Revenge

Falcon Publishing
Chapter #1

PROLOG

Meskipun tipis, aku bisa merasakannya; tarikan napas melalui hidungku. Ada napas, artinya aku masih hidup. Mataku masih lengket. Sedikit membuka celah kelopaknya saja sudah menghabiskan tenaga. Dalam gelap, aku berusaha memastikan semuanya. Ya, hidungku masih mengembangkempis. Walau tipis, seirama dengan naik turunnya dada.

Jari. Ya, itu salah satu anggota tubuh terpentingku. Namun, bahkan sedikit mengangkatnya, aku tak bisa. Berat. Kaku. Atau mungkin jariku sudah hilang. Sial, aku tidak boleh kehilangan jari-jariku. Dengan apa aku nanti mengetik? Sial, sial, padahal tenggat skrip lusa. Tunggu, hari apa ini? Sudah berapa lama aku tidur? 

Ya ampun, kenapa susah sekali mengangkat jari? Menggeser pun tidak bisa. Ayo jari, bekerja samalah! Saking aku mengeluarkan tenaga, terdengar raungan lemah meluncur dari bibirku. Kurasa ada gerakan setengah inci. Aku bisa merasakan seprai di ujung jari tangan. Aneh, permukaannya sedikit kasar. 

Ini bukan sepraiku.

Aku sedang tidak di rumah.

Apa aku ada di tempat lelaki itu? Di mana dia? 

Bayangan lelaki itu sontak menggelontorkan sensasi dingin menusuk pikiran. Membuat pelipisku berdenyutdenyut. Sosok tingginya. Kulitnya yang cokelat karena terbakar matahari pulau Lombok, selepas pulang surfing beberapa hari sebelumnya. Selimut putih membalut pinggang ke bawah, sekaligus menutupi tubuh lain yang rebah di pelukannya. 

Aku mengerang lebih kuat, tetapi tetap tak ada suara yang keluar. Napasku kini berembus cepat. Kilasan-kilasan gambar membuat bola mata di balik kelopak ingin melompat ke luar. Wajah-wajah pucat. Napas terkesiap. Raut yang tak asing. Jariku terasa makin berat, bahkan untuk digeser satu senti saja. Jari yang dulu pernah digenggam lelaki itu. Dikecupnya. Menyusuri helaian rambutnya. Jari-jari yang meregang menarik selimut itu, menunjukkan kebusukan yang mereka berdua tutupi. 

...Lea... 

Lihat selengkapnya