Reverie

Qonitatur Rasyidah
Chapter #7

Bagian Enam

“Apa yang kamu lakukan?” bentak Papa. Fa kaget dan menunduk.

Fa sedang menonton bersama Papa dan Nyonya. Saat Fa sedang ingin mengambil remot untuk memindahkan televisi, ia tak sengaja menyenggol jam milik Papa. Sekarang jam itu terkulai lemas di lantai dengan kaca yang sedikit retak.

“Jam ini Papa beli di Paris, tahu? Harganya bahkan lebih mahal dari sepedamu itu!”

Fa menunduk takut. Ayo Fa, ingat apa yang Angin bilang padamu, kata saya.

Fa mendongakkan wajahnya menatap langsung mata Papa. “Maafkan Fa. Fa tidak sengaja.”

“Bagaimana sih kamu ini. Tidak bisa tidak berbuat onar sekali saja,”

Fa mengenggam erat kedua tangannya. “Fa bilang Fa minta maaf!” Fa berteriak. Papa kaget. Nyonya juga kaget.

“Oh, sekarang sudah belajar memberontak ya? Setelah pergi ke rumahmu ayahmu itu kamu jadi seperti ini?” kata Papa. Saya bertanya-tanya Papa tahu darimana kami sering berkunjung ke rumah Tuan akhir-akhir ini.

Fa terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa.

“Ayahmu itu benar-benar memberi pengaruh buruk bagimu. Haruskah aku larang kamu untuk datang ke rumahnya?”

Saya selalu kesal ketika Nyonya melihat Papa memarahi Fa. Kenapa Nyonya hanya diam saja seolah tidak punya kuasa atas dirinya sendiri?

“Jangan bicara begitu tentang Ayah. Kamu bahkan tidak bisa menyamai levelnya dalam mendidikku!” Fa menunjuk Papa. Urat lehernya tegang.

Mata Papa membelotot sekarang. Seperti mau keluar saja, pikir saya. “Berani-beraninya kamu bicara begitu!”

“Apa sih yang kamu dapat dari ajaran dia? Hanya cerita bohong?” kata Papa makin meninggi.

“Setidaknya jauh lebih bernilai dari bentakanmu yang tidak ada isinya itu.”

“Dasar bocah tidak sopan!” Papa mengambil paksa saya dari pelukan Fa.

Papa mencengkram kuat telinga saya dengan tangan kanannya dan mencengkram muka saya dengan tangan satunya. Ia kemudian merobek telinga saya dari wajah. Saya merasakan kapas-kapas keluar dari telinga saya.

“Apa yang kamu lakukan!” jerit Fa. Ia merebut kembali saya dari tangan Papa.

“Kamu seharusnya sudah tidak bermain boneka seperti ini. Masuk ke kamarmu dan belajar saja sana!” Papa membawa paksa Fa ke kamarnya.

Fa menggigit tangan Papa dengan kuat. “Au!” Papa melepaskan cengkramannya di tangan Fa kemudian melihat bekas gigitan di tangannya.

Muka Papa memerah sekali. Kemudian ia mengayunkan tangannya ke wajah Fa. Plak.

Nyonya berdiri saking kagetnya. Fa menatap kosong wajah Papa.

Fa membawa saya ke kamar dan membanting pintunya. Di dalam kamar, ia mengambil tas miliknya dan memasukkan beberapa barang ke dalamnya.

Juliette bertanya apa yang terjadi lalu saya menjelaskan kejadian yang baru saja terjadi.

“Juliette, maaf ya. Fa nggak bisa ikut membawamu. Selamat tinggal.”

Fa kemudian membawa saya keluar kamar sambil berlari mengambil sepeda. Ia membanting pintu utama rumah sambil menangis. Fa langsung mengoseh sepedanya menjauh dari rumah. Saya dapat mendengar teriakan Nyonya memanggil-manggil Fa.

Fa mengoseh sepeda dengan cepat sambil menangis sesenggukan. Bulu-bulu saya tertiup angin karena duduk di depan. Saya khawatir kapas di telinga saya terbang semua.

Fa mengendarai sepedanya ke rumah nenek. Dia meletakkan sepedanya di tanah begitu saja saat sudah tiba. Ia menggedor-gedor pintu rumah berkali-kali sambil memeluk erat badan saya.

Tuan yang mebukakan pintu kebingungan melihat Fa yang menangis. Fa langsung memeluk Tuan dengan sangat erat hingga saya terhimpit di antara badan keduanya.

“Fa, ada apa?” tanya Tuan. Kerutan di dahinya terlihat.

Fa tidak menjawab tetapi menangis semakin keras. Nenek kemudian datang untuk melihat ribut-ribut yang terjadi. Nenek bertanya pada Tuan apa yang terjadi yang hanya dijawab Tuan dengan gelengan.

