“Eh, serius?”
Aku mengangguk dan berdiri dari tempatku. Lalu mendekati Kak Yolanda dan bersiap untuk menyerangnya kapan saja jika negosiasinya gagal. Tapi aku benar-benar menginginkannya bergabung, untuk alasan pribadi.
“Kalian mau apa? Kok pada berdiri... jangan aneh-aneh ya!”
“Mbak Yola... sebenarnya aku ini intel dari kepolisian.”
“HA?! INTEL? POL-” Dia menghentikan teriakannya ketika melihatku yang memasang jari telunjuk di bibirku.
“Kak... Kakak mau gabung?”
“Gabung sama siapa? Kalian?”
“Iya. Kakak memang benar kalau polisi kewalahan menangani ini. Di sini pun cuma ada Om Dika, dan nggak menjamin bala bantuan akan datang tapi... aku punya rencana.”
“Rencana?”
“Kalau nggak ada, gimana kalau kita buat sendiri?”
“Ha? Hahahaha kamu melawak? Cuma 3 orang? Mereka lebih dari 20 orang.”
“Kita nggak cuma bertiga. Aku bakal pecah mereka. Kalau kita nggak punya orang kan tinggal ambil dari pihak musuh. Toh grup ini bukan satu grup yang solid kan... Biarkan mereka yang di labeli kriminal, kita ambil peran sebagai pembasmi. Ada satu polisi di sini. Jadi kalau berhasil mungkin kita bakal lepas dari label kriminal, menyelamatkan orang lain, dan mungkin juga dikasih hadiah poin. Hmmm... gimana kalau kita pakai nama Grace Enforcement?”
“Tapi Rega...”
“Kakak mau keluar apa enggak?”
“Kakak nggak berani ambil keputusan sekarang... gini deh, aku sementara laten... bentar kamu tahu laten kan?”
“He em... kalian berdua nggak ada bedanya ya... kemarin Kak Rena sekarang Kak Yola...”
“Rena? Maksud kamu Renanda?”
“Iya, Kak Renanda. Oh, iya kalau nggak salah dia juga bilang kalau kenal sama Kakak.”
“HA? RENANDA? Se- serius?”
“Eh, kenapa?”
“Ah nggak... kaget saja pengecut kayak dia bisa ikut berpihak...”
“Jangan ngomong buruk ke Kak Rena kalau Kakak sendiri juga nggak berani ambil keputusan!”
“Nggak gitu Rega... Kakak cuma mau kamu buktikan dulu kalau kamu punya potensi menang. Kakak nggak bakal bilang ke siapa-siapa kok soal rencanamu. Besok datang lagi ke sini dan bawa bukti soal jumlah orang yang berhasil kamu rekrut. Kamu juga paham kan kondisi Kakak gimana? Kalau aku pergi dari sini otomatis aku jadi musuh Niko. Aku bakal di teror di tempat kerjaku, cari kerja lain juga susah. Kakak juga bingung harus gimana, cuma ini yang bisa Kakak lakukan sekarang...” Yolanda mengatakan keluhannya.
“Yang suruh Kakak terang-terangan melawan mereka sekarang juga juga siapa? Aku kan cuma tanya Kakak mau gabung apa enggak? Toh peran yang mau aku kasih ke Kakak nggak berisiko kok...”
Aku menjelaskan rencanaku dengan terperinci. Awalnya ia ragu, namun setelah ia terlihat merenungkannya kembali, akhirnya ia pun setuju. Aku juga memberi tahu mereka apa yang kupikirkan tentang kasus ini dan kemungkinan kalau ada keterlibatan teroris di dalamnya. Mereka awalnya kaget dan ragu, tapi setelah aku minta untuk menyambungkan kembali kesimpulan dengan beberapa hipotesisku, mereka akhirnya juga menyadari kelogisan dalam asumsiku. Setelah itu, aku pun blak-blakan kalau aku butuh jaminan darinya sebab aku telah membocorkan informasi milikku.
“Kamu mau jaminan apa? Bukannya poin itu juga sudah termasuk jaminan?”
