Aurey baru saja pulang selepas mengambil gajinya. Ia bersenandung sambil memasuki apartemen. Sambil bersantai di sofa, ia mengecek notifikasi ponsel. Rupanya grup kekasih tentara sedang ramai. Ada apa, ya?
Auggie: Turut berdukacita untuk gugurnya dua orang tentara yang masuk dalam tim pengamanan PBB. Semoga tenang di alam sana. (Letnan Dua Ausgustine & Letnan Dua Rez Leonardo)
Marie: Turut berdukacita, Aurey. Semoga yang lain selalu sehat!
Aurey menjatuhkan ponselnya. Lututnya langsung lemas. Seperti ada yang menghimpit paru-parunya, sesak. Mulutnya terbuka. Matanya berkaca-kaca.
"Tidak mungkiiin!!! Rez, Rez, aku akan menelepon Rez."
Teleponnya tersambung. Suara tak dikenal yang mengangkatnya. "Halo, dengan Evern menjawab. Ada hal penting?"
Dengan suara bergetar, Aurey berbicara. "Ha... Halo. Rez, mana Rez? Aku Aurey, kekasih Rez"
"Oh, Tuhan" terdengar helaan nafas berat di seberang telepon. "Nona Aurey, kau belum mendapat kabarnya?"
Bibir Aurey semakin bergetar. Air matanya terus mengalir. Isakannya mulai terdengar. "Mana... Rez?"
"Maafkan aku, tapi, Rez gugur saat melawan pasukan pemberontak. Kuharap kau bisa menerimanya"
Isakannya semakin menjadi. "Haaah, Tuhaaan! Reeez! Aku membutuhkanmu di sini, Rez. Kita akan menikah bulan depan. Apa yang kau pikirkan, Rez...."
"Nona, tenangkanlah dirimu. Jasad Rez akan kami bawa pulang sebentar lagi"
Tangisnya semakin menjadi. Aurey menjerit dengan kencang. Sangat kencang. Bak orang kerasukan, tangisnya sampai merisaukan tetangga. Hatinya hancur bukan main. Seolah takdir sedang bermain-main dengannya. Mengapa harus Rez? Dari sekian banyak tentara, mengapa harus orang spesialnya? Mengapa harus calon suaminya? Mengapa harus masa depannya?
Sekali lagi, kematian merenggut kebahagiaannya. Tidak bisakah Tuhan membiarkannya bahagia sampai akhir hayat? Mengapa semuanya diambil? Aurey juga ingin bahagia bersama kekasihnya.
Setelah Garvil, kini Rez. Sumpah mati! Setelah ini, Aurey tidak ingin jatuh cinta lagi!
***
Berhari-hari Aurey terkurung dalam ruang pengapnya. Tak ada yang segar bagi Aurey saat ini. Apartemen luasnya pun terasa pengap oleh takdir yang menghimpit secara tiba-tiba. Ia bangun dari tidur panjangnya. Dengan rambut tak berwujud, Aurey membasuh wajah dan menyiapkan sarapan. Setelah tiga hari tak makan, ternyata perutnya kini meronta. Ia hanya memakan roti selai dan susu formula. Pizza? Tak lagi menarik perhatiannya.
Ding dong. Bel pintu berbunyi. Haruskah ia menerima tamu dalam keadaan lusuh seperti ini? Hah, biarkan saja tamu itu. Aurey sedang tidak selera menerima tamu. Ia melanjutkan sarapan tanpa menghiraukan bel yang terus berbunyi.
Kini ponselnya ikut berdering. Tertera di sana Auggie memanggil. Sejujurnya, ia juga tak selera mengangkat telepon. Jadi, diamkan saja dulu. Lalu ia melihat beberapa pesan singkat dari Marie.
"Aurey! Kami di depan apartemenmu. Bukalah, atau kudobrak"
Aurey memutar bola matanya. Kenapa harus datang di saat seperti ini sih? Ia sedang tidak ingin bertemu siapa pun. Namun, ya sudahlah. Mungkin mereka ingin membicarakan sesuatu. Akhirnya Aurey membukakan pintu apartemennya.
"Astaga, Aurey! Apa yang kaulakukan terhadap tubuhmu? Lalu ini rambutmu? Kau kesetrum, hah?" Marie langsung memberondonganya dengan pertanyaan.
Sembari berjalan masuk, Aurey menjawab. "Justru karena aku tidak melakukan apa-apa terhadap tubuh dan rambutku, mereka menjadi seeprti ini"
Auggie menghela nafas kencang. Ia kaget melihat apartemen kawan segrupnya yang sangat berantakan. Beberapa buku berserakan, pakaian juga. Meja yang kotor terkena tumpahan kopi, kasur? Sudah tak berwujud. Selimut menggulung dengan bantal dimana-mana. Seberantakan inikah kondisi Aurey?