“Ini pertama kalinya Fa memakai seragam loh, Pe,” kata Fa sambil memperlihatkan dirinya. Dia memakai baju putih dengan rok biru tua dengan sabuk yang memiliki kotak kuning berlogo aneh di tengahnya—jadi ini yang namanya seragam pikir saya.
Tuan pernah memberitahukan saya bahwa Fa tidak bersekolah formal. Sebetulnya saya kurang mengerti apa yang dimaksud dari sekolah formal. Apakah ada sekolah kasual? Lalu Tuan menjelaskan bahwa selama ini Fa bersekolah di rumah dibimbing oleh Tuan, Nyonya, dan guru lain. Homeschool namanya.
Saya ingat Glenn terkadang mengeluh sepulang sekolah. “Aduh, Padd, aku ingin homeschooling saja rasanya.” Sambil melempar tas yang hampir membuat tubuh saya terpental—yang untungnya tidak kena. Jadi saya rasa homeschool itu merupakan sesuatu yang bagus namun tidak semua orang berkesempatan merasakannya.
Tetapi melihat Fa yang senang untuk bersekolah, saya rasa sekolah formal itu sama bagusnya. Tapi entahlah saya kurang mengerti.
Keputusan untuk memasukkan Fa ke sekolah formal itu dikarenakan Tuan yang semakin sibuk—beberapa minggu yang lalu, saya sempat mencuri dengar perbincangan Tuan dan Nyonya. Memang benar saya mulai jarang melihat Tuan serta hidungnya di sekitar rumah.
“Tapi sayang, Ayah nggak bisa mengantar,” Fa menurunkan bibirnya sedih.
Nyonya datang melihat hal tersebut. “Maaf ya, sayang. Ayah akhir-akhir ini sedang sibuk mengurusi pekerjaannya. Hari ini Mama yang antar dulu ya.”
Fa tersenyum manis, “nggak apa-apa kok, Ma. Fa mau jadi anak yang baik.”
Nyonya kemudian menggiring Fa ke mobil lalu membawanya pergi.
Selama Fa bersekolah rasanya membosankan sekali. Tidak ada yang mengajak saya bermain seperti biasanya. Saya pun jadi jarang mendengar cerita Tuan atau ucapan pelan yang Tuan ucapkan pada dirinya atau senandung kecil yang Tuan nyanyikan—suara Nyonya terdengar lebih merdu dari Tuan.
Hari ini saya lebih banyak berbincang dengan benda-benda lain, tidak hanya kepada Juliette. Tidak saya kira ternyata berbicara dengan benda lain pun terasa menyenangkan.
Pada figura misalnya. Figura foto bercerita bagaimana kacanya dulu pernah pecah karena tak sengaja dijatuhkan oleh Fa. Foto dalam figura pun berubah-ubah tiap saat. Saya juga berbicara dengan bunga yang terlihat dari jendela. Mereka bercerita tentang cerita-cerita menarik dari para lebah atau kupu-kupu yang datang menghampiri. Juga tentang serbuk mereka yang terbawa oleh angin.
Saya belajar banyak dari pandangan yang berbeda-beda. Kami juga sempat bercerita tentang kejadian sama yang terjadi namun dalam pandangan kami yang masing-masing berbeda.
---
Fa pulang saat langit mendung dan matahari sudah tidak menyinari jendela kamar. Saat Fa masuk ke kamar, ia langsung menyimpan tasnya di dekat kasur dan berbaring di atas kasur.
Saya dengan iseng bertanya. Bagaimana hari pertamamu bersekolah?
“Melelahkan sekali!” kata Fa sambil melepaskan ikat rambutnya. “Cara belajarnya pun berbeda dari apa yang ayah dan guru-guru Fa dulu lakukan di rumah.”
“Tapi Fa bertemu banyak orang baru! Lebih banyak dari teman-teman Fa di sini,” Fa mengganti bajunya dengan baju rumah. “Sepertinya Fa bisa berteman baik dengan semua orang!”
“Setidaknya Fa harap begitu,” suara Fa terdengar menurun semangatnya. Fa memukul-mukul pahanya ringan. “Tidak apa-apa selama Fa percaya. Ayah bilang seperti itu.”
Ketukan pintu terdengar. Tuan membuka pintu sedikit memperlihatkan sebagian wajahnya.
“Fa sudah pulang? Bagaimana sekolahnya? Apakah menyenangkan? Maafkan Ayah yang tidak bisa mengantarmu pergi ya.”
