“Fa kenalkan ini, Hendra,” kata Nyonya dengan laki-laki di sampingnya. Fa sedang belajar di kamarnya.
Fa tidak menjawab, hanya mengangguk.
“Bagaimana kabarmu, gadis manis?” laki-laki itu bersuara. Dari suaranya saya mengenalinya. Dia laki-laki yang membuat Tuan dan Nyonya bertengkar besar.
“Sebentar lagi, dia akan tinggal bersama kita,” kata Nyonya. Fa mencoba tersenyum tapi saya dapat melihatnya kepalsuannya.
“Kamu bisa panggil aku, Papa ya, sayang,” kata laki-laki itu. Kalau begitu saya akan turut memanggilnya Papa.
Setelah perkenalan singkat itu, Nyonya dan Papa mengadakan pernikahan di minggu setelahnya. Tidak banyak yang diundang, hanya kerabat dekat saja. Fa tidak membawa saya ke sana, tetapi kata Fa Tuan tidak diundang ke pernikahan itu.
Sehari setelah pernikahan, Papa sudah pindah ke rumah kami. Saya senang karena akhirnya Fa mempunyai sosok ayah lagi di hidupnya—setidaknya saya kira begitu.
Papa sangat baik kepada Fa. Namun, saya pikir dia keterlaluan baiknya.
Setiap malam Papa akan selalu mengantarkan Fa menuju tempat tidur. Walau tidak seperti Tuan yang menceritakan dongeng-dongeng menarik. Tapi saya rasa Papa bisa memberikan kenyamanan bagi Fa.
Pikiran saya berubah dalam beberapa malam kemudian. Wajah Fa terlihat tidak nyaman saat Papa menemaninya di malam hari. Saya tidak mengerti apa yang dirasakan Fa. Saya kira dia akan bahagia karena mendapatkan sosok pengganti.
Hingga suatu malam, Fa menjerit. Ia menolak Papa. Fa menjerit sangat kuat hingga Nyonya datang ke kamar Fa.
Fa berteriak-teriak berkali-kali. Karenanya saya tidak dapat menjelas apa yang Fa katakan. Yang dapat saya dengar beberapa adalah “pegang”, “Papa”, “Fa”, “nggak suka”, “jangan pegang”, “benci” dikatakan berulang kali.
Papa juga berkali-kali berbicara menghadap Nyonya sambil menggeleng-geleng.
Nyonya kemudian menarik Papa keluar agar suasana bisa tenang.
Saat Nyonya dan Papa keluar, Fa menangis sambil memegangi saya hingga dia tertidur.
Senyap-senyap saya bisa mendengar percakapan Papa dan Nyonya.
“Kamu kan tahu sendiri, dia anaknya suka mengkhayal,” suara Papa terdengar.
“Tapi Fa jarang berbohong loh soal kejadian yang benar terjadi,” suara Nyonya menimpali.
“Mungkin saja dia syok, orang tuanya kan baru bercerai. Jadi dia berpikir tidak-tidak padaku karena sedih kehilangan ayahnya.”
“Mungkin juga begitu, ya?”
“Ya, mungkin saja dia belum menerima bahwa ayahnya tidak ada di sampingnya tiba-tiba begini.”
Lalu suara hilang. Mungkin Nyonya dan Papa juga pergi tidur.
Sejak kejadian itu, perbuatan Papa tidak sama lagi. Papa berubah sikapnya terhadap Fa. Ia menjadi lebih galak dan kejam.
Fa juga memiliki kebiasaan baru untuk mengunci pintu kamarnya setiap tidur.
Saya selalu bertanya kepada Juliette apa yang sebenarnya terjadi. Tapi ketika hal itu saya ungkit, Juliette selalu diam dan menolak menjawab saya.
Pernah suatu kali Fa ingin pergi menaiki sepeda untuk bertemu dengan Angin, ia juga membawa saya. Namun, saat ingin mengeluarkan sepeda, tanpa sengaja ia menggores mobil milik Papa. Papa langsung keluar dan membentak Fa.
“Apa yang kamu lakukan, anak kecil?” katanya keras. “Kamu tidak tahu berapa biaya yang harus aku keluarkan untuk mobil ini? Hah?”
Saat itu Nyonya sedang tidak ada di rumah jadi Fa bingung harus bagaimana. Fa meminta maaf berkali-kali, ia tentu saja kaget melihat Papa tiba-tiba membentaknya begitu saja setelah selama ini Papa bersikap baik.
“Memangnya maaf saja bisa memperbaiki mobil ini?” kata Papa. Kemudian ia mendumel terus-menerus.
Fa takut jadi ia langsung menjalankan sepeda keluar dan mencari Angin—ini terdengar konyol haha. Fa memboseh sepedanya dengan kencang karena terdengar teriakan Papa menyuruhnya untuk tidak kabur.
Pernah di lain waktu. Fa baru saja pulang dari taman bermain agak larut malam. Saat kami masuk, Nyonya dan Papa sedang menunggu di ruang keluarga dengan khawatir.
“Fa habis darimana saja?” kata Nyonya.
Fa tidak menjawab dan langsung masuk ke kamar. Tapi Fa ditarik Papa sebelum dapat masuk ke kamar. Saya pun sampai terlepas dari pegangan Fa.
“Anak ini tidak pernah diajari sopan santun ya di sekolah?” Papa memarahi Fa.
“Kamu ini tidak tahu diuntung ya. Papa dan Mama kamu sudah susah-susah bekerja untuk membiayai kamu tapi kerjaanmu cuma keluyuran dan mengkhawatirkan orang lain saja,” kata Papa lagi. Fa hanya diam saja tidak menanggapi.
“Jangan terlalu keras padanya Pa,” kata Nyonya sambil memegang tangan Papa. Itu pertama kalinya Nyonya melihat Papa memarahi Fa di depan matanya.
“Tidak apa-apa dia perlu diajari dengan benar. Mantan suamimu tidak pernah mengajarinya disiplin, kan?”
Nyonya terdiam sedangkan Papa lanjut membentak Fa. Nyonya kemudian memilih masuk ke kamar.
Setelah dipersilakan Papa, Fa masuk ke kamar tapi Fa lupa membawa saya.