Revenge

Falcon Publishing
Chapter #2

1

Cara apa yang terbaik untuk mati?

Perbatasan mendung dan sinar teduh matahari membuat langit terlihat cantik. Birunya lembut berpadu dengan kilau tipis matahari, persis kelambu tak kasat mata. Di atas sini, anginnya sedikit lebih dingin dari yang kukira. Beberapa helai anak rambutku beterbangan. Sebagian jatuh melewati alis, mengaburkan pandangan. Namun, aku tak repot-repot menyibakkannya. Mungkin lebih baik kalau aku tak melihat apa-apa.

Bagian atas kisi-kisi pembatas yang berbentuk silinder tergenggam sempurna di tangan kanan. Makin lama aku mencengkeramnya, rasanya makin kebas. Justru dingin permukaan botol yang membuatku terus sadar. Beruntung aku menemukannya di dalam tas. Isinya tinggal seperempat. Sebagian besar telah berpindah ke lambungku. Dengan cepat membuat tubuhku panas. Sekaligus meringankan benak yang berat. 

Kuteguk isinya sekali lagi. Kesadaranku mulai terkikis. Digantikan perasaan yang lebih ringan—jauh lebih ringan dari langkahku yang semakin dekat ke pinggir pijakan atap.

Rasanya aku sudah mecundangi malaikat maut karena selamat dari tragedi kemarin. Kecelakaan mobil. Sedikit-sedikit aku mengingatnya, walau Trian—begitulah aku memanggil asisten pribadiku, Detrian—enggan menceritakan lebih jauh. Aku masih hidup. Walau sempat koma, bahkan masuk ke fase gagal napas selama beberapa saat, aku masih terbangun, mengenakan jubah rumah sakit yang bau antiseptiknya membuatku mual. 

Bagaimana rasanya mendarat di sana? Leherku menjulur ke pelataran yang terpaut jarak sepuluh lantai dari tempatku berdiri. Warna abu-abu gelap mendominasi tempat parkir yang masih sepi. Perlahan aku melonggarkan tangan kanan. Ya, tangan yang paling sering dia genggam. Dia kecup. Dia belai. 

Segera bayangan itu menyambar. Sesuatu yang kuharap hanya mimpi. Kukatupkan mata kuat-kuat, berusaha mengusirnya. Namun, sia-sia. Selimut putih yang membalut tubuh mereka itu makin jelas. Aku minum satu teguk lagi. Ah tidak, dua teguk lebih baik. 

Ada beberapa kerikil di langkan atap. Aku menendangnya. Gravitasi menarik batu-batu kecil itu langsung ke bawah. Kubayangkan itu tubuhku. Meluncur kepala terlebih dahulu. 

Apa dia akan menangisiku kalau aku mati? Dengan cepat, mataku basah. Diiringi rasa perih yang menancap ke dadaku cepat dan berkali-kali. 

Berengsek kalian! 

Di pelataran bawah sana, aku mendapati mereka. Dante dan Mischa saling berpelukan. Lengan kokoh lelaki itu melingkari pinggang ramping sahabatku, sesekali mengelus lekuknya. Jari-jemari Mischa bertaut mempermainkan rambut di tengkuk Dante. Mengusapnya. Membuat lelaki itu menariknya mendekat. Lebih erat untuk segera mengecup bibir Mischa. 

Hentikan!

Dante mendongak ke arahku. Aku membayangkan senyumnya tertahan. Tarikan bibirnya seperti menantangku untuk terjun ke bawah. Langsung menghentikannya dengan tangan sendiri.  

Langkahku makin tak terkendali. Beberapa kali aku nyaris terjungkal. Botol selip dari tanganku, melayang layang di udara. Dalam beberapa detik, belingnya akan semburat di kepala keduanya. Darah mereka mengucur. Tawaku membubung. 

