Larut malam, Tuan baru saja pulang dari luar. Pakaiannya membosankan dan sangat berantakan tidak seperti biasanya—rapih dan warna-warni. Fa membiarkan saya tidur di sofa lagi malam ini untuk yang kesekian kalinya..
Tuan masuk dengan gaya berjalan yang aneh. Ia tidak berjalan lurus tetapi bergoyang ke kanan-kiri dan menabrak-nabrak barang yang dilewati. Tuan sepertinya tidak sedang memakai matanya dengan baik malam ini.
Sepertinya karena terganggu mendengar keributan yang Tuan buat, Nyonya keluar dari kamarnya. Saya harap Fa tidak ikut terbangun karena berisiknya Tuan.
“Habis darimana saja kamu baru pulang tengah malam begini?” kata Nyonya. Cara bicaranya sama seperti ketika Papa Glenn memarahi adik Glenn karena pulang kemalaman. Jika kamu lupa, Glenn adalah pemilik saya sebelum Fa.
Tuan tidak menjawab dan malah duduk di sofa begitu saja. Tuan menduduki saya yang membuat saya tidak nyaman. Mungkin karena sama-sama tidak nyaman Tuan memindahkan saya dari pantatnya ke meja di depan sofa.
“Aku tanya kamu habis darimana? Bau apa ini?” tanya Nyonya lagi. Sepertinya saya selalu melihat Nyonya marah-marah di rumah ini.
“Bukan apa-apa,” kata Tuan. Cara bicaranya juga aneh seolah-olah Tuan sedang tidak sadar penuh—atau mungkin memang benar.
Nyonya mendekati Tuan. Hidungnya meringis. “Kamu habis minum-minum ya? Bau alkoholnya menyengat sekali.”
Sekarang, setelah Nyonya menyinggungnya, saya juga mencium bau alkohol itu. Sekarang saya mengerti alasan dibalik segala keanehan yang dilakukan Tuan sejak pulang tadi.
“Saya tidak suka ya kamu jadi kacau seperti ini,” Nyonya menarik tangan Tuan, mencoba membuat Tuan berdiri.
Tuan hanya diam saja. Sepertinya terlalu mabuk untuk diajak bertengkar.
“Tolong jawab saya!” Nyonya menjerit. Tuan yang kaget pun membaik kesadarannya.
“Kecilkan suaramu! Fa sedang tertidur,” kata Tuan dengan suara yang tegas.
“Kalau begitu jawab pertanyaan saya dengan benar. Saya ulang sekali lagi, kamu habis minum-minum? Bersama siapa? Kenapa?”
“Iya. Saya baru pulang dari bar. Tidak, tidak dengan siapa-siapa. Saya minum sendiri. Ada masalah apa?”
“Tentu saja itu bermasalah. Kamu tidak pernah minum-minum sama sekali sebelumnya. Sejak kapan kamu berubah jadi brengsek begini?” Urat-urat di leher Nyonya menegang hingga dapat saya lihat dengan jelas.
“Berani-beraninya kamu bilang aku brengsek. Aku ini suamimu!” Nada suara Tuan meninggi.
“Jika kamu memang suamiku, bertindaklah selayaknya seorang suami. Saya tahu kamu masih kesal karena masalahmu itu tapi ayo lupakan saja masalahmu itu!”
“Oh begitu? Coba jelaskan suami seperti apa aku seharusnya?”
“Suami seharusnya yang mencari nafkah untuk keluarganya. Setidaknya cobalah cari pekerjaan, apapun itu. Anakmu, Fa, juga uruslah dia dengan baik. Lihat sekarang dia lebih sering diam di kamarnya.”
“Memangnya kamu pikir selama ini aku pergi kemana? Aku juga berusaha mencari pekerjaan. Lagipula, sejak kapan mendidik Fa jadi tanggung jawab aku sendiri? Bukankah kamu ibunya? Seharusnya kamu bisa mengurusnya lebih baik. Selama ini aku lebih banyak meluangkan waktu untuknya dibanding kamu. Ibu macam apa kamu ini!”
