Reverse Orbital: Hospital of Terror

Hamar Tama
Chapter #4

Kelinci Percobaanku yang Pertama

28 Desember 2033, aku terdiam di kamar rumah sakit sembari melihat televisi yang penuh dengan berita tentang kasus-kasus kericuhan akibat perubahan dunia yang mendadak ini.

*Kriekkk...

“Bagaimana kondisimu, Regatama?”

“Sepertinya sudah baik-baik saja.”

“Oke, izinkan saya memeriksa kembali kondisimu.”

“Hm..hm.”

Dia adalah perawat yang merawatku selama aku dirawat di sini. Dia memeriksa ke beberapa bagian tubuhku.

Hmm...Renanda? Nama yang bagus. Rambut coklat sebahu dan mata coklat. Tinggi sekitar 160 cm. Satu hal yang bisa kusimpulkan dari tur rumah sakitku kemarin, mungkin dialah perawat tercantik di sini.

Saat dia memeriksa tubuhku, aku juga memeriksa tubuhnya. Tentu saja, bukan dalam artian yang negatif. Mungkin.

“Enggg, maaf menanyakan ini, apa Anda juga menerima grace, enggg...kak?”

“Kenapa menanyakan hal itu?” Ekspresinya menegang.

Seperti yang kuduga, pertanyaan ini agak sensitif. Dia jelas punya, aku tahu. Perubahan ekspresinya jelas bukan karena tersinggung karena dia tidak punya, tapi karena takut aku mencurinya. Jadi, pasang wajah murung, dan...

“Ngga papa sih kak. Cuma penasaran karena aku nggak punya grace.”

“Ah begitu... penasaran? Kenapa nggak coba tebak?”

Ekspresinya jadi agak santai. Dia juga memasang senyum menggoda di wajahnya.

Setidaknya aku bisa mengasumsikan satu hal lagi dari itu. Orang yang tidak menerima grace, tidak bisa mencuri milik orang lain. Atau hanya belum ada kasus yang demikian.

Tapi, dia memberikan tantangan yang mudah untukku. Jelas aku bisa menjawabnya dengan mudah. Hanya dengan menatap dadanya aku... tidak, bukan dalam artian yang negatif. Flek hitam itu ada di sana.

Kalau dipikir-pikir, apa dia menganggapku mesum karena menatapnya meski hanya sepersekian detik? Aku harap tidak.

“Kalau tebakanku benar?”

“Eh, kamu ingin hadiah untuk itu? Okay, katakan apa maumu? Camilan?

Ya, jelas aku butuh hadiah meski ini hal mudah bagiku. Toh, di luar sana banyak orang yang melakukan hal mudah dengan bayaran besar kan? Hanya karena mereka dianggap spesialis. Kalau begitu aku juga bisa menganggap diriku juga spesialis di bidang ini, kan?

“Gimana kalau kakak melakukan apa pun yang kuinginkan, selama kurang lebih 1 jam, dan rahasiakan apa pun yang terjadi padamu kalau tebakanku benar? Sebentar lagi juga jam istirahat kan?”

“Ha-Hah?! Apaan?! Kamu masih kecil pikirannya sudah kotor ya...”

Ah sial, aku berlebihan dan menunjukkan diriku lagi. Dia jadi kaget mendengarnya.

“Enggg, maaf kak. Aku Cuma ingin kakak menunjukkan grace milikmu. Maaf kalau itu membuatmu jijik, Kak. Lagi pula, apa yang bisa dilakukan anak 14 tahun sepertiku padamu?”

“Ah tidak, ya, maaf, dari tadi tatapanmu ke sana soalnya, itu agak membuatku kurang nyaman.”

“Hmmm maaf, aku punya alasan tersendiri untuk itu. Bukan seperti yang kakak pikirkan...”

SIALAN, “DaRi TaDi”??? Bukannya aku cuma melakukannya sebentar? Persetan denganmu, mataku. Kalian telah menyampaikan informasi bohong ke otak.

