Saya pikir Fa tidak memiliki teman makanya ia selalu bermain dengan saya. Tapi ternyata saya salah.
Suatu hari seorang anak perempuan datang ke rumah Fa. Ia bermain bersama Fa di kamar Fa. Fa memanggilnya Rose. Rose tinggal di sebelah rumah Fa—yang saya pelajari dari obrolan Rose dan Fa pada hari itu.
Seperti yang Fa lakukan pada saya, ia selalu mengenalkan bonekanya pada orang lain. Fa memperkenalkan saya saja pada Rose—yang berarti Rose sudah mengenal boneka selain saya.
Saya jadi ingat saya belum memperkenalkan diri saya. Maafkan saya yang tidak urut dalam bercerita. Saya akan melanjutkan cerita Rose dan Fa nanti.
Saya adalah seorang? Seekor? Atau sebuah? Apapun itu, boneka beruang. Saya tidak memiliki nama pasti, terserah bagaimana kalian ingin memanggil saya. Saat saya datang ke dunia ini, orang-orang yang saya temui memanggil saya teddy bear, panggilan yang sama yang diberikan mereka kepada puluhan boneka beruang lainnya. Pemilik saya yang pertama adalah Kakek Buji, beliau memanggil saya Bernard. Lalu setelah itu saya dibawa ke tempat yang sepertinya bernama pasar loak. Disana saya bertemu Glenn untuk pertama kalinya. Glenn membawa saya ke rumah dan memanggil saya Paddington.
Glenn tidak semuda Fa saya kira. Usianya berada di tengah-tengah Fa dan Tuan. Saya cukup lama tinggal bersama Glenn, jauh lebih lama dari Kakek Buji. Suatu hari, Glenn bertemu dengan Tuan (saat itu Glenn sedang membawa saya). Pada saat itu Tuan menceritakan pada Glenn tentang anaknya. Glenn kemudian memutuskan untuk memberikan saya pada Tuan. Glenn meminta maaf pada saya karena tidak bisa terus mengurus saya. Katanya ia harus pindah ke ibukota untuk melanjutkan sekolah—yang sekarang membuat saya bertanya-tanya mengapa Fa tidak sekolah—dan hanya akan membawa pakaiannya ke sana, tidak dengan barang-barangnya. Saya terima saja, mungkin saya sudah tidak berguna lagi untuk Glenn karena saat itu ia lebih lama menghabiskan waktu dengan buku-buku. Jadi saya mengerti-mengerti saja.
Kembali pada Fa.
Rose dan Fa bermain rumah-rumahan dengan boneka-boneka Fa. Termasuk saya dimainkan oleh mereka berdua. Jujur saja, saya lebih suka bersama dengan anak kecil karena sebelum Fa, saya tidak pernah diajak bermain sama sekali. Saya hanya diajak berbincang oleh Kakek Buji dan Glenn.
“Selamat pagi Juliette!” kata Fa mengisi suara saya.
“Selamat pagi juga!” kata Rose mengisi suara Juliette.
“Teh hari ini sangatlah lezat seperti biasanya,” kata Fa. Saya dan Juliette duduk di sebuah meja kecil yang diatasnya terdapat set minum teh berukuran kecil.
“Tentu saja. Teh ini diimpor langsung dari Inggris, ini yang bangsawan biasa minum.”
“Hohoho. Pantas saja rasanya enak sekali.”
“Sayang, sehabis ini kita akan melakukan apa?”
“Bukan, bukan, bukan! Mereka bukan pasangan!” kata Fa pada Rose. Saya cukup geli juga mendengarnya.
“Oh iya maaf deh, Fa,” kata Rose. Mukanya terlihat kaget mendengar Fa teriak tiba-tiba.
“Mari kita pergi ke toko buku,” kata Fa melanjutkan permainan.
“Kamu duluan saja pergi ke toko bukunya, Pooh.”
“Ih sudah kubilang! Namanya bukan Pooh! Ini Pe.”
Muka Rose terlihat murung. “Aku gamau main rumah-rumahan lagi. Aku mau main yang lain aja.”
Saya dapat melihat mata Rose sedikit berlinang air mata. Saya jadi tidak enak padanya. Saya yakin Fa juga merasakan hal yang sama.
“Kalau begitu, kita main ke luar saja yuk,” kata Fa.
Fa langsung berlari ke luar kamar, meninggalkan saya berdua dengan Rose.
Waktu hening saya pakai untuk mengamati Rose. Sebagaimana dia teman Fa pertama yang saya lihat.
“Maaf ya tadi Aku salah sebut nama kamu, beruang.”
Tidak apa-apa, kata saya.
Nama tidak terlalu penting bagi saya. Saya pernah dianggap sebagai anak anjing dan itu lebih buruk dari salah nama, kata saya lagi.
“Aku sudah biasa bertengkar dengan Fa, tidak apa-apa kok.”
“Oh iya, ngomong-ngomon hari ini Aku lagi membolos sekolah loh.”