“Menyenangkan Yah!” Fa berseru sambil menunjukkan giginya. Lalu ia terdiam.
“Kenapa? Ada masalah apa di sekolah?”
Fa terdiam. “Karena Fa tidak ikut masa pengenalan seminggu kemarin, Fa belum mendapat teman. Tapi tidak apa-apa, Fa rasa Fa masih beradaptasi.”
“Tenang saja, kamu akan secepatnya mendapatkan teman baru. Tetaplah terbuka dengan orang lain.” Tuan mengelus kepala Fa. Kemudian Tuan pamit ke luar kamar.
Suara pintu kamar terdengar tertutup. Fa membenamkan kepalanya di antara bantal-bantal. Tak berapa lama ia beranjak dari kasur dan duduk di meja belajarnya,
Fa mengambil 2 buku tebal dari rak bukunya. Kemudian membaca buku itu.
“Pe, mulai hari ini Fa akan lebih sering belajar. Fa harus bekerja keras. Lagipula Fa ingin diterima di Skamalltίr. Maaf ya Pe, Fa tidak akan sering bermain seperti dulu.”
Saya tidak mempermasalahkannya sama sekali. Di rumah pun masih banyak teman bermain. Mungkin saya akan merasakan apa yang Juliette dulu rasakan saat saya pertama datang.
Fa seperti direkatkan pada meja belajarnya. Saya tidak bisa mengganggunya belajar jadi saya melamun sambil melihat ke arah luar jendela.
---
Saya sudah terbiasa dengan rutinitas baru ini. Fa yang pergi sekolah sejak matahari menyapa saya hingga matahari membelakangi jendela Fa. Fa sudah tidak diantar Mama ke sekolah. Fa harus naik angkutan umum, karenanya ia harus pergi pagi-pagi.
Fa sesekali tetap mengajak saya bermain keluar. Ia mulai jarang bermain bersama Rose, Bintang—yang ternyata bukan Lintang—dan anak-anak lain di sekitar rumah. Kata Fa suatu ketika, “Semua mulai sibuk jadi susah untuk bertemu sekarang.”
Beruntung, saya masih dapat melakukan hal favorit saya sejak datang ke rumah ini—mendengar dongeng Tuan bersama Fa atau dibacakan buku cerita oleh Fa.
Rutinitas baru saya ini sangat tidak istimewa, karenanya saya akan menceritakan kisah yang menarik saja—sebagian besar terjadi saat Fa pulang sekolah, tolong jangan bosan.
Pada saat Fa pulang hari ini, mukanya cemberut. Ia melempar tas dengan kasar. Berganti baju dengan kasar. Berkata-kata dengan kasar juga. Begini bunyinya, “Ah! Menyebalkan. Padahal puisi mereka tidak ada yang bagus juga. Semuanya membosankan,”
Saya bertanya, ada apa?
Fa duduk di meja belajar, menyimpan kepalanya di atas meja lalu menghela napas banyak-banyak. “Huf, huf, hm, …, huh!”
Juliette—yang cukup terganggu—kini yang bertanya. “Ada apa?” katanya.
“Pe, Juliette, coba dengarkan ini. Apa menurut kalian ini aneh?” Fa mengeluarkan secarik kertas dari dalam tas yang tadi Fa lempar dengan kasar. Kertasnya sudah tidak rapih, terdapat lipatan-lipatan seperti habis diremas.
Fa membacakan isi kertas, ini yang saya dengar :
“Dan beruang berkumpul semua.
Entah beruang karet, beruang kaca, bahkan beruang api sekalipun.
Dan lagi, hei lihat topi di sana!
Topi menceritakan malangnya ia hari itu.
Ia tidak dipilih pemilik untuk sulapnya.
Gagal sudah rencananya untuk pamer pita barunya.
Hei! Coba lihat alap-alap terbang melewati topi.
Alap-alap juga terbang melewati perkumpulan beruang.
Saya rasa hari ini sama lagi seperti kemarin.
Kue pai masih hangat tapi aku tidak mau makan. “
Saya bersorak memuji puisi yang dibuat Fa tetapi Juliette hanya diam saja.
“Bagaimana bagus tidak? Fa rasa ini puisi terbagus yang pernah Fa buat.” Fa meremas kertas itu dan melemparnya ke tong sampah dekat pintu kamar—tidak masuk.
