Reverse Orbital: Hospital of Terror

Hamar Tama
Chapter #21

Harga Utama

“Masih sanggup heal dia?”

“Oh, ayolah. Kita di sini ditugaskan untuk menjaganya dari rombongannya, bukan untuk menyiksanya. Kalau dia sampai mati sekarang, bos akan marah. Dia juga ingin menyiksanya.”

“Tapi bukannya kau juga menikmatinya?”

“Tchhh... ok, sekali lagi. Tapi jangan sampai ada luka yang terlalu dalam, bakal susah menyembuhkannya.”

“Santai...kalau begitu tak perlu menyembuhkannya dengan sempurna kan?”

*Crasss... Cshhh...

“ARRGGHHHH!”

“HAHAHAHAHA”

“Sialan, kau memang benar-benar menjiwai untuk jadi teroris ya hahaha.”

“Tidak, bukan cuma aku, tapi kita hahahaha.”

Sial, ini begitu menyakitkan.

“Bunuh saja aku sia-”

*Plakkk

“DIAM!”

“Membunuhmu? Kita tak memberimu kematian yang mudah hahahaha”

“Kau pantas untuk ini, dasar bocah.”

Ini benar-benar menyakitkan. Mataku diiris dengan silet dan daguku dibakar dengan korek api. Sudah seperti ini sejak saat mereka menangkapku. Meski, hari ini lebih baik karena hanya ada dua orang.

Mereka mengiris, memotong, membakar, memukul, menendang, mengencingi wajahku, menusuk pahaku dengan bolpoin, mengupas kuku tanganku, mereka... melakukan semua hal yang bisa mereka pikirkan untuk menyiksaku. Bagaimanapun, healer ini cukup kompeten untuk menyembuhkan luka-lukaku ke keadaan semula.

Sampai kapan ini berakhir? Kapan mereka akan benar-benar membunuhku?

“NANGIS!!”

*Jlebbb

“ARRGGHHH”

“Kenapa nggak nangis-nangis? Apa aku harus menusuk matamu tiap kali biar kamu nangis?”

“Hahaha ya... tusuk saja terus. Nggak asyik kalau dia nggak nangis.”

*Jlebbb... jlebbb...

“ARRGGHHHHHH!”

“Hahahahahahaha”

“HAHAHAHAHAHA”

Kapan aku akan kaubunuh?

Aku sudah cukup dengan ini...syukurlah mereka juga sudah bebas. Makasih, Jhenn.

Mungkin ini bayaranku untuk tiap kegagalan yang kulakukan. Untuk tiap orang yang aku tipu. Untuk tiap orang yang kukorbankan. Untuk egoku. Tapi...mungkin ini juga jawaban awal atas doaku.

Tahan Rega, mereka nanti juga akan membunuhmu pada akhirnya. Jadi, tahan saja...

*Bruk...

“WOY, siapa yang suruh jatuh?”

*Prakkk

Ya, ini penebusan dosaku. Ini lebih baik dari pada hidup sebagai orang gagal. Kehidupan hampa tanpa sebuah penggerak...bukankah itu sudah seperti mati?

Aku sudah menduganya. Kesialanku, dan kesepianku...sudah cukup. Toh tiap kegagalan yang kualami juga sebenarnya karena kelemahanku. Aku gagal dalam tiap kompetisi karena aku lemah. Tekadku lemah.

Aku selalu menyerahkannya pada mereka yang benar-benar menginginkannya. Mereka yang dimatanya penuh dengan semangat juang untuk menang...beda denganku. Mereka punya orang yang mereka sayangi, juga orang yang menyayangi dan menyemangati mereka...tidak denganku.

Apalah arti menang, menjadi juara, beragam piala, beragam sertifikat, menjadi rangking teratas, dan beragam pujian dari orang lain...kalau aku tak punya seseorang yang kuajak berbagi kesenangan.

Seperti yang dia bilang waktu itu ya... hampa. Mama...papa...kenapa kalian tidak di sana untukku...

“Hey hey hey, lihat! Di akhirnya nangis sendiri hahahaha.”

“Whoaaa, hahahahaha, YA...YA! INI YANG AKU TUNGGU!”

*Prakkk... Bukkk...

Kenapa kalian, selalu dingin...

Kalian jarang pulang ke rumah, meski begitu... setiap aku memiliki waktu untuk berbincang dengan kalian, tak pernah sekali pun kulihat adanya ketertarikan di wajah kalian. Apa aku sebegitu tidak pentingnya bagi kalian?

Kalian memberiku uang. Kalian memberiku banyak fasilitas. Kalian memberiku kebebasan yang mungkin membuat anak seusiaku iri, tapi...apa artinya kalau aku tak memiliki kalian di sisiku?

Rumah itu begitu terang. Lampu dan peralatan elektronik yang kalian berikan mamang membuatnya terlihat berkilauan. Itu tidak begitu besar, malah, aku rasa itu pas untuk ditinggali tiga orang. Tapi, untuk apa semua itu kalau kalian tidak di sana?

Aku selalu membersihkannya setiap waktu. Hanya untuk berjaga-jaga kalau kalian pulang dimalam hari saat aku tertidur. Jadi keesokan paginya, aku bisa melihat senyum bangga kalian terhadapku. Tapi, semakin aku membersihkan dan merapikan perabotan pada tempatnya, semakin rumah itu terasa kosong.

Bahkan jika itu sangat terang, bahkan jika itu sangat bersih, rumah itu...lebih terasa seperti rumah berhantu. Hanya ada aku dan imajinasi samarku tentang kalian yang tinggal di dalamnya.

Kenapa kalian tidak pernah mengajakku bicara? Kenapa ekspresi kalian selalu datar? Kenapa tangan kalian selalu dingin?

Aku sudah lupa suara kalian. Aku hampir lupa rupa wajah kalian. Aku hampir lupa kapan terakhir kalian tersenyum padaku. Aku hampir lupa kehangatan tangan kalian...

“WOY! STOP! Sudah cukup, dia kelihatan hampir mati.”

“Sial. Ok sembuhkan dulu dia!”

“Hahhh, ok. Aku juga mulai menikmatinya waktu dia nangis tadi hahaha.”

“Hahaha, ya kan? Menghibur kan?”

Kehangatan ya...kalau kuingat, Kak Renanda dan Kak Yolanda pernah mengelus kepalaku ya...

Terima kasih. Bahkan jika itu singkat, setidaknya aku merasakan kembali kehangatan dari tangan mereka. Jadi, kuharap kalian baik-baik saja sekarang...

Ah... pandanganku mulai buram...

“Ok selesai. Tapi ini yang terakhir ok? Dia sudah kehilangan banyak darah, aku kawatir kalau dia mati sebelum bos bersenang-senang dengannya.”

“Ok, kalau gitu tulangnya saja...”

*Crackkk

“ARGHHHHH!”

“HAHAHAHAHA”

*Crackkk...prakkk

Sial, ini sakit. Buram sekali...

Lihat selengkapnya