Ketegangan masih terjadi di area depan rumah sakit antara para polisi dan 3 teroris. Meski begitu, hanya bos teroris yang turun tangan dan bersiaga terhadap serangan polisi, sementara 2 anak buahnya hanya menahan sandera. Mereka juga menggunakan earphone di telinga mereka masing-masing untuk berkomunikasi dengan rekannya.
“Bos, kata mereka, orang-orang itu lari ke arah gudang. Di sana juga ada 2 truk pemadam yang bisa kuta ambil untuk kabur.”
“Ok. Kita ke sana sekarang!” Mereka langsung berlari menuju bangunan rumah sakit meninggalkan puluhan polisi yang hanya terdiam melihat kepergian mereka.
Para polisi itu tak bisa asal menembak tanpa perintah, karena teroris masih membawa sandera bersama mereka.
“HEI!! LEPASKAN SANDERANYA!!”
Para teroris tak menggubris, mereka terus berlari.
“TEMBAK MEREKA!!”
*Dor... dor... dor... Peluru pun akhirnya ditembakkan, namun, dataran tanah seketika terangkat dan membentuk bentangan tembok menghentikan peluru mereka.
Tembok itu memiliki tinggi sekitar 4 meter dan terbentang dari ujung kanan hingga ujung kiri area depan rumah sakit, menutup jalur masuk para polisi untuk menuju gudang di bagian belakang.
“Pak?”
“Tunggu! Kita tidak bisa dengan sembrono mengikuti mereka. Siapkan saja blokade di gerbang masuk dan keluar rumah sakit.”
“Tapi sanderanya...”
“Gracenya itu... mungkin akan lebih berbahaya kalau di dalam bangunan. Butuh berapa korban lagi untuk menyelamatkan 2 sandera? Itu pun kalau kalian langsung dibunuh. Bagaimana kalau malah kalian yang dijadikan sandera oleh mereka? Butuh berapa banyak korban lagi?”
Para polisi terdiam mendengar ucapan komandan mereka.
“Yang bisa kita lakukan sekarang hanya berharap pada mereka.”
“Mereka?”
“Orang-orang yang memakai sweter hitam dan masker N95 tadi. Mereka menyebut diri mereka, Grace Enforcement.”
“Tapi... menyerahkannya pada mereka... lalu kita ini untuk apa?”
Komandan itu, tersenyum mendengar penyesalan yang diucapkan oleh salah satu anak buahnya.
“Aku tak melarang, kalian bebas memilih. Kalau memang siap mati, pergilah untuk membantu mereka. Biar aku yang bertanggung jawab atas kematian kalian nantinya.”
Mereka terdiam, tak seorang pun berani menjawab tawaran komandan itu. Entah karena mereka memang tak memiliki saran pilihan yang lebih baik atau hanya sudah pasrah dan menyerahkannya pada Grace Enforcement setelah banyaknya rekan mereka yang gugur.
Hal yang sama juga di rasakan oleh para jurnalis yang melihat dari kejauhan. Komandan itu tak mengatakannya dengan keras tapi, keheningan yang mereka ciptakan tadi, membuat ucapannya terdengar sampai kejauhan. Alhasil, rasa putus asa yang dirasakan oleh polisi, juga dirasakan oleh para jurnalis.
“uoooOOOOHHHH!!!” Satu dari polisi berteriak dengan kencang, dan berlari keluar barisannya menuju jalur pelipir yang terhubung ke gudang.
“PERSETAN DENGAN GRACE! AKU POLISI!!!”
Mungkin itu hanya teriakan semangat yang impulsif tapi, ucapannya menggema di hati orang-orang di sekitarnya. Tanpa teriakan balasan, yang lain pun menyusul. Gemuruh langkah memenuhi tempat itu, meninggalkan komandan mereka sendirian.
“Tunggu... he tunggu... kalau begini siapa yang buat blokade... WOYYY!” Teriak komandan mereka, namun tak satu pun menghentikan langkahnya.
*Puk... Komandan itu terkejut oleh sentuhan tangan yang menepuk bahunya. Saat ia menoleh ke belakang, ia melihat seseorang dengan sosok yang tinggi besar.
“Bagaimana kalau aku dan orang-orangku saja?”
“Ha? L- Letkol Adji?!!”
“Aku hanya bawa 2 peleton sih... tapi truk kita sepertinya bisa digunakan untuk memblokir jalan. Aku juga sudah meminta beberapa orang untuk bersiaga di luar tembusan belakang rumah sakit.”
“SIAP! Terima kasih, Pa- Letkol!”
“Ayolah, ini lahan bermain kita. Enggak perlu terlalu formal, Leo.”
“Lahan bermain ya... hahaha Mas Adji memang enggak pernah berubah.”
“Hahahaha tapi... pasukanmu memang hebat, sampai komandannya sendiri di tinggal hahaha.”
“Ya, mereka memang bikin mal-”
“Enggak, kita semua memalukan. Mereka curi pertunjukan kita, dan fakta kalau itu malah pilihan yang terbaik...”
*Grttt...
“Jadi, Mas Adji sudah tahu tujuan mereka ya? Mereka memang, sengaja membiarkan gudangnya meledak. Mereka sengaja membiarkan rasa teror ini terpublikasi.”
“Ya, mereka mencoba mengatakan sesuatu yang sulit untuk kita katakan. Mereka... ingin mendeklarasikan ke pulik kalau instansi penegak hukum khusus perlu dibentuk kan? Grace Enforcement... Aku lega, tapi...”
*Grttt...
“Owww, sabar Mas. Kalau mau ikut tinggal ikut kan?”
“Ah maaf. Kalau aku ke sana, itu akan mengganggu mereka. Biar aku tetap di sini, berkorban nama baikku.”
Cengkeraman tangannya pada bahu polisi itu semakin kuat, dan itu juga berlaku pada tatapan tajamnya pada pertarungan yang tak bisa ia lihat.
∞∞∞
Tiga orang teroris berjalan menyusuri lantai 1 rumah sakit untuk menuju gudang. Di tempat itu, hanya cahaya redup dari lampu portabel yang mereka bawa lah satu-satunya sumber cahaya yang menerangi.
*Tap...
“Bos, ada orang di sana.”
Karena kurangnya penerangan, hanya suara langkah yang samar itu lah, yang memberi tahu mereka kalau ada seseorang di depan mereka.
“Sial, kita dihambat depan belakang... Serang saja!”
*Tap...
“Ok.”
*Whusss... whusss... Satu dari teroris itu menggunakan grace anginnya untuk menyerang secara acak dan brutal ke arah sosok yang belum terlihat di depannya.