“Berarti iya?”

“Hmmm, oke oke. Coba tebak kalau gitu.”

Dia duduk di sofa di dekatnya setelah menyelesaikan pemeriksaan pada tubuhku.

Aku memelototinya sejenak. Dengan wajah serius, merenung selama 2 detik, lalu mengangkat kepalaku. Hanya untuk membuatnya terlihat dramatis. Tapi...

[Tuhannnn, tolong bantu aku. Ini peristiwa langka. Tidak apa-apa sekarang. Salahku karena tidak berdoa pada-Mu saat aku berjudi dengan ketentuan grace kemarin. Tapi sekarang... Please... ]

[Beri aku kartu As. beri aku kartu as, beri aku kartu as]

Tunggu, kenapa aku berdoa lagi? Aku kan sudah tahu jawabannya sejak awal. Tambahkan saja jawaban acak untuk membumbuinya.

“Enggg... kakak punya, tapi daripada gracehealing’, milik kakak bisa memperkuat tubuh manusia?”

“Eh...” Matanya membelalak.

“Kok... kamu bisa tahu?”

Jakpot. Hahaha easy easy.

“Gimana kamu tahu kalau aku berharap gracehealing’, tapi malah dapat ‘body-strengthening’?”

Hmmm? Itu benar? Jawaban acak barusan? Keberuntunganku memang kadang bercanda.

“Hehehe, jangan meremehkan hokiku kak. Tapi kenapa? Kakak, nggak suka?”

“Nggg bukan begitu... cuma...” Bibirnya berhenti bergerak dan mulai menatapku.

“Cuma?”

Dia tersenyum dengan wajah pasrahnya. Mungkin dia terpaksa bersyukur karena sungkan padaku yang tak memilikinya.

“Bukannya aku nggak suka. Tapi, aku lebih berharap punya grace healing.”

“Kenapa harus healing?”

“Aku sering menemani pasien dengan luka yang... ya... cukup parah. Aku cuma nggak bisa menahannya. Cara mereka mengerang kesakitan, cara mereka berteriak. Itu kenapa aku berharap punya healing. Jadi aku bisa menghapus rasa sakit mereka dan membuat mereka merasa tenang denganku selama perawatan dilakukan. Bukankan itu definisi menjadi perawat?”

Aku hanya diam. Dia memang mengatakannya, itu menunjukkan dedikasinya sebagai perawat. Tapi di saat yang sama, aku merasa kalau dia tidak mengatakannya sebagai seorang perawat, melainkan sebagai dirinya sendiri.

“Ok, aku kalah. Kamu bisa melakukan apa pun yang kamu mau? Ini juga sudah masuk jam istirahat. Tapi, jangan yang aneh-aneh ya...”

“Bukannya itu cuma sekedar ketakutanmu?”

“Ha?”

Aku mengambil pisau di dekatnya.

“Ok, sebagai hadiah, boleh aku memotong tanganmu untuk menguji grace?”

“Kamu mau aku menunjukkan grace dengan cara itu? Kamu sadis juga ya...”

“Apa akan terasa sakit meski kakak pakai body-strengthening?”

“Kalau cuma pisau itu kayaknya enggak deh, selama kamu nggak kencang-kencang mengirisnya.”

Sambil menggenggam tangan kirinya, kucoba untuk mengiris lengan bawahnya dengan hati-hati. Perlahan dengan sedikit tekanan, lalu meningkatkan tekanannya sedikit demi sedikit. Masih belum tergores tapi... sial, telapak tangannya benar-benar lembut.

“Sakit?”

“Emmm, nggak sih. Aku justru nggak merasa apa pun.”

Tapi sekali lagi, aku merasa ragu untuk menyakitinya. Ekspresinya agak ketakutan. Dia juga menggigit bibir bawahnya.

“Kalau ini?”

Aku menyudahi permainanku dengan pisau. Sekarang aku hanya mencubit tangannya dengan keras.

“Masih sama...”

Lihat selengkapnya