“Saat Fa membacakan puisi Fa di sekolah tadi, teman-teman semuanya tertawa. Mereka mengejek Fa aneh. Bahkan bu guru meminta Fa untuk membuat puisi ulang. Fa tidak mengerti. Padahal Ayah selalu bilang puisi dan cerita buatan Fa sangat indah. Apakah Ayah berbohong?”
Tuan tidak akan berbohong pada Fa, kata saya. Tenang saja, mereka hanya tidak mengerti.
“Fa malas belajar hari ini. Boleh ya membolos sekali?” tanya Fa pada dirinya sendiri. Ia juga mengangguk untuk dirinya sendiri.
Fa keluar kamar membawa saya duduk di sofa depan televisi. Televisi menyala dan menampilkan laut. Saya ikut menyimak tayangan di layar. Orang di dalam televisi itu melakukan pencarian cumi kolosal untuk diteliti.
Fa tiba-tiba berteriak, “Ayah! Ayah!” Fa terus berteriak memanggil Tuan. Tidak ada jawaban.
Nyonya keluar dari kamarnya. “Ada apa Fa?”
“Ayah kemana?”
“Ayahmu belum pulang. Sedang ada urusan. Memangnya kenapa?”
Fa menghela napas sepertinya kecewa. “Fa ingin mendengar cerita lagi dari Ayah. Fa bosan.”
“Oh begitu. Sepertinya Ayahmu akan pulang cukup malam hari ini. Oh iya, bagaimana sekolahmu?” Nyonya duduk di samping Fa.
“Biasa saja,” kata Fa singkat. Padahal ia baru saja mengomel tentang temannya tadi, kenapa sekarang berubah pikiran?
“Apa Mama punya cerita?” Fa menatap Nyonya.
Nyonya diam untuk berpikir sebentar. “Bukan cerita sih, tapi mungkin kamu akan suka.”
Fa mengangkat kaki ke atas sofa dan menyilangkannya. “Apa itu Ma?”
“Saat awal Mama mengenal Ayahmu dulu, Mama juga diceritakan tentang negeri Skamalltίr seperti kamu. Mama juga diajarkan menanyi puisi yang indah sekali. Apakah kamu sudah dengar dari Ayah?”
Duduk Fa mencondong ke arah Nyonya, sepertinya tertarik. “Belum, Ma! Coba dong nyanyikan.”
Nyonya berdeham.
Berahutan utara dan selatan.
Bersahutan masa lalu dan kini.
Bersahutan barat dan timur.
Bersahutan waktu dan memori.
Dari alam bukit Skamalltίr
Menghembus halus
Selalu menemani
Bersahutan pagi dan malam
Bersahutan badai dan tandus
Bersahutan laut dan pasir
Bersahutan ombak dan angin
Angin mulia
Izinkan kami membawa tanggungan
Bersadung raga dengan
Angin mulia
Fa bertepuk tangan. “Bagus sekali Ma! Aku nggak tahu Mama bisa menyanyi sebagus itu.”
Fa mencoba menyanyikan ulang. Mama memperbaiki saat Fa melakukan kesalahan.
“Ma, kenapa Ayah sekarang jarang terlihat?”
Nyonya tersenyum. “Ayahmu sedang mengurusi pekerjaannya.”
Dahi Fa terlipat-lipat. “Ayah punya pekerjaan baru? Bukannya selama ini Ayah melakukan pekerjaannya di rumah? Ayah bosan menjadi seniman?”
Nyonya menggeleng. “Tidak, tapi ada urusan di luar rumah yang harus ia urus mengenai pekerjaannya. Tunggu saja, urusan ini akan selesai pada waktunya.”
Fa mengangguk-angguk saja kemudian melanjutkan kegiatan menonton televisinya yang sempat tertunda.
Kali lain Fa kembali pulang dengan wajah tertekuk lagi. Saya rasa hanya sesekali saya melihat Fa pulang ke rumah dengan raut wajah cerah. Saat mendapat nilai bagus di ulangan misalnya. Saya jadi meragukan asumsi saya bahwa sekolah itu menyenangkan.
Fa pulang langsung pergi ke atas tempat tidur.
Saya dapat mendengar isak tangisnya di balik bantal. Saya mulai membayangkan seburuk apa tempat bernama sekolah itu.
Fa memindahkan bantal dari atas kepalanya. Kemudian ia mengambil dan memeluk saya. Fa bercerita sambil tersendat-sendat karena tangisnya.
“Tadi siang … ada anak laki-laki di kelas Fa yang mengejek Fa. Katanya Fa sok bertindak seperti anak kecil. Hiks. Padahal kan kita semua memang masih kecil.”