“Loh, bukannya kemarin bilang mau pergi ya? Kok balik? Padahal kemarin keren waktu hilang bareng cahaya, nggak jadi deh...hahahaha berca-”
Belum selesai aku bicara, pedang cahaya yang sangat tipis sudah menempel di leherku dan nyaris menusuk tenggorokanku. Tak ada suara, hanya kilatan cahaya, dan dia sudah ada tepat di depanku dalam waktu yang sangat singkat. Grace ya...
“Sworry...”
Ah tidak, aku jadi terbiasa meminta maaf dengan kata bodoh itu. Sialan Kak Rena.
Dia mengembalikan pedangnya. Tunggu, apa melepaskan adalah kata yang tepat? Pedang itu tadi tiba-tiba muncul, dan sekarang juga tiba-tiba hilang.
“Waktu aku mau balik ke Jakarta, aku dengar kabar kalau ada pencurian black-box di sekitar sini, kamu tahu?”
Aku tidak tahu bagaimana menjawabnya. Kemarin aku hanya berasumsi kalau ‘itu’ sedang terjadi di sini. Jadi, kalau ditanya tahu apa tidak ya...dua-duanya. Aku tidak tahu karena itu cuma asumsi, tapi aku juga tahu karena asumsiku tepat.
Itu juga berlaku ke pengetahuanku tentangnya. Sejak awal, tentang cewek ini...aku tahu, tapi juga tidak tahu di saat yang bersamaan.
“Enggg, maaf. Kalau aku boleh tanya hal bodoh...kamu siapa ya?
“Haaa?! Dia bukan pacarmu? Saudara? Teman? Kenalan?”
Kak, aku tahu kenapa kamu kaget, tapi ini faktanya. Aku di bawa kesini tanpa tahu apa-apa.
“Ah...bodohnya aku, bereskpektasi kalau kamu cukup genius untuk dapat jawaban sendiri...”
“Hei, kok kasar sih...ingatanku agak buram, jadi aku nggak ingat.”
“Wa wa wa, Rega...kok bisa lupa sama cewek yang bantu kamu sih, Kamu tega ya...”
“Nggak begitu Kak...mending diam deh kak...”
“Ak- Namaku Jhennifer. Aku yang bawa kamu ke sini...”
Dia menyipitkan mata ke arah Kak Renanda.
“Hmm...kayaknya bakal berguna, oke. Aku bakal kasih tahu apa yang kutahu, tapi gantinya, kasih tahu juga apa yang kalian tahu. Suster kerja di sini, jadi tahu apa yang kuomongkan tadi kan?”
“Hmmm, memang ada beberapa insiden di sini baru-baru ini. Pasien tiba-tiba pingsan dan saat mereka siuman, mereka kehilangan sedikit ingatan mereka. Dan yang hilang pun cuma ingatan tentang Holy Friday. Mereka masih ingat kejadian sebelum mereka pingsan.”
“Itu yang aku maksud pencurian black-box. Kalau itu dicuri, seseorang akan kehilangan informasi tentang Holy Friday. Yang kutahu, black-box hanya bisa dicuri kalau dalam mode visible. Dan itu hanya terjadi ketika dipanggil, pemiliknya tak sadarkan diri, atau mati. Jadi, kabar yang kudapat benar ya...”
“Eh, mirip kondisiku kan? Apa punyaku juga dicuri?”
“Rega, tadi dia bilang yang dicuri nggak bakal ingat Holy Friday. Tapi kamu kan ingat...”
“Itu karena kemarin aku keliling rumah sakit dan dikasih tahu orang lain Kak. Bentar, jangan-jangan...”
“Ha? Apa? Aku tepat di sampingmu waktu kamu pingsan. Aku juga ikut bawa kamu ke sini. Bukannya terima kasih malah dicurigai?”
Ya, dia benar. Aku memang belum berterima kasih. My bad...
“Oke, terima kasih. Tapi...bukannya itu pola umum? Pelakunya bakal berakting seolah dia penyelamat...”
“Hei hei, kok kamu tega ngomong begitu ke dia...Padahal kakak sudah menganggapmu anak kecil yang baik lo...”
“Hmmm...aku dicurigai ya...”
Dia mengeluarkan pedang cahayanya lagi.
“Oh...mau pakai kekerasan ya? Tapi aku nggak bakal goyah, keadilan harus ditegakkan!!”
Aku juga memasang kuda-kuda untuk menghindari serangannya kapan saja.
“Ah, nggak kok...aku cuma mau pamer. Ini kan...kamu nggak punya ini kan? Kamu masih nggak bisa terima kenyataan kalau kamu nggak punya grace kan? Heh, lihat deh...Hehhh~ kamu nggak punya grace hehhh~”
Dia bermain-main dengan cahayanya. Mati, nyala, mati, nyala, redup, terang, redup, terang. Sekarang ruangan ini terasa seperti klub malam yang kulihat di film-film. Tapi, juga terasa seperti ruangan tempat orang mengelas.
“Ga usah takut... kalau aku mau membunuhmu, dengan jarak ini, 0,1 detik sudah cukup kok...buat melepas kepala dari badanmu. Tapi kasihan sih...hehhh~ kamu nggak punya grace hehhh~”
Oke, aku yang salah, aku terlalu terbawa suasana. Kalau boleh jujur, aku memang belum bisa menerima kenyataan kalau aku tidak menerima grace. Tapi...meski begitu, caranya meledek...
Sialan cewek ini...kesombongannya, pedang cahayanya, dan sifat kurang ajarnya...
“Pffttt, ah maaf...bertengkarnya sudah?”
“Ah ya, maaf Kak...”
“Maaf Sus. Aku benar-benar menghargaimu karena bisa tahan merawatnya selama ini. Pasti kecewa kan, tahu tingkah lakunya yang begini waktu sudah sadar?”
“Hahaha, nggak kok, dia kadang juga baik kok.” *Cekikik
*Ringgg ringgg
Kak Renanda merogoh saku celananya.
“Ah maaf ya, aku harus balik kerja lagi. Enggg...Rega, bisa minta nomormu?”
Kak Renanda menyerahkan ponselnya padaku.
“Eh...buat apa?”
“Enggg...Kakak cuma mau kasih tahu ka- ah nggak-nggak hehehe.”
“Okok.”
“Hehehe, Thanks.”
*Ringgg ringgg
“Kenapa langsung ditelefon?”