Saya tidak menanggapi karena tidak terlalu mengerti. Tetapi tidak apa, terima kasih atas informasinya.
“Rose, sini keluar! Tolong bawain juga Pe-nya,” kata Fa berteriak dari jauh. Rose kemudian mengangkat saya dan berjalan menuju ruang tamu.
Pintu rumah terbuka menampakkan Fa yang sedang berdiri sambil memegang sepeda merah mudanya. Rose meletakkan saya di teras rumah lalu memakai sepatu miliknya.
Fa mengambil saya dan meletakkan saya di keranjang depan sepedanya.
“Rose, ayo Fa yang bonceng.”
Rose duduk di kursi belakang sepeda. Kemudian ia berkata, “kita mau kemana?”
“Kita pergi ke Hutan Kayan yuk! Fa pingin berburu monster baik.”
Saya dapat mendengar Rose yang panik, begini katanya, “Aku nggak mau bertemu monster! Lagian masa kita cuma berdua?”
“Tenang aja Rose. Kata Ayah monster itu baik kok!”
“Tapi Aku gaboleh main jauh-jauh ke dalam hutan, apalagi cuma berdua kayak begini.”
“Jadi kamu maunya gimana?”
“Kita samper yang lain aja yuk. Biar kita ke hutan bareng-bareng yang lain.”
“Yaudah ayok.”
Fa mengendarai sepeda ke rumah-rumah tetangganya. Ini pertama kalinya saya diajak berjalan-jalan oleh Fa.
Kami berhenti di depan salah satu rumah besar. Pagar rumahnya tinggi sekali.
“Bintang!” kata Fa dan Rose memanggil anak yang bernama Bintang itu berkali-kali. Mungkin Namanya Lintang tapi saya salah dengar karena setahu saya bintang itu benda yang berkedip-kedip saat malam hari.
“Fa itu di sana ada belnya,” Rose menunjuk tombol kecil di dinding. Letaknya cukup tinggi dari jangkauan mata saya.
Hup. Fa melompat mencoba memencet tombol itu. Tetapi sayangnya tidak sampai.
“Rose, Fa nggak sampai. Coba kamu saja yang pencet.”
Rose berteriak memanggil Bintang (atau Lintang).
Tidak lama kemudian keluar orang dewasa dari pintu dibalik pagar. Orang dewasa itu menengok ke arah kami. Mungkin memastikan kami bukan maling atau pencuri yang berniat jahat.
“Wah, selamat pagi Fa dan Rose. Sedang bermain ya?” kata perempuan besar itu.
“Iya Tante! Kami mau bermain bareng Bintang, boleh?” kata Fa.
“Tentu boleh dong,” senyum Fa merekah. “Tapi sayangnya Bintang lagi di sekolah sekarang.” Senyum Fa menguncup.
“Yah, kapan pulangnya Tante?” kata Rose.
“Masih sekitar 4 jam lagi. Kalian main dulu saja berdua sambil menunggu Bintang pulang.”
“Yasudah Tante, sampai jumpa,” kata Fa sambil melambaikan tangan.
Kami berkunjung ke beberapa rumah lagi. Kejadiannya selalu sama, orang dewasa yang keluar dan menyebut-nyebut soal sekolah.
Sekarang, kami sedang duduk di pinggir jalan.
“Gimana dong, Fa?”
“Sudah, kita berdua saja berburu di Hutan Kayan.”
“Tapi kalo terjadi apa-apa bagaimana?” kata Rose takut.
“Nggak usah khawatir, kata Ayah monster itu baik asalkan kita baik juga. Lagian nanti kalo kita cerita ke Bintang dan yang lain kalau kita ketemu monster itu, pasti mereka bakal iri sama kita!”
“Iya sih …”
“Yasudah ayo naik,” Fa menepuk-tepuk jok belakang sepeda. Saya sedari tadi duduk diam di keranjang sepeda Fa.
---
Kami memasuki Hutan Kayan. Dari luar hutan ini terlihat seperti hutan pinus biasa, tidak seperti yang saya kira. Saya sudah membayangkan hutan dengan pohon-pohon besar pencakar langit dengan berbagai bentuk dan hewan-hewan yang tinggal di dalamnya. Akan tetapi, Hutan Kayan hanya terdiri atas pohon-pohon kurus dan tinggi yang berjejer cukup rapi.
“Fa, kamu yakin mau masuk ke dalam sana?”
“Kita kan pernah main di dalam juga?” kata Fa balik bertanya.
“Tapi kan waktu itu kita ramai-ramai. Emangnya monster yang kamu ceritakan itu benaran ada?” kata Rose.
Saya dapat melihat Fa mengangguk mantap. Saya ikut percaya saja pada Fa.
Sepeda Fa berjalan masuk melewati pepohonan. Saya dapat melihat akorn berserakan di tanah. Beberapa sempat terlindas ban sepeda membuat sepeda kami sedikit goyah. Kami masuk semakin dalam.
Fa memberhentikan sepeda lalu menyuruh Rose turun. Fa menyenderkan sepedanya ke salah satu pohon.