*Kriekkk...
“Guys, ini, aku bawa minum sama camilan.” Dika memasuki sebuah kamar hotel yang penuh sesak.
“...” Dari 11 orang yang ada di sana, tak satu pun menggubrisnya.
Dia membawa sekantong minuman kaleng dan sekantong makanan ringan di masing-masing tangannya. Dandanan ala anak metal dan tubuh tinggi besarnya mungkin dapat membuat orang lain takut tapi, pada momen ini dia hanya bisa menjaga senyumnya tetap tertempel di wajahnya untuk menghibur yang lain.
Mereka semua sedang berduka. Lima pria sedang duduk di lantai sembari menyandarkan punggungnya pada tembok. Tak bersuara. Sebagian mendongakkan kepalanya melihat atap, sisanya menunduk melihat lantai.
Di atas kasur dekat jendela, seorang wanita duduk meringkuk merangkul kedua kakinya. Ia menggenggam sebuah kaca matanya di salah satu tangannya. Di sampingnya, juga ada seorang wanita dengan rambut coklat yang sedang tidur meringkuk. Air matanya mengucur deras tanpa bersuara.
Sepasang kakak adik, terdiam di sofa. Mereka tidak terlihat sesedih yang lainnya. Malahan, sang adik cukup senang karena kakak perempuannya selamat. Namun sang kakak... tatapan matanya terkunci pada 2 perawat yang sedang meringkuk di atas kasur.
Pria dengan tato batang mawar berduri yang melingkari lehernya, sibuk dengan telefon genggamnya di sudut ruangan dekat pintu masuk. Ia menjaga suaranya sepelan mungkin sambil mencoba menyembunyikan ketakutan yang terlintas di wajahnya. Namun sayang, ruangannya begitu senyap dan hanya suara pelannya lah yang dapat di dengar.
Seorang gadis, duduk dengan menyilangkan kakinya dan menyandarkan tubuhnya pada kepala kasur yang ada di dekat toilet. Tak ada tanda berduka, tak ada tanda bersedih. Ia hanya terus menerus menggigit ibu jarinya dengan tatapan kosong dan alis yang mengerut.
*Brakkk...
“Rehan?”
“Dik, polisi yang datang ke sana sudah dikalahkan. Teroris juga langsung menjalankan rencananya. Sekarang kita nggak bisa apa-apa...”
“Jadi kesempatannya memang cuma waktu mereka selesai menjarah ya...”
“Kesempatan buat apa?” Jhennifer menghentikan gigitan pada ibu jarinya dan menyerobot masuk dalam perbincangan Dika dan Rehan.
“Buat menyelamatkan Rega...”
“Gimana? Rekan-rekanmu yang baru saja dikalahkan, itu juga berarti kekuatan tempur mereka di atas ekspektasi kita. Untung tadi dia setop kita tadi.”
Mereka tak bisa berkata-kata, karena mereka tak menemukan balasan yang tepat untuk menyanggah pernyataan Jhennifer.
“Maaf... Aku... Karena aku ambil keputusan sepihak buat labrak dokter Niko di ruangannya waktu itu, Rega jadi... Rega... Kakak minta maaf...”
Yohana dan Rehan merasakan rasa bersalah yang sama ketika mereka mendengar Renanda menyalahkan dirinya sendiri.
“Nggak Kak Ren. Sejak awal, aku yang suruh dia ikutan, jadi aku yang salah. Jadi tolong, jangan salahkan diri Kakak. Itu juga berlaku buat kalian semua. Ini sudah selesai... jadi, kalian pulang saja waktu mereka sudah selesai.”
“Jhennifer! kamu kok bisa ngomong setega gitu?”
“Terus apa? Ini pilihannya. Kalau Kakak coba selamatkan dia, itu sama saja kita mengulang dari awal lagi. Kemungkinan mati tanpa hasil.”
Jhennifer terus menyerangnya dengan pernyataan logis yang tak mampu di sanggah oleh yang lain. Namun, alih-alih menjadi tenang, tangis Renanda malah semakin menjadi.
“Tapi... tapi Rega...”
Jhennifer mengela nafas dalam-dalam.
“Ok biar aku kasih tahu... ini pilihannya. Tadi, sebelum dia minta barter, dia minta aku buat kasih tahu kalian kalau dia bakal balik nanti.”
