Dan masih banyak sekali cibiran dari banyaknya anak di sekolah ini. Galenka berpikir jika saudara kembarnya ini memiliki banyak musuh. Entah apa salah saudaranya sehingga dia menjadi korban bully di sekolahnya sendiri.
Dengan santainya Galenka menuju kelas Galiena yang berada di lantai empat. Dimana kelas tiga favorit Galiena.
Galenka mengaku jika saudara kembarnya ini memang pintar. Dulu saat ada pertukaran pelajar, Galiena terpilih untuk satu sekolah dengan Galenka di Kanada. Tapi perempuan itu malah menolak , dan kembali ke Ibukota. Dengan alasan tidak tega meninggalkan Daddy dan juga Mommy nya. Padahal di rumah juga ada Alexis yang siap menjaga Mommy dan Daddy selama dua puluh empat jam.
"Galiena…," teriak seseorang dari arah belakang.
Galenka hanya meliriknya saja, lalu kembali berjalan tanpa mau membalik badannya. Hanya sekedar melihat siapa yang memanggilnya. Berbanding jauh dengan Galiena yang mungkin saja, akan langsung tersenyum kecil saat namanya di panggil.
"Liena…," panggil orang dengan suara yang sama.
Dengan perasaan jengkel Galenka pun menghentikan langkahnya, dan menatap ke arah belakang. Disana ada satu perempuan yang berdiri sambil melambaikan tangan ke arahnya. Secara penampilan sama sih sama Galiena, yang menggunakan kacamata dan juga baju yang longgar.
Hanya dengan tarikan nafas dan berkata, "Kenapa?"
"Kamu udah sembuh? Aku kemarin ke rumah kamu, katanya kamu dirawat di rumah sakit. Pas aku tanya rumah sakit mana, tapi ibu kamu nggak ngasih tau." jelas perempuan itu.
Galenka menggeleng, "Aku cuma donor darah." jawab Galenka asal.
"Donor darah? Lah kok tumben. Bukannya kamu takut ya sama darah?"
Seketika itu juga Galenka menghela nafasnya berat. Bisa-bisanya dia lupa dengan hal ini, jika kembarannya itu paling phobia dengan darah. Dan Galenka malah menjawab tidak sesuai dengan fakta.
"Kalau aku takut darah, bukan berarti aku nggak mau donor kan?"
"Eh iya juga yah kan bisa nutup mata."
"Pinter." puji Galenka dan membuat perempuan itu nyengir.
Entah siapa namanya perempuan itu langsung mengajak Galenka untuk pergi ke ke kelas. Sesampainya di kelas semua orang dikejutkan dengan kehadiran Galiena yang sehat-sehat saja.
Mereka masih ingat saat Olesia Paramadhita membullynya dua bulan yang lalu. Dimana Galiena tidak sadarkan diri setelah itu tidak masuk sekolah. Dan sekarang, satu sekolah di heboh dengan kedatangan Galiena yang tampak sehat-sehat saja.
"Liena…, kamu mau kemana? Kan kita satu meja." ucap perempuan itu dan menatap Galenka aneh.
Galenka menoleh, padahal dia ingin mengambil meja paling belakang. Tapi yang ada perempuan itu kembali memanggil Galenka, dan mengajaknya duduk bersama. Seharusnya sebelum dia masuk ke kelas ini, Galenka harus tahu nama perempuan itu siapa. Sehingga dia tidak bingung harus menjawab apa jika dia bertanya.
Galenka menaruh tas miliknya di samping perempuan itu. Meja ini terlalu depan dan dekat dengan pintu masuk ke kelas. Dan bahkan Galenka bisa melihat koridor sekolah ini yang ramai dan sepi. Siapa yang lewat, murid atau mungkin guru pun Galenka bisa melihatnya.
"Siapa nama kamu?" ucap Galenka menatap perempuan di sampingnya.
Tentu saja perempuan itu langsung bengong. Mereka bersama sejak sekolah menengah pertama, dan sekarang perempuan itu tanya siapa namanya? Apa mungkin setelah donor darah Galiena lupa ingat dengan nama sahabatnya sejak dulu.
"Liena kamu nggak lagi amnesia kan?" tanya balik perempuan itu dan langsung membuat Galenka mendengus.
"Tinggal sebutin aja, apa susahnya sih."