Pelataran sekolah sudah sepi. Desau angin menerbangkan debu-debu di lapangan dengan malas. Terdengar suara sapu lidi menggesek tanah, sayup-sayup berirama di sisi lain lapangan. Wak Husni, penjaga sekolah dasar ini, berusaha membersihkan daun-daun yang luruh di taman dekat pintu gerbang. Lonceng besi mengayun sekadarnya. Pintu-pintu kelas sudah tertutup dari tadi. Ruang guru juga sudah sepi. Kulihat Bu Endang, wali kelasku, sudah pulang juga. Langkahnya selalu tergopoh-gopoh, dengan tote bag tersampir di bahu kanan, tas kanvas berisi buku-buku dan tas Tupperware makan siangnya, masing-masing di genggaman tangan kanan dan kiri.
Dari pandangan yang kuedarkan, hanya tinggal satu dua anak berseragam putih merah yang masih berkeliaran. Namun, tak ada satu pun yang kukenal sehingga bisa kuajak bicara. Satu per satu teman sekelasku—yang wajah dan namanya belum bisa kuhafal—pasti sudah sampai di rumah masing-masing.
Kupeluk tas yang terjepit di antara dada dan lutut kuat- kuat. Aku menatap kosong ke arah pintu gerbang. Hampir sejam aku berharap sosok mama atau papa berdiri di sana, merentangkan tangan lebar-lebar. Lalu aku akan berlari menghampiri, menghadiahi mereka pelukan terhangat.
Yang seperti itu cuma ada di sinetron.
Sepertinya hari ini aku harus pulang sendiri. Harusnya aku tahu itu saat melihat mama tadi pagi. Hanya ada secangkir kopi pahit tanpa gula untuk sarapannya. Mama duduk termangu di teras belakang. Harusnya aku bisa menebak ini saat melewati kamar tamu di dekat pintu depan rumah. Botol-botol bergelimpangan. Papa tidur bagai orang pingsan di ranjang kamar tamu.
Padahal, ini hari pertamaku bersekolah di SD ini. Apa papa dan mama tidak sedikit pun khawatir, atau setidaknya penasaran, dengan keadaanku? Ini bukan hal baru dalam keluarga kami. Namun, setelah berjalan selama ini, kenapa rasa sakitnya tak kunjung berkurang?
“Kenapa belum pulang?” suara itu memecah keheningan, nyaris membuatku lompat terkejut.
Dia di sana. Sebaya denganku, walau tubuhnya lebih kurus dan kulitnya lebih cerah. Rambutnya tetap rapi, walau sudah seharian beraktivitas. Senyumnya mengembang lebar, membuatku melonggarkan pelukan.
Dia ikut duduk di sebelahku. Rok merahnya diatur sedemikian rupa, hingga tetap rapi menutupi lutut. Telapak kakinya mengetuk-ngetuk tanah, berbeda dengan tungkaiku yang menggantung beberapa senti.
“Belum dijemput.”
“Sama mama?”
Aku mengangguk.
“Kamu anak baru itu, kan?” ujarnya lembut. “Rumahmu di mana? Kalau searah, kita pulang sama-sama saja.”
Aku hanya menggigit bibir bawah, tak menjawab. Sepertinya dia baik. Cantik begitu, mana mungkin akan berbuat jahat padaku?
“Tenang saja, mamaku baik. Pasti diantar sampai rumah.” Senyum itu sungguh manis sekali. “Oya, namamu siapa? Aku Mischa. Aku di kelas 2B, sebelahnya kelasmu, 2A.”
Sejenak aku ragu menyambut uluran tangan itu. Di pergelangannya, ada gelang anyam warna-warni yang sepertinya buatan sendiri.
“Lea.”
Ting!
Pintu lift terbuka. Kompartemen di dalamnya kosong.
Bayangan masa lalu itu kembali terisap ke sudut berdebu di kepala. Persahabatan selama lima belas tahun dibayar oleh satu pengkhianatan. Tak kusangka, ternyata kepercayaan yang terbangun sedikit demi sedikit, bertahun-tahun lamanya, runtuh seketika oleh satu kejadian.
Aku masuk ke dalam lift sembari memasang kacamata hitam.
***
Tahu begini, aku menuruti perkataan Trian. Dia bilang akan menjemput beberapa jam lagi. Sayangnya, aku sudah tak kuat berada di kamar perawatan. Memang, tidak ada yang salah dengan kamar itu. Trian sudah mengatur agar aku mendapat kamar VVIP. Dia berprinsip, membayar sedikit lebih banyak bukan masalah, selama aku bisa tenang dan pulih lebih cepat.
Namun, siapa yang bisa membungkam rasa ingin tahu? Kasak-kusuk para suster di ruang jaga mereka. Tatapan yang menelanjangiku, seakan mereka mengenalku lebih dari yang mereka bisa lihat dari layar kaca atau dunia maya. Belum lagi, televisi rumah sakit tidak memberiku banyak pilihan tontonan. Berita politik, sinetron, reality show, dan infotainment, semuanya begitu membosankan. Pilihan program-program tersebut malah membuatku ingin melempar remote-nya ke dinding.
“Kamu Eleandra Ghani? Anaknya Mayang Djayanti itu?”
Suster itu terkesiap, sigap langsung membaca papan periksa. Tepat sedetik sebelumnya, dia melihat tayangan infotainment di TV kamar rawatku, menampilkan foto perempuan yang mirip denganku. Aku langsung mengumpat di dalam hati.
“Mayang Djayanti itu siapa?” tanya suster kedua, yang sepertinya usianya setengah kali lebih muda.