Sekarang sudah pukul 20.05 dan kami, Tim B sudah mengurus 2 domba yang tersesat dan 1 serigala yang terjebak. Di sisi lain, Tim A juga sudah mengurus 3 domba yang berkeliaran.
Koko dan Bams sedang membersihkan kekacauan di rumah ini, sedangkan aku, beristirahat santai di ruangan Kak Yola.
“Kayaknya aku butuh belajar Kimia lagi deh...”
*Kriekkk...
“Gitu juga sudah bagus. Kamu bisa tahu apa yang bisa digunakan di situasi kayak gitu menurutku sudah hebat kok hehehe. Kakak bangga sama kamu.”
“Hehhh~ sekarang kata-kata Kakak jadi mirip kayak Kak Rena...”
“Hahahaha dia lagi dia lagi...”
“Kenapa? Kakak nggak akur sama Kak Rena?”
“Nggak gitu sih, kita cukup dekat tapi juga nggak begitu akrab...”
“Oh... Kakak kurang suka sama cara pengambilan keputusannya yang berlandas perasaan ya?”
Dia hanya diam untuk sesaat lalu membentuk senyum tipis di bibirnya.
“Kamu memang tajam ya... Kita sering ketemu di kantin dan diajak makan bareng dokter Sara.”
Mataku membelalak. Akhirnya bahasan yang menyangkut dirinya muncul juga...
“Rumah ini sebenarnya punya dokter Sara, mantannya Niko. Dia juga... pergi dari sini karena Niko...”
“Bisa kasih tahu lebih lanjut Kak?”
“Karena ada sangkut pautnya sama Rena?”
“Bukan, tapi karena informasi itu segalanya.”
Kak Yolanda tertawa kecil oleh alasan yang kubuat.
“Niko sama Kak Sara itu senior kita. Mereka sama-sama pintarnya dan saling mengagumi. Suatu hari Niko confess kalau dia suka ke Kak Sara dan ajak dia pacaran. Masa awal mereka pacaran adalah hari-hari yang menyenangkan. Kami sering nongkrong berlima.”
“Berlima?”
“Ya, Yohana juga termasuk. Dia yang dorong Niko buat confess perasaannya ke Kak Sara. Dia memang sudah terkenal sih di sini... mak comblangnya rumah sakit ini.”
“Terus kenapa mereka putus?”
“Itu... Lama-kelamaan, kita mulai tahu sifat aslinya Niko. Menurut kami, dia terlalu posesif, terus Kak Sara juga merasa kalau Niko sebenarnya cuma incar tubuhnya. Ya itu cuma dugaan yang aku sama Rena buat sih... dugaan itu yang kami lihat sebagai wanita...”
“Lah, curiga tanpa alasan dong?”
“Aku harap juga gitu tapi... ternyata kecurigaan itu terbukti waktu Niko coba...” Kak Yolanda menghentikan ceritanya dan mengepalkan tangannya. Matanya pun menajam. Persis seperti reaksi Jhennifer tadi.
“Dia mau perkosa Kak Sara di rumah ini, di rumahnya sendiri. Untungnya Kak Sara kebetulan telefon, jadi aku sama Rena bisa datang tepat waktu buat cegah Niko. Aku punya niat buat laporkan dia ke pihak rumah sakit tapi Kak Sara nggak mau. Rena juga setop aku karena itu bakal mencoreng nama baik Kak Sara. Akhirnya, dia ambil keputusan buat pergi dari sini. Setiap kali aku ingat kejadian itu rasanya campur aduk... dia sudah berani-beraninya kayak gitu ke orang yang sudah kuanggap Kakakku sendiri.”
Aku terdiam mendengar ceritanya. Aku sudah punya dugaan kalau ceritanya akan seperti ini tapi, aku tak pernah mengharap dugaanku yang satu ini benar.
Kemarahannya tak kunjung padam, tangannya masih mengepal...
“Masih ada lanjutannya ya...”
“Ya... dia... si brengsek itu melampiaskan ke Rena. Niko jadi coba dekati Rena dan selalu ajak dia ke rumah ini dengan alasan dia butuh teman curhat, tapi... tchhh ini yang paling aku benci dari Rena. Dia akhirnya luluh karena kasihan dan terima ajakannya ke rumah ini. Insiden itu pun terulang lagi.”
“Ha... jadi Kak Rena...”
“Enggak kok Rega... Rena memang lembek. Seperti katamu tadi, pengambilan keputusannya berdasar perasaan, tapi karena itu juga dia peka sama niat jahat orang lain. Waktu dia baru sampai di sini, dia langsung telefon aku minta ditemani. Dan ya... waktu aku datang ke sini, rumah ini dikunci dari dalam. Untung sebelumnya aku sudah ajak Ganu sama Bams buat jaga-jaga.”
“Ah... berarti Kak Renanda juga berhasil selamat?”
“Iya... kami langsung dobrak pintunya. Waktu kami masuk si bajingan itu duduk di sebelah Rena yang kondisinya sudah setengah sadar. Dia kasih obat tidur dosis tinggi di minuman Rena. Sebenarnya kami mau hajar dia waktu itu, cuma Rena minta kami langsung balik dan antar dia pulang... Rega?”
“Ha?”
“Dia aman kok, itu juga sudah masa lalu, jadi... nggak usah marah...”
“Ha? Marah? Siapa?”
“Rega... mukamu jelas banget kalo kamu marah...”
*Puk... Kak Yolanda menepuk kepalaku dan menampakkan senyumnya.
“Ah... ya... maaf Kak...”
Lagi-lagi aku terbawa emosi ya... kasus ini benar-benar merepotkan...
“Hehehe nggak perlu minta maaf... hehehe Kakak baru tahu kalau kamu juga bisa marah... Kamu dari tadi memang kelihatan kawatir ke Rena sih...”
“Karena dia sudah baik ke aku. Mungkin cuma beberapa hari, cuma puluhan jam, tapi... aku jadi merasa kalau punya kakak.”
“Hehhh~ Kakak jadi iri sama Rena...”
“Nggak Kak. Kalau itu Kakak... mungkin aku juga bakal kayak gini...”
“He... eh... emmm... makasih...”
“Aku yang harusnya bilang terima kasih Kak...”
“Hm, oh, ya, sama-sama...”
Ya... terima kasih. Karena ini aku jadi punya alasan lain selain hanya menuruti permintaan Jhennifer.
*Knokkk... knokkk....
“Sus Yola, kita sudah selesai.”
“Ok. Kalau gitu sekarang kita ke rumah sakit.”
∞∞∞
“Kenapa... kalian...”