*Ringgg... ringgg
*Ringgg... ringgg
“Hmmm? Siapa sih yang telefon...”
“Halo? Rega? Kamu nggak papa?”
“Ini siapa?”
“Kak Renanda. Aku tadi sudah telefon 6 kali lo, tapi nggak kamu jawab. Kakak tadi sempat ke sana tapi pintunya dikunci...”
“Ha? Enggg... Ya Tuhan, maaf Kak. Aku buka sekarang.”
“Santai saja... ini aku masih di kantin buat beli makan, habis ini aku ke sana.”
“Ok kak.”
“Rega... Holy Friday?”
“Ha? Oh, aku baik-baik saja kok, Jhenn juga...”
Aku kira dia meninggalkanku dan mengunci pintu dari luar untuk mencegahku melarikan diri, tapi... siapa yang mengira kalau dia juga...
“Kenapa?”
“Ah nggak papa, kita cuma ketiduran tadi.”
“Eh... tidur? Kamu nggak aneh-aneh sama dia kan? Kalian masih sama-sama anak SMP lo, jangan macam-macam lo ya...”
“Iya Kak Renaaa~”
*Bippp... bippp...
Anak SMP? Dia juga? Kukira tinggi kita sama, 165 cm. Dia tinggi untuk ukuran cewek SMP jadi kukira dia anak SMA. Ini buruk, kalau dia ternyata lebih muda... di mana kau harus memasang mukaku yang sudah diinjak-injak oleh gadis yang lebih muda?
Tapi lihat saja dia... Yang Mulia tidur nyenyak. Kemasannya benar-benar indah hingga terlihat sangat cantik jika dia tak menunjukkan keangkuhan dan sifat buruk lainnya yang ada di dalamnya.
“Huh... kamu terlalu arogan sampai nggak takut tidur sembarangan di depanku ya...”
“Nggg...”
“Eh bangun?”
“...Mama... maaf...” Dia mengigau dalam tidurnya.
Aku merasa tidak enak kalau aku tahu sesuatu yang tak ingin ia perlihatkan.
“Jhenn... Bangun!”
“... Maa-”
Sial, maaf Jhenn...
“Mmmh! Ha... HAH? KAMU?!!” *plakkk
Refleksnya luar biasa. Dia bangun dan segera memasang kewaspadaannya dengan berdiri di atas tempat tidur dan memasang kuda-kuda. Tak lupa ia memanggil pedang cahayanya, dan... menamparku adalah hal pertama yang ia lakukan.
“Kamu kenapa cubit hidungku? Mau buat aku mati karena nggak bisa nafas? Jijik! Sumpah jijik! Padahal aku sudah sedikit percaya ke kamu...”
“Maaf Jhenn, apa gunanya... kamu tadi mengigau.”
“Aku ngomong apa tadi?” Ia melepas kewaspadaannya dan mengembalikan pedangnya.
“Bukan apa-apa, cuma minta maaf.”
“Ah iya... aku minta maaf... makasih...” Ia kembali terduduk di tempat tidur lalu meringkuk dan memasang ekspresi kecewa di wajahnya.
“Iya aku juga... apa mending tadi aku berlagak jahat saja daripada kasih tahu faktanya?”
Aku mengangkat tanganku dan menggerakkan jemariku untuk memperagakan apa yang kubicarakan.
“Nah, mending kayak gitu deh... jadi aku bisa potong tanganmu tanpa merasa bersalah.” Dia, entah bagaimana tersenyum tipis bahkan meski matanya masih terpaku pada sesuatu yang tak bisa kulihat.
*Klak
“Eh...”
“HA... REGAAA!!!”
Sungguh pemilihan waktu yang buruk, Kak. Jhenn masih meringkuk sementara jemariku tak mau berhenti bergerak.
“Nggak Kak! Serius, ini cuma salah paham, ya kan Jhenn?”
Dia seketika melompat dari tempat tidurnya dan menuju Kak Renanda. Ia pun kemudian merangkul lengannya dan bersembunyi di balik Kak Renanda.
“Kak... bantu aku...”
“REGA! Jelaskan ini ke Kakak, SEKARANG!”