“Kurang Kak, itu karena rencananya begitu, nggak dihitung sebagai jaminan?”
“La terus kamu mau apa?”
“Hmmm... aku butuh...”
Ak butuh sesuatu yang berharga darinya. Tapi apa? Dirinya pun tak begitu menganggap poin sebagai sesuatu yang berharga. Lalu apa yang lebih berharga... ah, apa mungkin...
“Itu!”
“HP?”
“Bukan, tapi isinya. Akun game Ka-”
“ENGGAK MAU!!” Yolanda sontak mengambil ponselnya di meja dan menyembunyikannya.
Aku dan Om Dika saling melihat dan dengan kompak menyipitkan mata kami padanya. Sikapnya seperti anak kecil yang takut mainannya direbut. Tapi setidaknya tebakanku benar. Dari reaksinya tadi saat aku menyinggung tentang game, terutama tentang RPG, dan perhitungan yang ada di kertas, aku tahu kalau ia adalah salah satunya... pemain game online yang mungkin, cukup maniak.
“Pokoknya jangan ini...”
“Tapi kan kita juga butuh jaminan buat bikin kita percaya sama Kakak. Kita sudah kasih tahu rahasia kita lo... Kakak nggak adil kalau gitu...”
“Tapi...”
“Kan cuma sehari juga, besok kalau Kakak memang nggak berkhianat ya aku kasih balik itu akun Kakak.”
Yolanda mengerucutkan bibirnya. Tak lama ia pun setuju dengan itu.
“Tapi awas kalau hilang ya! Jangan dibuat main, jangan diubah pokoknya! Awas saja kalau balik-balik kondisinya jadi hancur...” Yolanda menyerahkan ponselnya padaku. Nama akun, kata kunci, dan informasi keamanan lainnya terpampang di sana.
“Iya iya Kak... Kalau gitu langsung dimulai saja.”
Setelah aku mencatat informasi akun dan mengubahnya, kami langsung memulai rencana kami.
Yolanda memanggil black-boxnya, dan Om Dika mengambil poinnya. Waktu yang mereka butuh kurang lebih 24 menit. Sembari menunggu aku menulis surat pada 2 lembar kertas. Setelah jadi, aku langsung menunjukkannya pada Yolanda untuk mengonfirmasi pemahamannya soal isi dari surat tersebut.
“Eh... istilahnya... oh, hahahahaha jadi kamu juga main itu game toh.”
“Hehehe iya Kak, makanya aku bisa tahu hitungan yang ada di kertas Kakak tadi.”
“Ok, kayaknya Kakak bakal langsung paham kalau pakai ini.”
“Ya, aku percaya sama Kakak.”
“Hehehe makasih.”
Dia menyimpan satu di mejanya dan yang satunya lagi ia letakkan di saku bajunya. Karena masih menunggu, aku sekalian membongkar jendela ruangannya.
Black-spot milik Yolanda semakin memudar dan mengecil. Sekarang wujudnya kurang lebih sama dengan kebanyakan orang yang pernah kulihat.
“Kak, karena tinggal 2 menit, jadi kita pamit sekarang ya...” Aku mengulurkan tanganku padanya.
“Hehehe ok, kalau gitu...” Yolanda mengulurkan tagannya juga. Tapi alih-alih membukanya, ia mengepalkannya dan hanya mengacungkan jari kelingkingnya.
“Ok... aku janji besok bakal ke sini lagi. GLHF!”
“Hahaha... okok, Kakak juga janji nggak bocorkan informasi. GLHF!”
Mengabaikan Om Dika yang fokus menahan rasa mualnya, aku dan Kak Yolanda saling mengaitkan jari kelingking kami. Tak lama Kak Yolanda pun kehilangan kesadarannya akibat kondisi zero-poin. Aku menahan kepalanya yang jatuh bebas, dan meletakkannya di atas meja. Om Dika pun juga mengambilkan selimut untuknya. Untuk berjaga-jaga, ya, untuk berjaga-jaga aku juga mengambil beberapa foto Kak Yolanda.
“Ok Om, waktunya pergi.”
“Ok!”