Samar-samar saya bisa melihat pintu kamar Fa terbuka sedikit.
“Kamu tahu saya ini harus bekerja!” kata Nyonya membela diri.
“Oh, selalu saja memakai alasan itu. Kamu selalu punya pilihan untuk tidak bekerja dan diam di rumah mengurusnya.”
“Lalu? Siapa yang akan mencari uang untuk menghidupi kita? Tetangga sebelah? Saya bekerja untuk kebaikan kita bersama. Sejak dulu pekerjaanmu sudah tidak jelas.”
“Apa kamu bilang?” suara Tuan meninggi.
Fa membanting pintu. Suaranya membuat Tuan dan Nyonya—serta saya—kaget.
“F-Fa, kamu belum tidur?” suara Nyonya memelan.
“Fa cuma mau ambil Pe,” kata Fa mendekati saya. Nyonya dan Tuan berhenti bertengkar. Saya yakin saat mengangkat saya, Fa dapat mencium bau dari Tuan karena mukanya sedikit mengernyit.
Sambil membawa saya, Fa berjalan balik menuju kamarnya. Sebelum menutup pintu, Fa berbalik. “Tolong jangan bertengkar, Ma, Yah.”
Saya melihat matanya sudah berlinangan air mata. Ia kemudian membalikkan diri dan menutup pintu. Fa meletakkan saya di samping bantalnya. Setelah itu saya tidak mendengar Tuan dan Nyonya melanjutkan adu argumen mereka.
---
Esok paginya, Fa menangis sambil menelungkupkan kepalanya di bantal.
“Pe, Fa nggak mau sekolah,” rengeknya.
“Fa kangen masa-masa saat Fa bisa belajar di rumah dan menghabiskan waktu bersama Ayah atau Mama,” kata Fa lagi, pada saya. “Fa nggak mau belajar di sekolah dengan teman-teman. Bukan, mereka bahkan bukan teman Fa.”
Jika bisa, saya ingin sekali menenangkannya dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi sayangnya, saya tidak memiliki kemampuan untuk melakukan hal itu.
Fa duduk di kasur dan mengusap wajahnya yang penuh air mata. “Tidak apa-apa, Fa harus tegar dan semangat seperti ratu Skamalltίr. Lagipula, Ayah sudah berjanji untuk mengajak Fa pergi kemping.”
Fa segera bersiap-siap untuk sekolah. Lalu ia pergi.
---
Sudah beberapa hari terakhir ini saya mendengar Nyonya menelepon terus menerus. Tidak, saya tidak terganggu. Malah saya ikut bahagia karena suara Nyonya terdengar bahagia. Sebelumnya saya selalu mendengar Nyonya bernada tinggi sedangkan di telepon Nyonya terdengar ceria.
“Iya, hari ini dia tidak di rumah. Mungkin sedang mabuk lagi di luar sana.”
“…”
“Iya, datang saja.”
“…”
“Fa belum pulang. Biasanya jam 2 dia baru sampai ke rumah.”
“…”
“Baiklah, sampai jumpa nanti.”
Begitu suara Nyonya yang dapat saya dengar kemudian Nyonya berhenti bicara—sepertinya sudah selesai menelepon.
Saya sedang berada di kamar Fa jadi saya tidak tahu apa yang sedang dilakukan Nyonya di ruang sana.
Juliette, Nyonya terdengar senang ya? kata saya.
“Baguslah, aku lelah mendengar dia marah-marah terus,” kata Juliette.
Kami melanjutkan obrolan kami tentang gosip kucing yang kami dapat dari kucing tetangga yang suka berkunjung dan melompati jendela Fa.
Jam, sekarang jam berapa? tanya saya pada jam dinding.
Jam menjawab, “Pukul 11 siang. Ada apa?”
