29 Desember 2033, aku dan 2 orang wanita tega, menjalin kerja sama jangka pendek yang kurang lebih bertujuan untuk mencari informasi lebih tentang pencurian di rumah sakit ini.
“Lantai 3 sampai 4 aman. Agen Ren melapor!”
“Lantai 2 juga aman. Agen Jhe melapor!”
“Oke, Tumbal Reg akan mulai beroperasi.”
Kami berbincang lewat panggilan grup menggunakan aplikasi VoIP di ponsel kami, ChatinAja.
Tepat setalah kami makan kemarin, aku dan Jhennifer menceritakan semua yang telah kami diskusikan sebelumnya. Tentang mencuri dan menjarah yang dia tahu, dan tentang kemampuanku untuk melihat black-spot. Kak Renanda sontak berkata, “Jadi itu toh kenapa kamu lihatnya ke situ terus waktu itu?”. Ya, aku hanya bisa mengangguk, karena aku tak bisa mengatakan kalau aku juga seorang remaja sehat dalam fase pubertasnya.
Untuk sekarang tujuan kami adalah untuk mencari, memancing ke tempat sepi, mengeksekusi, membawa ke kamar, lalu menginterogasi. Tidak lebih. Tapi, aku tak bisa menjamin karena Jhennifer mungkin ingin mencuri. Ya, itu pun hanya kemungkinan penyelewengan terbaik yang dapat terlintas di benakku. Meski awalnya Kak Renanda juga meragukan ini, dan bermaksud untuk melaporkannya saja ke kepolisian tapi akhirnya dia malah ikut bergabung.
Kak Renanda sedang berpatroli di lantai atas, dan Jhennifer di tengah, sedangkan aku... adalah umpan yang akan digunakan untuk memancing healer di lantai satu.
Aku sebenarnya rela, hanya saja caranya memerintahku... Dia berkata, “Kamu, iya kamu. Kayaknya tumbal yang pas deh, kamu bukan perempuan, jadi kecil kemungkinan buat mereka berbuat aneh-aneh ke kamu kalau ditangkap. Toh kamu juga nggak punya grace kan.”
Kak Renanda juga ikut mengiyakan dengan, “Dia ada benarnya. Bahkan kalau Jhennifer kuat, dia tetap perempuan, jadi... kamu bisa membayangkan kalu dia ditangkap kan...?”
Aku pun sebenarnya ingin menyangkal dengan, “Apanya yang perempuan, dia tak patut dikasihani.”, tapi aku tak mampu. Jhennifer selalu memanggil pedangnya setiap kali aku membuka mulut, bahkan meski aku belum mengeluarkan suara se-desibel pun.
Karena itu sekarang, aku mondar-mandir di lantai satu ini. Dan di sini aku bertemu dengannya lagi... kena kau paman...
“Halo Om, masih ingat denganku?”
“Hmmm... oh, kamu bocah malang yang kemarin ya. Ada apa?”
“Bisa membantuku setelah ini? Temanku kakinya terluka waktu dia pamer gracenya padaku.”
“Hah, baguslah. Grace bukan hal untuk disombongkan. Biarkan dia menuai apa yang dia tabur.”
Jujur, aku tak bisa menolak pernyataannya. Kalau ia memang memamerkannya dan terluka karena itu aku akan tanpa segan tertawa dengan puas di depannya, tapi dia tak sebodoh itu.
“Tolonglah Om. Dia anak orang kaya, jadi dia juga akan membayarmu dengan uang jumlah yang tak sedikit. Dia tak mau ada bekas luka di kulitnya, jadi dia memilih untuk membayar healer.”
“Berapa banyak?”
“Aku tak tahu, tapi dia benar-benar kaya. Biaya rumah sakitku pun dia yang bayar.”
“Oke, aku akan ke sana setelah yang ini.”
“Ok Om, makasih.”
Mudah... inilah kenapa kita tak boleh dibutakan oleh uang.
“Ganti tempat! Kembali ke kamarku ASAP! Tumbal Reg melapor.” Aku berbisik pada mereka lewat earphone yang sudah terpasang padaku sejak tadi dan, mereka pun langsung bergegas.
Tapi... seperti ada yang kurang. Apa dia cukup? Aku tak melihat dan merasakan niat yang cukup jahat darinya. Mungkin aku butuh lebih banyak subjek. Hmmm... Ah.
“Om, cuma ada kami berdua di ruangan itu jadi... nanti tolong ajari kami cara pakai grace juga ya?”
“Loh, kamu sudah punya?”
“Hehehe iya, punyaku juga peringkatnya tinggi lo...”
“Oh bagus kalau gitu...” Ekspresinya cukup datar untuk sesuatu yang ia katakan.
“Ok selesai, tunggu di sini, aku mau ke toilet dulu...”
“Ok Om.”
Seperti yang kuduga. Ada dua kemungkinan. Yang pertama dia hanya meminta bantuan rekannya agar mereka bisa mencuri milikku dan Jhennifer dan membaginya sama rata. Yang kedua, mereka dikelompokkan berdasarkan tugas, seperti pengumpan, eksekutor, dan kontainer poin.
Jika menyerang secara acak dan sembrono tapa adanya aturan, maka kelompok mereka harusnya sudah tercium oleh banyak orang. Tapi sampai hari ini tidak banyak yang menyadari aksi mereka berarti... mereka cukup terorganisir.
Kemungkinan kedua lebih cocok. Yang kutakuti adalah atasan mereka. Kalau sampai mereka memiliki kekuatan politik atau orang pemerintahan atau teroris atau mungkin yang terburuk... mereka adalah gabungan dari semua itu.
“Sudah, ayo pergi ke sana! Di mana kamarmu?”
“Ok, di lantai 4, Jasmine No.12.”
Aku membiarkannya memimpin perjalanan. Ia memilih elevator daripada tangga yang lebih sepi. Untunglah dia tak berniat mengeksekusiku dalam perjalanan ke kamar.
...2, 3, 4.
“Lewat sini Om.”
“Ok.” Dia menjawabnya tapi, arah yang ia tuju memanglah sudah ke sana. Apa kamarku sudah ditandai oleh mereka?
Ini dia... aku tak tahu seperti apa sosoknya tapi, aku bisa merasakan kalau ada satu orang lagi yang mengikuti kami dari belakang.
*Knockkk... knockkk
“Ini aku.”
*Klak... kriekkk
“Selamat malam Nona, saya di sini untuk menyembuhkan kakimu.”
“Oh, kamu healer yang dia bicarakan ya? Silakan masuk...”
Sial, aku lupa memberitahunya kalau dia harus berlagak pincang. Untung saja om healer tampaknya tak curiga. Dari arah kamar mandi di sisi kiriku, aku bisa melihat Kak Renanda memasang jari telunjuk di bibirnya.
“Baik, permisi...”