Jhennifer menghentikan langkahnya. Ia melihat adegan yang sama seperti yang telah ia lihat kemarin malam. Seorang lelaki menyentuh black-box mengambang tak jauh dari tubuh seorang wanita yang terkapar lemas di lantai.
Kakinya hendak melangkah namun seketika menariknya kembali...
“Chhh... jangan lembek...” Ia bergumam seorang diri.
Saat black-box yang lelaki itu sentuh telah menghilang, Jhennifer melanjutkan maksud yang ia batalkan tadi. Di lorong yang tenang, yang seharusnya disirami oleh sinar jingga matahari terbenam, sekelebat cahaya putih memenuhinya.
Jhennifer seketika berpindah dari posisi awalnya ke belakang lelaki itu dengan jarak kurang lebih 10 meter jauhnya. Ia pun seketika memukul tengkuknya dengan kekuatan yang minimal dan membuat lelaki itu pingsan. Kecepatan yang ia miliki membuatnya waswas akan serangannya sendiri. Jika ia memukulnya dengan keras, maka sudah bisa dipastikan kalau kepala lelaki itu akan terpisah dari tubuhnya. Momentum.
“Ok 5 done. Jhe melapor!”
“Ok, waktunya untuk cahaya mengintai. Kita juga hampir selesai jadi kita bakal ke rumah itu lagi habis ini.”
“Roger. Nahb” Tanpa membuang waktu, ia menyentuh black-box yang keluar dari lelaki itu dan merapal mantra.
“Chhh... apa nggak ada pengembangan fitur buat waktu transfernya...” Gumam Jhennifer.
“Kalau ada, aku malah kasihan orang yang ketemu kamu.” Rega membalas gumamannya lewat panggilan grup yang mereka bertiga lakukan.
“Meski gitu nggak mudah kalau aku sendiri. Kecuali kalau aku punya anjing K-9 kayak kamu, ya beda lagi ceritanya.”
“Hahahaha...aku juga mau punya anjing kayak gitu.”
“Sekarang jabatanku turun lagi jadi anjing ya...”
“Harusnya kamu bangga masih punya guna... ya, kamu memang harus bangga!”
“Nggak perlu ngomong dua kali flash-bang!”
“Ok selesai, sekarang tugasku cari orang hilang kan?” Jhennifer berdiri dan meninggalkan 2 tubuh yang tergeletak di lantai itu.
“Ah Jhenn... satu lagi...” Jhennifer memperlambat langkahnya mendengar suara Rega dari earphonenya yang terdengar kawatir.
“Apa?”
“Bisa tolong cari Kak Renanda juga?”
Langkahnya pun seketika terhenti dan kekawatiran tampak di wajahnya. Ia mungkin gadis yang arogan tapi, tak sekali pun ia menyepelekan buah pikir Rega.
“Ok” Ia tak bertanya balik, karena ia kurang lebih paham apa yang dikawatirkan Rega.
“Jhenn...”
“Apa lagi?”
“Tolong jangan asal serang sama jangan sembrono. Laporkan saja kalau kamu tahu, jangan ambil keputusan sendiri. Tolong.”
“Hehhh~ sampai kamu minta tol-”
“Iya, jadi tolong... tolong banget...”
Jhennifer menggigit bibirnya saat ia mendengar rintihan permintaan serius Rega padanya. Ia tahu betul kalau Rega selama ini hanya sok asyik dan berpura-pura bodoh di depan orang lain. Mendengar rintihan permintaan Rega yang serius itu, membuat wajahnya berubah.
“Ok. Enggg... bateraiku cepat habis, jadi aku putus ya group-callnya... nanti baru aku telefon lagi kalau ada kabar ok?”
“Ok, hati-hati...”
Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana denim hitamnya untuk memutus panggilan dan melakukan beberapa pengaturan. Tak lama ia pun mengembalikan ponsel itu pada tempatnya, setelah ia mengaktifkan mode pesawat.
Jhennifer mulai melanjutkan langkah lagi. Temponya tak begitu cepat tapi, setiap langkahnya terasa berat. Ketakutan, kekawatiran, amarah, dan kebencian tercampur secara homogen di matanya.
“Maaf Rega... kalau aku sampai lihat hal yang terlalu memuakkan, aku...”
Warna biru cerah pada matanya perlahan menjadi lebih gelap tiap langkah yang ia ambil.
∞∞∞
Sekarang sudah pukul 19.30 dan kami pun sudah mencapai target kami.
“Ke sana sekarang?”
“Ok Om.”
Kami langsung bergegas menuju markas, yang sebelumnya buka milik kami. Seperti kemarin malam, kami ke sana lewat tembusan belakang rumah sakit. Bedanya, sekarang aku tak perlu pura-pura terkapar.
Kalau kuamati lagi... rumah sakit ini, entah bagaimana, besar. Yang aku tahu, 13 tahun lalu ada wabah virus yang mengharuskan pengidapnya di isolasi terpisah, jadi banyak rumah sakit yang diperbesar dan dibangun. Tapi 5 tahun lalu, rumah sakit ini melakukan perluasan lagi padahal wabah itu sudah mereda tahun 2021 akhir.
Aku tak begitu mengerti alasannya... ini bukan kota besar seperti Surabaya dan Jakarta yang memang membutuhkan rumah sakit yang besar karena jumlah penduduknya yang banyak pula. Lalu kenapa mereka memperluasnya? Kenapa mereka seperti sudah tahu kalau hal seperti ini akan terjadi... rumah sakit ini sekarang hampir penuh. Broker? Tapi, bahkan paranormal itu baru mendeklarasikan ramalannya awal tahun 2033 ini.
Sial, itu terlalu sulit ditebak. Mungkin memang dunia ini terlalu menyilaukan sampai orang biasa sepertiku tak bisa melihat kalau mungkin ada bayangan yang bersembunyi dimana-mana.
“Tunggu di sini! Aku saja yang masuk dulu.”
“Ok Om.”
*Knockkk... knockkk...
“Metal-healer!”
*Kriekkk...
Om Dika memasuki rumah itu dan setelah beberapa saat ia kembali keluar. Ia memberi isyarat dengan tangannya yang membentuk angka nol. Apa ia mengajakku bermain menjadi polisi?
Aku pun mengikuti. Aku merundukkan badanku dan mengendap-endap menghampirinya. Lalu aku berguling ke depan saat memasuki pintu.