Tatapan mata mereka seketika tertuju pada Jhennifer.
“Kalau gitu...”
Jhennifer menggelengkan kepalanya.
“Bukan itu maksudnya, tapi, dia minta aku buat bujuk kalian supaya tenang. Dia mau sudahi permainannya secara sepihak, karena dia tahu betul kalau dia nggak bakal bisa diselamatkan dan keputusan itulah yang terbaik.”
“HA? Gimana bisa kamu bilang itu yang terbaik?”
“Kak Ren...” Dia menghela nafas lagi.
“Aku juga... nggak begitu paham soal dia. Aku juga pertama kali ketemu dia Jumat lalu, waktu melawan aksi terorisme di sekolahnya. Ter-”
“Ha? Kamu sama dia... aku memang pernah dengar rumor soal itu tapi aku nggak percaya kalau itu betulan...”
“Bang Dik, apa pihak berwajib menyembunyikan ini?”
“Ya, memang aku yang minta. Aku nggak bisa biarkan teroris tahu identitasku sama dia. Itu juga, kenapa dia titip barang-barangnya ke aku sebelum ke gudang tadi.”
“Tunggu... kalian... berarti 2 anak yang ada di rumor pembekukan teroris di SMP Sun Delta itu kalian?”
“Iya.”
Mereka semua terkejut mengetahui fakta bahwa 2 remaja yang mereka coba lindungi selama ini adalah dua orang yang disebut sebagai pahlawan pada rumor itu.
“Waktu kita melawan teroris itu... aku merasa kalau dia mengharapkan sesuatu, dia menunggu... Yang aku lihat waktu itu... dia malah kelihatan kegirangan, tapi matanya begitu kosong. Dia nggak terlihat punya niatan untuk menyelamatkan orang lain. Dia, nggak punya niatan baik, tapi juga nggak punya niatan jahat. Pertempuran itu pertaruhannya. Tapi, waktu dia terkapar, aku baru tahu...”
Jhennifer menghentikan ucapannya dan memandangi wajah di sekelilingnya.
“...” Mereka hanya terdiam penasaran.
“Kalau dia sebenarnya memang punya niat untuk mati. Dia berharap dibunuh karena dia nggak punya keberanian buat bunuh diri.”
Ruangan itu pun seketika sunyi senyap. Bahkan suara tangis pun berhenti.
Jhennifer mengeluarkan ponsel yang bukan miliknya dari saku celananya.
“Aku ambil ponselnya buat kasih kabar ke orang tua atau kerabatnya. Waktu kubuka, yang ada di sana cuma 2 kontak. Cuma orang tuanya, dan chat terakhir mereka pun sudah 3 bulan yang lalu. Itu cuma percakapan singkat, iya sama enggak. Cuma itu...”
Tangis pun kembali terdengar, lebih ramai dari sebelumnya. Satu-satunya yang matanya masih bebas dari air mata hanyalah Jhennifer.
“Waktu kita lihat gerhana sama-sama juga... dia ngomong sendirian waktu aku di dekatnya... Gelap ini, masih belum sebanding sama rasa hampa, ya kan...”
“Ini jadi makin runyam...” Dika tak sengaja menceploskan apa yang ada dalam pikirnya.
“Itu kenapa aku bilang ini sudah selesai. Ini bukan masalah kita bisa apa enggak, tapi juga soal dia berharap apa enggak. Aku sudah pernah gagalkan harapan matinya sekali, itu kenapa aku memang sengaja seret dia buat ikut terjun di kasus ini. Jadi, ini semua memang salahku.
“Enggak Jhenn, it-”
“Tchhh, keras kepala banget sih! Terus gimana kalau dia sudah mati sekarang? Apa yang mau kalian selamatkan?”
“Itu...”
“Nggak ada yang bisa sanggah kan?”
Seisi ruangan menjadi semakin muram karena hipotesis logis Jhennifer yang kuat.
“Ha... hahaha... hahahahahaha”
“Rena? Rena! Setan kamu, nggak bisa apa baca suasana?”
“Rega...” Tangis Renanda semakin menjadi-jadi.
Dia makin meringkuk dan menyembunyikan wajahnya dari yang lain. Yolanda yang ada di sebelahnya mencoba untuk menenangkannya.”
Jhennifer pun mulai merasa berdosa melihat kakaknya yang sudah berbaik hati padanya selama ini menangis karenanya.