Reverse Orbital: Hospital of Terror

Hamar Tama
Chapter #14

Ilustrasi Wajah Niko dan Kebencian Jhennifer

“...mmm... hoammm...”

“Sudah bangun? Bagus deh, beli makan sana!”

30 Desember 2033. Saat kuterbangun, wang ada di hadapanku hanyalah seorang gadis yang berdiri dengan arogannya dan menyodorkan selembar uang padaku.

Kami berdua sudah bermalam di sini selama 2 hari, mungkin lebih. Dia selalu bangun lebih awal dariku. Bukan sesuatu yang aku duga dari anak sultan sepertinya.

Ia juga sudah siap dengan apa pun. Aku tak pernah mendengarnya menggunakan kamar mandi yang ada di belakang sofa tempatku tidur tapi, penampilannya selalu sudah segar, bersih, dan rapi ketika kuterbangun. Apa itu memang fitur wajahnya?

Wajahnya tak memiliki banyak minyak, juga tak terlihat memakai riasan. Mungkin ia memang sudah cantik dari asalnya. Bulu matanya panjang dan lentik. Matanya selalu terlihat cerah, kecuali saat dia marah. Bibirnya pun terlihat lembut dan selalu berwarna kemerahan bahkan tanpa memakai lipstik. Aku tak melihat adanya parfum dan wewangian di ruangan ini tapi, baunya juga selalu wangi kapan pun dan di mana pun. Dia memang... sudah cantik dari asalnya.

Tapi itu hanya apa yang dikatakan oleh mata dan hidungku. Akal sehatku berkata lain. Gadis ini, Jhennifer... orangnya merepotkan dan menyebalkan, kalau mengesampingkan kecantikan luar biasanya.

“He! Kamu dengar nggak sih? Mandi sana, terus beli makan buat kita! Nggak malu dibelikan makan sama Kak Ren terus?”

Ah ya. Kak Renanda lah yang membelikan kami makan sejak 2 hari lalu. Dia membelikan kami 3 kali sehari dan membuat Jhennifer selalu kewalahan menghabiskannya. Peralatan mandi di sini pun juga ia belikan dari toko kelontong terdekat. Kak Renanda sungguh memomong kami. Aku iri pada adik perempuannya.

“Okok. Bentar tak mandi dulu.”

“Ga pakai lama!”

“Kayyy...”

Aku merasa dia sudah benar-benar melihatku sebagai babunya.

Om Dika masih tertidur. Kami mengakhiri operasinya pada pukul 01.00 dini hari dan memutuskan untuk tidur bergiliran. Satu orang tetap bangun untuk menjaga kami setiap 2 jam. Aku mengambil giliran pertama jaga, karena aku masih belum mengantuk waktu itu. Om Dika yang kedua, dan Jhennifer yang terakhir karena kami pikir di atas jam 7 pagi, kondisinya sudah agak aman.

Sebelumnya, dari jam 00.30 sampai 01.00, kami melakukan evaluasi. Jhennifer menceritakan informasi yang ia dapat dan aku pun juga. Aku menceritakan semua yang terjadi selama kami berpisah dan ya... hanya itu tapi, dia sudah bisa mengetahui apa yang kupikirkan. Ia hanya mengatakan, “Oh jadi itu rencanamu ya... memang kamu banget sih”.

Dan sekarang sudah jam 9. Aku tidur lumayan lelap 2 hari ini. Jadi begini ya rasanya tidur ditemani orang lain...

“Itu uangnya!”

“Ok, Yang Mulia mau makan apa?”

“Pokoknya tinggi protein sama vitamin.” Ia memintanya tanpa memandang sedikit pun ke arahku dan hanya bermain dengan gracenya.

Ia terfokus pada tangannya yang bermain cahaya. Muncul, hilang, muncul, hilang. Mungkin ia ingin mengecek sesuatu, atau mungkin juga mencari tahu, atau juga mungkin mengembangkan sesuatu. Entahlah... aku tak memilikinya dan jujur... hal seperti itu yang membuatku merasa iri.

Aku meninggalkan mereka dan menuju kantin. Sesampainya di sana, aku mendapati suasana yang cukup ramai dengan pengunjung rumah sakit. Semua lapak ada antreannya. Aku berniat memilih lapak yang paling sepi tapi seketika aku langsung memutar balik ke arah lapak yang paling lengkap. Aku kawatir di lapak sepi itu tak menyediakan sesuatu yang diharapkan oleh Yang Mulia.

“Adik mau beli apa?”

“Enggg... terserah Mbak deh, pokoknya makanan buat 2 laki-laki, sama satu cewek yang pilih-pilih.”

“Hahaha, baru kali ini ada yang beli kayak gitu. Kamu nggak pernah disuruh beli makanan sama ibumu?”

“Eh...hahaha... nggak pernah Mbak. Maaf...”

“Aduh maaf, aku nggak punya maksud menyinggung masalah pribadi. Ini sudah, total 45 ribu.”

“Iya nggak papa. Kalau gitu sekalian tambah itu jus kalengan, empat.”

“Ok, berarti totalnya 65 ribu.”

Aku memberinya selembar uang 100 ribu rupiah dan ia memberi kembalian 2 lembar uang 20 ribu rupiah.

“Eh, Mbak ini kele-”

“Anggap saja diskon buat permintaan maaf soal yang tadi.”

“Ok deh hehehe, makasih Mbak.”

Sekitar 55 ribu rupiah untuk 3 porsi makanan plus minum. Aku jadi merindukan Kak Renanda sekarang. Aku sungguh ingin dia mengadopsiku.

Aku sudah bergegas, aku sudah berusaha meminimalkan waktu yang kugunakan untuk membeli makanan itu tapi, yang kudapatkan tetaplah kata-kata tajam dari Yang Mulia.

“LAMA! Kamu ketiduran di sana? Oh... kamu berburu Mbak-mbak perawat lagi? Beli makan saja lama banget...”

“Bawel! Sudah nggak bilang terima kasih, masih rewel lagi... kalau nggak bisa apresiasi jasa orang mending diam saja deh.”

“Aku harus apresiasi apa kalau beli gini saja kamu lama banget? Apresiasi buat kompetensimu yang cacat? Ya, wow, clap, clap, clap.”

“Jhenn, serius deh, mending kamu gabung mereka deh, biar aku ratakan sekaligus.”

“Aduh, nggak usah repot-repot suruh aku gabung mereka deh... mending kamu saja. Aku bisa kok habisi mereka plus seonggok, kamu, sekaligus, serius.”

“Ok anak-anak, mohon tenang. Ayo dimakan makanannya, kalian jadi resek kalau lapar.”

Kami pun mereda dan menyantap makanan yang kubeli, dengan uang Jhennifer.

“Padahal aku kira kalian pasangan yang serasi nan akur... kawatirku sia-sia kemarin...”

“Tolong Pak dikoreksi, kita bukan pasangan, tolong banget... aku nggak mau citraku turun gara-gara dilihat dekat sama dia.”

Aku benar-benar kangen Kak Renanda. Dia bisa membuat Jhennifer agak menurut, beda dengan Om Dika. Orang ini... dia melihat api, tapi bukannya memadamkan, dia malah menyiramnya dengan minyak tanah.

“Jhenn, kamu tahu di mana Kak Rena?”

“Enggak tahu. Aku sudah coba hubungi tapi dia belum balas. Kenapa? Cari bala bantuan?”

“Ya ya ya, terserah. Aku cuma mau susun rencana tapi, masih bisa jalan sih meski tanpa Kak Rena. Dia juga kayaknya masih kerja.”

Lihat selengkapnya