Reverse Orbital: Hospital of Terror

Hamar Tama
Chapter #11

Wajah Kedua Mereka

*Knokkk... knockkk...

“Knock knock” *bisik

“Siapa di sana?”

“Paket...” *bisik

*Plakkk

“Aw, maaf Om.” *bisik

“hwmwm... iya gwep pfttt-” *bisik

Sialan, padahal dirinya sendiri ikut menahan tawa. Kalau ikut terhibur dengan leluconnya, tidak usah mengemplangku juga kan...

“Ehmmm. Ini aku Metal-healer.”

“Ok, masuk!”

*Kriekkk... Kami masuk melewati pintu yang pinggirannya disekat dengan isolator karet seperti pada kulkas. Apa mungkin Yolanda introvert ya...

“Permisi Sus...”

“Ah, nggak perlu terlalu formal Mas Dik.”

“Ok, makasih Mbak Yol.”

“Hmmm... Mas Dik tadi bilang kalau kemungkinan ada grup lain dan ini anak salah satunya?”

“Iya, Mbak.”

“Kalau gitu, Mas tahu di mana yang lainnya?”

“Nggak Mbak, maaf. Aku cuma dapat anak ini.”

“Mas tahu identitas anak ini?”

“Nggak juga Mbak.”

“Tapi 5 ribu poin ya... banyak juga. Gracenya apa?”

Sial, aku belum mendiskusikannya dengan Om Dika.

“Aku nggak tahu, mungkin materialisasi bubble wa-”

“Uhuk uhuk”

“Eh dia siuman Mas?”

Aku tak bisa membiarkannya menangani ini. Lagi pula, siapa yang akan bergabung ke kelompok pencuri dengan grace semacam materialisasi bubble warp? Orang ini... mode seriusnya sudah habis.

Bingung, takut, bingung, takut... ok.

“Hah? Di- Aku di mana?!!”

“Kamu di kamarku. Apa yang terakhir kamu ingat? Holy Friday?”

“Ak- aku... aku nggak tahu... Holy Friday?”

Dia berdiri dari kursinya dan pergi menuju pintu. Dalam perjalanannya, ia hanya melihat ke arah pintu tanpa melihat kami sedetik pun.

*Klack

Dia benar-benar percaya diri kalau dia bisa menghabisi kita berdua kapan pun dia mau ya...

“Siapa namamu?”

“Rega... Regatama Kak. Aku di mana?”

“Ini di markas kami. Kamu tahu dokter Niko?”

“Niko... oh ya. Kalau kuingat Kak Jeremy pernah bilang kalau dia bos kita, tapi bos apa ya...”

“Oh, jadi si Jeremy yang ajak kamu ya...”

“Huh?” Om Dika terkaget dan kebingungan mendengar kami.

Tepat sasaran lagi. Aku tak bisa mengatakannya ke Om Dika karena ini hanya dugaan kasarku. Mengatakannya akan mengurangi kepercayaan dirinya untuk datang ke sini. Toh, mungkin nanti dia juga akan mendengarnya sendiri dari Yolanda.

“Iya, tapi... tapi... aku nggak tahu dia ajak mainan apa... aku tadi keliling di lantai 3 terus... ugh... bangun sudah di sini.”

“Tchhh, itu Jeremy... selalu saja buat onar. Cuma karena dia sepupunya dokter Niko dia pikir dia bebas buat onar.”

“Mmm... Kakak marah? Mana... Kak Jweremy di mwana...” *Srttt

“Eh?”

“Kok... kwenapa aku dwi sini sweme om-om swerem ini...” *Srttt srttt

“Loh, WOY?! kok malah mewek?!”

Kesempatannn!

*Srakkk

Aku berdiri dan berbegas menjauhi Om Dika lalu memeluk erat Sus Yolanda. Ah... aku suka peran ini...

“Aaaaa... Kakkk... bwantu awku... itwu om-om swerem... huaaa...” *srttt srttt srttt

“Ah iya iya cup cup... dia teman Kakak kok.”

“Tweman... Apa Kwakak jwega oyang ahat?” *srttt

“Jeremy sialan...” Sus Yolanda mengatakannya dengan nada jengkel lalu melepas kaca matanya dan mengusap matanya.

“Kwakak nwangis jwuga?” srttt

“Nggak... okok, Kakak Yola bakal kasih tahu ke kamu ok? Kamu duduk di kursi itu gih...”

“Emmm... kwakak... *srttt ...ndwak bwakal jwahatin akwu?”

“Enggak duh... sudah, kamu duduk di sana ya... Kakak buatkan coklat panas, ok?”

“Okayyy...” Aku melepaskannya dan pergi menuju kursi.

“Tchhh... lima ribu poinmu itu juga hasil berbuat jahat...” Dia menggerutu dengan pelan, tapi tetap terdengar olehku yang belum berjarak jauh darinya.

Aku duduk tenang di kursi yang tadi ia duduki sembari menunggu coklat panasku. Ini kursi yang nyaman. Rasanya seperti duduk di kursi bos perusahaan... eh, tunggu... bukannya ini kursi gaming?

“Enggg, Kak...”

“Iya?”

“Itu teman Kakak nggak dibuatkan minum juga?”

“Tchhh... ok, Mas Dika mau apa?”

“Terserah Mbak, yang penting Mbak nggak kerepotan...”

“Halah... okok.”

Sembari menunggunya melakukan tugas rumah tangga, kita... dua laki-laki di sini, hanya duduk santai di kursi kami. Om Dika pun memelototiku dengan wajahnya yang kebingungan. Kalimat seperti, “Kali ini apa lagi?”, terpampang di wajahnya. Aku pun menggerakkan bibirku tanpa suara untuk memberinya isyarat dan mengacungkan jempolku untuk memperjelasnya.

[A-M-A-N]

Namun, reaksinya di luar dugaanku. Ia juga mengacungkan jempol sambil menyipitkan mata dan memasang senyuman mesum di wajahnya. Aku pun langsung membuang muka. Orang tua sialan. Aku bilang ‘aman’ bukan ‘nyaman’. Oh Tuhan... pejantan memang seperti ini ya... tak peduli umurnya, dan tak peduli status hubungannya.

Aku juga memandangi sekeliling dan menemukan beberapa hal. Diffuser elektrik yang tak mengeluarkan aroma, beberapa bahan kimia yang tersusun rapi di etalase, dan... sekarung serbuk gergaji? Lantainya pun juga dikotori dengan serbuk gergaji. Mau bangun rumah? Jelas tidak... untuk bertarung ya...

Di meja Yolanda terdapat beberapa lembar kertas, baik yang kosong dan yang tidak. Isinya kebanyakan tentang laporan harian, dan... ada beberapa yang dicoret. Hmmm? Apa ini... ‘32500750 = 1320000 x 7 x 4 (sisa 4459250 gold)’, gold?

*Grabbb

Lihat selengkapnya