Aku berusaha melangkah dengan benar. Entah kenapa, langkahku limbung. Kakiku gagal menjejak. Tanganku menggapai udara, tak bisa menangkap apa-apa.

Sepuluh lantai. Kepala dulu. Pelataran parkir. Dan semua penderitaan ini berakhir. 

“Lea!” 

Sepasang lengan kokoh itu menangkap tubuhku. Aroma khas yang begitu kukenal. Sweter yang lembut. Suara yang berat dan parau, tetapi tak pernah terdengar secemas itu. 

“Tenang, sudah kupegang. Nggak akan kulepas,” begitu ujarnya berkali-kali. Rasanya aku ingin meronta. Ingin melompat ke bawah sana. Namun, sepertinya semua energiku habis. 

Trian menarik tubuhku, melewati kisi-kisi, menjauhi pijakan langkan atap. Di tengah napasnya yang susah payah, dia mendudukkanku di posisi yang lebih aman. Telapak tangannya menangkup pipi kanan kiriku. Pandangannya tepat menghunjam mataku, yang tak bisa lepas dari arah tempatku tadi berdiri. 

“Le, are you okay?”

Botolku ambyar membentur pelataran di bawah sana. Belingnya berserakan, di detik yang sama lesapnya bayangan Dante dan Mischa yang sedari tadi berpelukan. Aku terus meronta. Trian pun menarikku ke dalam pelukannya. Mengusap rambutku. Membiarkanku menangis di sana. Semua dilakukannya tanpa perlu berkata-kata.

***

Aku diam-diam masih berusaha menggerakkan jari di atas seprai. Trian mengupas apel di hadapanku. Kulitnya menggantung tak terputus nyaris menyentuh pangkuannya. Aku terus menatap apel itu, yang kemudian dipotong beberapa bagian, lalu disorongkannya ke arahku.

“An apple a day keeps doctor away. Biar cepat keluar dari sini.”

Potongan apel itu sungguh tak menarik. Pemandangan di jendela sedikit lebih menyenangkan. Langitnya biru. Awan-awan seperti kapas tipis yang ditempelkan begitu saja. Walau berantakan, tetap cantik. 

Aku menggeleng. Kepalaku terlalu penuh dengan gambaran itu. Pemandangan yang telak kudapati begitu aku membuka pintu kamar Dante. Punggungnya yang bidang dan liat membungkuk. Selimut yang kusut membungkus pinggangnya, jatuh pula menutupi tubuh yang lain. Sepasang mata sayu itu terkejut menatapku. Tanpa sengaja, aku meremas seprai yang tengah kududuki. Jari-jari ini mulai menguat, mungkin karena kondisiku membaik atau aku yang marah karena dibohongi. 

“Ada yang bisa kubantu menghubungi, Lea?” tanya Trian. “Mamamu, Dante, siapa?” 

Aku menggigit bibir bawah keras-keras. Tanpa menjawab apa-apa, aku menggeleng. Untuk beberapa saat, kami tenggelam dalam keheningan masing-masing. 

“Jangan lakukan hal itu lagi,” ujar lelaki itu dingin. 

Aku tersentak mendengar pernyataan Trian. Dia cuma dua tahun di atasku, tetapi kacamata bingkai hitam membuatnya terlihat begitu dewasa. Aku mengangkat bahu tak peduli. 

Pandanganku beralih ke arah rangkaian bunga di nakas. Paduan warna kuning dan putih, di antara selingan daundaun hijau, berpadu cantik dengan dinding kamar perawatan yang berwarna biru muda. Rangkaian bunga itu tampak menyolok di antara dua parsel buah (plastik pembungkus salah satunya sudah dirobek Trian untuk mengambil apel tadi), sebuah boneka Teddy Bear berukuran sedang, dan beberapa kotak camilan. Tiga buah balon hias bernuansa biru dengan sulur emas mengangguk-angguk di ujung ranjang. Talinya terikat kuat di sana. 

Lihat selengkapnya