“Oke, lanjut!”
“Kamu ngomong sama siapa? Mana attitudemu yang tadi? Susah banget diajari...”
Cewek ini...semakin aku merendah, semakin rendah juga dia memperlakukanku...tapi untuk bicara dengan level yang sama pun juga tidak mau.
Tapi menurutku dia memang pantas untuk itu. Justru di sanalah dia menunjukkan kemanusiaannya. Kalau dia rendah hati dengan semua yang ia miliki...itu malah terlihat palsu.
“Hahhh...tolong ceritakan kelanjutannya yang mu-”
*Ringgg...Ringgg...
Ada saja yang mengganggu, semoga Yang Mulia tidak marah.
“Ponselmu? Jawab saja, barang kali penting.”
Aku mengambil ponselku, setelah mendapat izin dari Yang Mulia. Oh, Kak Renanda ya...sudah kuduga.
“Halo?”
“Halo, kamu masih sama Jhennifer?”
“Iya, kenapa Kak?”
“Di sini ada orang yang tiba-tiba pingsan.”
Aku mengubahnya ke mode speaker agar Yang Mulia juga bisa mendengarnya.
“Orang luar atau pasien?”
“Untungnya bukan pasien. Aku membawanya ke Rose No.27 di lantai tiga. Sekarang dia sudah siuman. Bisa kalian ke sini mumpung belum ada orang lain?”
“OK Sus!”
Cahaya yang menyilaukan datang dari arah Jhennifer, diikuti dengan kepergiannya.
“Terima kasih, Kak.”
“He em, sama-sama, dahhh...”
*Bippp...Bippp
Ah...apa aku rebahan saja di sini? Aku tertarik, tapi kalau aku ikut ke sana, berarti aku akan berurusan dengannya lagi...
“Ahhh kamarnya terasa nyaman banget sekarang...”
Aku berbaring tempat tidur dan berguling-guling di atasnya. Aku benar-benar rindu kedamaian ini...
Angin sepoi-sepoi yang masuk dari jendela juga terasa nyaman. Ngantuk...
[1 domba...0,1 detik sudah cukup. 2 domba...hehhh~ kamu nggak punya grace hehhh~. 3 domba...siapa yang bayar? 4 domba...Attitude? 5...arrrggg]
Sial, aku tidak bisa tidur. Terus, bagaimana lanjutannya tadi? Aku sudah membuat diriku serendah itu untuk dapat info yang dia punya, tapi belum dapat versi lengkapnya.
Eh tunggu...bukannya kesepakatan awal informasi ditukar informasi ya...kenapa malah jadi harga diriku yang ditukar?
Gawat, ini gawat. Kehausanku akan informasi justru membuatku kehilangan harga diriku. Aku harus mengatur ulang sikapku padanya. Padahal tadi aku sudah sempat memuji karena dia memanusiakan dirinya...tapi di saat yang sama dia juga tidak memanusiakan lawan bicaranya.
Aku berjanji akan membalasnya. Aku berjanji akan tegas dengannya. Aku berja-
*Ringgg...Ringgg
“Halo?”
“Aku cuma ngomong sekali! CEPET...KESINI...SEKARANG!!”
“Siap Yang Mulia!”
*Bippp...Bippp
Maaf diriku...aku mengingkari janjiku secepat ini...
Aku bergegas ke sana...[Siapa yang bayar?]. Untungnya elevator dekat dengan kamarku, tapi...[Attitude?]. Cih lama! Sial, lewat tangga saja.
*Brakkk...
Aduh, aku menabrak seseorang. Kaus merah dan topi hitam merek Niki. Dia juga tinggi...sekitar 180-an cm. Aku agak tersinggung saat dia membenahi posisi topinya, padahal tidak mungkin aku menabraknya sampai setinggi itu. Karena aku cuma 165 cm.
“Kamu nggak papa?”
“Ah, maaf pak, saya tidak seharusnya berlari di lorong.”
“Nggak masalah. Tenang bro, jangan terburu-buru. Lain kali hati-hati.”
“Ok bro, terima kasih.”
Aku melanjutkan perjalananku...lebih terburu-buru.
Tapi orang itu...aku baru lihat yang sepertinya. Flek hitamnya seperti tahap telofase pada pembelahan sel. Nah, bukan saatnya penasaran tentang itu. Kalau aku tak segera sampai, tubuhku yang akan terbelah.
Nah itu ruangannya. Hmmh...toilet, harus ke sana terlebih dulu...airnya kurang.
Ok. Keringat, ok. Ekspresi, ok. Tangan, tremor sedikit...nah ok. Sempurna, saatnya masuk.
“Ap- apa yang terjadi? Apa black-boxnya benar dicuri?”
“Rega, keringatmu banyak banget...kamu nggak papa?”
“Nggak papa kok Kak, aku tadi lari ke sini kawatir kalau pelakunya datang ke sini juga.”
“Ouhhh, jangan kawatir. Jhennifer sudah di sini dari tadi kok. Kakak kan juga punya body-strengthening.”
“Hehehe, syukurlah kalau begitu.”
Kak Renanda terlihat kawatir padaku sambil menepuk-nepuk kapelaku. Tapi dia...cuma menyipitkan matanya dengan sinis, dan menggerakkan bibirnya tanpa suara di belakang Kak Renanda.
[O-M-O--N-G-K-O-S-O-N-G]
Tidak apa, aku mulai terbiasa dengan ini. Setidaknya dia tidak bermain dengan lampu yang menyorot laser ke mataku lagi.
“Enggg, bagai mana keadaan Nona?”
“Eh...aku baik-baik saja tapi...kalian ini siapa?”
Aku menatap Jhennifer, dan dia pun mengangguk.
“Dia cuma pemban- temanku.”
Kan...dia mulai lagi...
“Aku membawanya ke sini karena dia pernah mengalami hal yang sama dengan Anda.”
“Hah?”
Kak Renanda memelototiku, dan aku pun menatap Jhennifer dengan kebingungan.
Dia berjalan memutari si korban dan membelakangiku. Di balik punggungnyalah, dia memberi isyarat. Serpihan cahaya muncul dan membentuk pisau kecil.
Oke, aku mengerti. Aku mengedipkan sebelah mataku ke Kak Renanda. Awalnya di kebingungan, tapi akhirnya dia mengangguk setelah aku mengedipkan mata berulang kali.