Fa selalu mengajak saya pergi ke tempat-tempat asing. Pernah sekali saya diajaknya ke selokan belakang rumah. Lebar parit itu lebih besar dari kaki Fa yang diregangkan. Tapi Fa tetap mencoba untuk melompatinya. Ia memegang tangan saya erat. Tanpa sengaja saat melompat, dia melepaskan tangan saya. Badan saya bau selokan hingga 2 minggu.
Pernah di lain waktu saya diajaknya pergi ke suatu tempat penuh semak-semak dan bebatuan. Saya dibonceng sepedanya. Disana kami bermain petak umpet dengan beberapa teman Fa yang lain. Ketika sedang bermain, ia tak sengaja mendorong tubuh saya hingga mengenai bebatuan. Tangan saya robek dan harus dijahit. Fa tidak pernah meminta maaf atas kejadian itu.
Banyak perlakuan Fa pada saya yang sejujurnya tidak mengenakkan. Namun rasa sayang saya padanya melebihi rasa sayang saya pada siapapun—mungkin karena saya juga tidak punya siapa-siapa lagi selain dia.
Masih teringat jelas oleh saya pertemuan pertama dengan Fa. Tuan yang mempertemukan saya dengannya. Saya harus menaiki tabung besar—yang tak lama saya ketahui bernama pesawat—selama 15 jam dan berpegal-pegal di dalamnya. Hingga akhirnya saya sampai di rumah Tuan, saya bertemu makhluk kecil bermata besar yang menatap saya dengan seksama. Saya langsung terpana oleh matanya.
“Lihat siapa yang Ayah bawa,” kata Tuan pada putrinya.
“Wah, perutmu buncit sekali,” adalah komentar pertama yang dilontarkan Fa pada saya. Saya cukup tersinggung. Tapi hal itu langsung dibayar Fa dengan pelukannya. Pelukannya adalah yang terhangat yang pernah saya rasakan sebelumnya.
Setelah pertemuan itu, Tuan membiarkan saya bermain dengan Fa di kamarnya. Diperlihatkannya saya pada boneka-boneka milik Fa. Ia dengan bangga mengenalkan boneka miliknya satu persatu.
“Coba kenalan dengan Juliette, Penelope.” Ia menunjukkan boneka kucing berpitanya pada saya. Saya bertanya-tanya siapa itu Penelope.
“Penelope nama buatan Fa untuk kamu. Betah-betah di rumah ini ya, Pe,” kata Fa lagi. Fa memberi saya panggilan yang mirip namanya.
Semenjak saat itu, saya selalu memperkenalkan diri saya sebagai Pe, teman baik Fa.
---
“Fa, sudah waktunya tidur.”
Kepala Tuan menyembul dari balik pintu kamar. Fa sedang membaca buku ensiklopedianya, sesekali mengajak saya berbicara.
“Ayah, Fa mau diceritakan kisah Ayah lagi,” kata Fa.
“Boleh, rapikan dulu barang-barangmu dan bersiap untuk tidur.”
Fa merapikan buku-buku dan mainannya. Ia pergi ke kamar mandi untuk menggosok gigi kemudian kembali, “Fa sudah siap Yah!”
Fa naik ke tempat tidur lalu diselimuti oleh Tuan. Kemudian, Tuan duduk di pinggir kasur.
“Fa ingat tentang negeri di balik pegunungan?”
“Iya! Negeri yang kata Ayah penuh makhluk lucu? Negeri yang tidak banyak diketahui manusia? Itu baru Ayah ceritakan minggu kemarin, bagaimana Fa bisa lupa? Lalu Yah kalo nggak ada yang tahu keberadaannya, kenapa Ayah bisa tahu?”
Tuan tersenyum kecil kemudian berbisik, “karena itu kisah ini sangat-sangat rahasia dan tidak ada seorang pun yang boleh tau. Fa harus berjanji tidak memberitahu siapapun.”
“Ayah belum menjawab pertanyaan—”
“Shh, Fa harus berjanji agar kisahnya Ayah lanjutkan. Bagaimana?”
Saya dapat melihat raut bingung wajah Fa yang segera tergantikan oleh ekspresi mantap. “Baik Yah!”
Tuan membenarkan posisi duduknya. “Di negeri antahberantah itu, terdapat kelompok yang amat disegani. Mereka disebut Dewan Skamalltίr. Dewan Skamalltίr ini terdiri dari 4 orang terpilih yang bertugas mengatur negeri itu.”
“Di negeri itu, pemimpinnya adalah seorang perempuan bijak yang dikagumi seisi negeri yang sering disebut-sebut sebagai Ratu Skamalltίr.”
“Yah, kok ceritanya terdengar membosankan sih?” Fa menguap.
“Sebentar dulu, ada satu rahasia terbesar yang dimiliki negeri itu. Dewan dan Ratu Skamalltίr memiliki kemampuan khusus untuk mengendarai angin.”
“Hah? Bagaimana bisa Pa? Apakah mereka terbang?” tanya Fa.
“Bukan, bukan terbang. Itu hal yang berbeda. Di sana, mereka berkomunikasi dengan angin. Meminta kiranya angin berbaik hati membawa serta diri mereka. Tentunya dengan keagungan mereka, angin pun rela-rela saja untuk dikendarai.”
“Sampai segitu saja ya kisah tentang Skamalltίr. Ayah akan menceritakan kisah lain.”
“Yah, kenapa Yah? Padahal Fa masih penasaran dengan Skamalltίr.”