Tidak apa-apa, kata saya. Biasanya jam 11, dua burung putih cantik akan hinggap di pohon yang bisa saya lihat dari jendela Fa. Saya senang menguping percakapan mereka. Mereka bisa bebas pergi kemana saja jadi saya mendengar informasi tentang dunia luar dari mereka.
Tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Aneh, pikir saya. Biasanya Fa pulang jam 2 dan membawa kunci sendiri. Sudah lama juga tidak ada tamu yang datang. Lalu itu siapa?
“Hai, Hendra.” Saya dapat mendengar suara Nyonya.
“Selamat siang,” kata suara seorang laki-laki. Dari suaranya, saya memperkirakan umurnya mirip Tuan dan Nyonya karena suaranya tidak cempreng seperti Bintang—anak laki-laki di rumah sebelah.
“Saya bawa ini untuk kamu.” Saya mendengar suara kresek berbunyi. Saya hanya mengira-ngira saja apa yang diberikan laki-laki itu.
“Terima kasih,” kata Nyonya. “Untung sekali ya, kantor diliburkan hari ini. Kita jadi bisa menghabiskan waktu bersama seperti ini.”
Kini saya bertanya-tanya apa yang laki-laki itu lakukan di rumah ini. Suaranya tidak terdengar seperti paman-paman Fa yang pernah datang ke rumah ini.
Suara televisi terdengar. Laki-laki itu dan Nyonya terus mengobrol. Saya juga mendengar suara kriuk kriuk, sepertinya mereka sedang memakan sesuatu yang renyah.
Saya dan Juliette cukup terhibur dengan kedatangan laki-laki itu. Setidaknya kami bisa mengomentari obrolan Nyonya dengan laki-laki itu.
Yang bisa saya nilai dari obrolan mereka, laki-laki itu sangat membosankan. Tidak seperti Tuan yang punya kemampuan bercerita baik. Bahkan paman Fa jauh lebih baik dari laki-laki itu. Paman-paman Fa merupakan orang menyenangkan yang senang bercanda dengan Fa. Tapi laki-laki ini tidak. Daritadi ia hanya menyombongkan diri dengan pencapaiannya. Saya bertanya-tanya mengapa Nyonya betah berbicara lama dengannya.
Tiba-tiba terdengar suara mesin mendekati rumah. Saya pikir itu mungkin Tuan yang baru saja pulang.
“Oh, ini akan menjadi buruk…” kata Juliette.
Saya bertanya, kenapa? Memang apa yang akan terjadi?
“Ini siapa!” suara Tuan terdengar keras dan tinggi.
“Loh, kamu sudah pulang lagi?” kini suara Nyonya yang terdengar.
“Jawab dulu pertanyaanku. Kamu bawa siapa ke rumah ini?”
“Ini teman kantorku! Dia cuma bertamu saja.”
“Omong kosong! Wanita beristri mana yang membawa teman kantornya ke rumah dan berduaan dengannya. Kamu pikir aku bodoh?”
Hening. Lalu laki-laki tadi berbicara, “Bukankah ini salahmu juga tidak bisa menjadi suami dan ayah yang baik. Kepala keluarga mana yang tidak mencari nafkah untuk keluarganya dan malah mabuk-mabukan?”
“Jangan ikut campur kamu!” kata Tuan.
“Tapi apa yang dikatakan dia benar. Kalau kamu tidak mabuk-mabukan dan mencari pekerjaan dengan benar, aku tidak akan merasa stress seperti ini. Akhir-akhir ini pun kita bertengkar terus. Aku tidak tahu bagaimana keluarga kita akan bertahan,” kata Nyonya sambil terisak.
“Jadi maumu apa?” kata Tuan. Nada suaranya mendatar dan memelan.
“Aku lelah harus mencari nafkah sendirian. Fa juga butuh seorang ayah yang bisa jadi teladan, bukan seseorang yang suka mabuk.”
“Sekali lagi saya tanya, kamu mau apa?” suara Tuan menjadi sangat dingin.