Reverse Orbital: Hospital of Terror

Hamar Tama
Chapter #3

The Holy Friday, The Grace, and The Disgrace

Semuanya putih, dan sangat cerah. Saat aku membuka mata, hal pertama yang kulihat hanya langit-langit dengan beberapa lampu terang yang terpasang padanya.

Kucoba untuk bangkit dari tidurku dan duduk di posisiku saat ini. Pandanganku masih kabur, tapi seluruh tubuhku sepertinya baik-baik saja. Sepertinya. Meski ada beberapa flek hitam di kulitku.

“Sudah bangun?”

Aku mencari sumber suara yang menjawabku. Kuharap bukan malaikat yang akan menanyakan, “Kebaikan apa yang sudah Anda lakukan selama hidup Anda?”, dan sebagainya.

“Terima kasih telah membantuku. Good job.”

Suaranya cukup familier di telingaku, meski aku belum sepenuhnya bisa memastikan sosoknya karena pandanganku yang masih kabur. Yang dapat kulihat hanya seorang gadis bertubuh langsing, dengan rambut hitam panjang dan dua titik berwarna biru cerah di wajahnya.

“Aku sudah menangani semuanya. Pembayaran dan sebagainya.”

“...”

“Waktunya untukku pergi...”

Usai dirinya berpamitan, cahaya terang menyambar mataku.

“Tunggu...aku di mana?”

Kucoba untuk bangun dari tempat tidur dan menghampirinya, tapi dia sudah menghilang tepat saat cahayanya juga menghilang.

Masih dalam diamku, kulihat lagi di mana aku berada dan hanya menemukan bahwa ini hanya sebuah ruangan rawat inap di rumah sakit. Sebenarnya aku bisa kembali menikmati waktu di kasur empuk itu. Hanya saja, apa yang bisa kunikmati di atas kasur rumah sakit? Aku bahkan tidak merasa sakit di tubuhku.

“Arggg...”

Sialan kaki meja ini. Selalu saja menabrak jari kelingking kakiku. Oh... berkatnya pandanganku kembali jelas. Tapi apa? Apa aku harus berterima kasih ke benda mati?

Aku ingin berkeliling di sekitar rumah sakit, rasa ingin tahu mendorongku. Mungkin dengan itu, bisa membantuku menyusun ketidakjelasan dalam ingatanku.

Tepat sebelum aku meninggalkan ruangan ini, aku baru menyadari. Mungkin ini adalah salah satu ruangan kelas atas. Satu tempat tidur empuk, sofa, meja kecil, TV LED, AC, wi-fi, kamar mandi dalam, dan fasilitas lain yang tak kalah mewah.

Aku berjalan dari lorong ke lorong, dari ujung ke ujung di lantai ini. Hanya untuk mendapati pemandangan yang lumrah di sebuah rumah sakit. Di lantai 4 ini sangat tenang. Aku hanya melihat beberapa orang yang lewat di sekitar, tapi... apa ada patroli di lantai ini? Terasa seperti VVIP.

Kuputuskan untuk melanjutkan tur rumah sakitku ke lantai 1. Aku ingin tahu siapa dia, dan tentu... berapa lama aku bisa berada di kamar itu. Tunggu, apa ini hotel?

Aku menuruni lantai dengan elevator. Semakin kecil angka lantainya, semakin banyak yang ikut dalam elevator. Aneh. Beberapa orang seperti membawa UFO yang melayang-layang di dekatnya. Beberapa juga memiliki flek hitam seperti yang kumiliki. Apa ini penyakit baru?

Kuputuskan untuk keluar di lantai 2 karena yang mengantre semakin banyak. Orang lain juga ingin menggunakan fasilitas ini. Mungkin karena lantai atas hanya untuk para VVIP, jadi yang bawah penuh sesak. Ya, aku juga salah satu VVIP sih, tanpa membayar pula.

Aku mengalah dan mencari tangga untuk menuju lantai satu. Tapi, di tangga pun ada begitu banyak orang lalu-lalang. Apa terjadi sesuatu?

“Arghhhh”

Lagi? Apa seorang baru saja menabrakkan jari kelingking kakinya ke kaki meja?

“Tolong aku!”

“Anakku, tolong obati anakku...”

“Arggg...kakiku, bisakah kau membantuku dulu. Ini sangat menyakitkan...”

Di lobi lantai 1 terdengar ramai, tapi menurutku itu lumrah. Seseorang akan tergopoh-gopoh mencari bantuan ketika diri mereka atau orang yang seorang yang berharga untuk mereka terluka. Ketika itu terjadi, yang lain biasanya akan menenangkan dengan, “Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja”. Itu pola yang normal. Tapi, agak aneh untuk mendengarnya terus-menerus seolah banyaknya pasien membuat para tenaga medis kewalahan.

“Tolong aku, darahnya tidak berhenti... ”

“Tanganku!! Tolong!! Luka bakarnya benar-benar perih... Di mana healernya?”

“Di mana healernya? Aku butuh healer!!”

Hmm? Healer? Bukan dokter? Apa aku salah dengar?

“Aku akan membayarmu dengan jumlah yang besar jika kau bisa menyembuhkan putriku. Tolong prioritaskan putriku dulu, Tuan healer!”

HMMM? SEKARANG... ini tidak NORMAL...

∞∞∞

Kuhentikan tur rumah sakitku dan berhenti di suatu sudut yang tak jauh dari ujung tangga yang bebas dari lalu-lalang orang lain. Hanya untuk beristirahat dan membuat sebuah hipotesis pribadi tentang kejanggalan ini.

“Ini rumah sakit, kan...”

Mereka mencari healer bukan dokter, dan kuasa itu bukan salah eja.

“Mereka halu?”

Tidak, lebih dari satu orang yang mengatakannya. Menurutku, ini jelas rumah sakit. Tapi...

“Apa ini sudah bukan dunia yang dulu kukenal?”

Jangankan memperjelas memori samarku, ini malah jadi semakin keruh.

“Ya, kurang lebih seperti itu. Berapa lama kau tak sadarkan diri, nak?” Seorang pria bertampang 30 tahunan dengan dandanan ala anak metal dari rambut hingga tumit, muncul begitu saja menjawabku.

Lihat selengkapnya