Mereka membiarkan Fa untuk tenang lebih dulu. Kemudian Nenek menyuruh Fa beristirahat lebih dulu di kamarnya agar tenang. Fa kemudian dibawa pergi ke kamar Nenek oleh Tuan.

Ketika Nenek akan pergi juga, ia sempat melihat saya tertidur di lantai dengan telinga robek. Dengan baik hati, Nenek mengangkat saya dan menjahit kembali telinga saya. Setelah saya dijahit, saya diletakkan di sebelah Fa yang sedang tertidur.

Langit sudah gelap saat Fa terbangun. Ia terbangun dengan panik sambil meneriakkan Tuan.

Tuan datang tergesa-gesa dengan panik. Melihat Fa sudah bangun, ia pergi lalu kembali dengan bawa sepiring makanan dan segelas susu. Setelah Fa selesai makan, Tuan mengajak Fa mengobrol di halaman belakang rumah.

Kami duduk di teras belakang rumah. Halaman rumah nenek ini sangat luas dan ditumbuhi berbagai tanaman. Langit malam ini juga terlihat sangat indah. Awan tidak menutupi bulan dan bintang-bintang yang bertebaran di atas sana.

“Fa mau cerita kenapa Fa kabur dari rumah dengan menangis tadi siang?” kata Tuan memecah keheningan.

Fa menunduk dan memeluk lengan Tuan. “Papa menampar Fa.”

Tuan bergetar sedikit karena terkejut, “Papamu masih belajar jadi orang tua yang baik, Fa.”

Fa menggeleng tidak setuju. “Enggak, setiap hari Papa hanya membentak Fa saja.”

Tuan tersenyum. “Bagaimana pun Papamu memang belum pernah merasakan rasanya punya anak. Dia baru merasakan rasanya menjadi seorang ayah dan sedang belajar. Dia akan menyadari kesalahannya dan menjadi ayah yang lebih baik nanti.” Tuan melakukan kebiasaannya mengelus-elus kepala Fa.

“Tapi Papa nggak peduli perasaan Fa…”

Tuan tidak menjawab.

“Yah, Fa selalu bertanya-tanya. Sebenarnya urusan pekerjaan waktu Ayah waktu itu apa?”

“Maaf ya atas kejadian itu,” kata Tuan. “Pekerjaan Ayah direbut orang lain, Fa. Selama Ayah tidak di rumah, Ayah sedang menuntutnya di pengadilan. Sayang orang itu lebih memiliki kekuasaan dan relasi daripada Ayah, jadi Ayah kalah di pengadilan.”

“Berarti saat itu urusannya sudah selesai kan, Yah? Lalu kenapa Ayah nggak ajak Fa kemping. Bukannya kita sudah berjanji?”

Ayah tertegun. “Maaf, Fa. Ayah lupa akan janji kita. Saat pengadilan menyatakan orang itu tidak bersalah, dunia di sekitar Ayah menjadi gelap begitu saja.” Dia berhenti sejenak dan menghela napas. “Ayah bahkan jadi sering mabuk-mabukan, sampai sekarang.”

“Kenapa Ayah mabuk?” tanya Fa.

“Saat Ayah melewati masa sulit, Ayah cukup menutup mata mengingat semua kisah yang Ayah tahu. Merasakan para peri mimpi memberikan ketenangan dengan mantranya. Ayah akan mengingat seluruh impian dan ambisi Ayah, meyakini bahwa suatu saat semuanya akan baik-baik saja. Mimpi dan kisah-kisah itu yang membuat ayah tetap hidup.”

Fa diam saja, menyimak.

“Tapi sekarang ketika realita menampar ayah dengan sangat keras. Ayah terlalu larut dalam dunia orang dewasa ini. Ayah sudah tidak bisa lari pada mimpi dan kisah itu lagi. Ayah mencari pelarian lain, alkohol.”

“Saat kamu sudah dewasa, semua tidak lagi sama ketika kamu kecil. Menjadi dewasa merupakan pengalaman terburuk yang ayah rasakan.”

Fa memeluk saya lebih erat. “Fa nggak mau tumbuh dewasa kalau begitu.”

Tuan tersenyum. “Tidak bisa, kamu harus tetap tumbuh dewasa. Bukannya kamu yang bilang? Ingin menyelamatkan dunia?”

“Tapi nanti Fa akan jadi seperti Ayah sekarang, seperti Papa, seperti Mama. Jadi orang dewasa yang menyebalkan. Fa nggak mau.”

Tuan tertawa kecil. “Tenang saja, Fa. Kamu bisa tumbuh jadi wanita dewasa yang hebat. Yang bisa bekerja di PBB. Kamu bisa tumbuh dewasa tanpa jadi menyebalkan. Kamu bisa menjadi orang dewasa tanpa menghapus sifat kanakmu.”

Lihat selengkapnya