Sudah berakhir. Aksi terorisme di rumah sakit Delta Candra sudah berhasil ditumpaskan oleh Grace Enforcement.
“Permisi Pak, Buk, boleh saya bertanya?” Massa mulai mengitari mereka saat para polisi sudah memastikan tidak adanya tanda bahaya di area itu.
“Ya, silakan...” Jawab Dika dengan tegasnya.
“Bagaimana pertarungannya Pak? Apa ada yang terluka dari pihak Anda?”
“Itu tadi sangat mengerikan. Grace mereka sangat mengerikan karena bisa membunuh banyak orang dalam sekali serang. Syukurlah, tidak ada korban jiwa dari kamu. Luka yang kami alami pun sudah berhasil disembuhkan.”
“Kenapa Anda sekalian bersedia melakukan ini? Bukankah nyawa kalian juga dipertaruhkan?”
“Karena kami merasa kalau teroris itu nantinya juga akan meledakkan rumah sakit ini pada akhirnya. Kami tak bisa membiarkan orang yang tidak bersalah jadi korban untuk kepentingan pribadi suatu kelompok. Meski begitu...” Dika sudah tahu apa yang ingin ia ucapkan, namun ia berhenti.
Para jurnalis kebingungan dengan keheningan yang Dika lakukan. Penasaran dengan ucapannya yang tidak lengkap, mereka bertanya.
“Meski begitu?”
Merasa dipojokkan, hal yang bisa ia ingat hanyalah mandat Jhennifer dan cara pandang Rega terhadap masalah ini. Ia pun akhirnya yakin, dan kembali merangkai kata dalam benaknya.
“Meski begitu, tidak bisa dipungkiri kalau tindakan kami ini memakan korban. Entah itu dari kepolisian, militer, rekan jurnalis, para sandera, maupun warga sipil yang tak sengaja terlibat. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya atas ketidakmampuan kami menghindari hal itu.” Balas Dika. Suaranya masih terdengar keras, namun tak setegas yang sebelumnya. Ucapnya mulai bergetar.
Tak seorang pun dapat menyangkal itu. Mereka terdiam untuk beberapa saat, melihat pahlawan mereka merasa bersalah akibat aksi kepahlawanan yang mereka lakukan.
“Apa yang membuat warga sipil seperti Anda sekalian nekat untuk itu?”
“Saya bukan warga sipil.”
Dika pun membuka maskernya. Mengetahui hal itu, Rehan juga melakukan hal yang sama.
“DIKA?! REHAN?!” Teriak beberapa polisi dari kejauhan.
“Saya adalah polisi.”
Mereka semua terkejut baik para jurnalis, maupun para polisi. Satu-satunya orang yang tahu tentang keberadaan Dika dan Rehan dibalik masker itu hanyalah komandan mereka, Leo.
“Apa?! Apa ini juga termasuk rencana kepolisian?”
“Tidak. Hanya kami berdua yang terlibat. Tindakan kami bukanlah atas nama besar kepolisian, ini murni tindakan hasil hati nurani kami. Kerugian dan korban jiwa, juga sepenuhnya tanggung jawab saya sebagai representatif dari Grace Enforcement.”
Lagi, orang-orang di sekitar terdiam mendengar pernyataannya. Para jurnalis tak tahu, harus menggiring opini untuk menjunjung, atau menyalahkan tindakan mereka.
“Jadi, untuk apa pun itu... salahkan saya atas tindakan sembrono ini. Saya sudah siap untuk bertanggung jawab. Entah itu hanya di keluarkan dari kepolisian, maupun dipidana. Sekali lagi, saya minta maaf untuk kerugian dan korban jiwa yang disebabkan oleh tindakan saya yang sembrono. Saya benar-benar min-”
“Kalau begitu aku juga harus ikut dihukum kan? Aku juga luput dan tidak bisa melindungi mereka.” Seseorang menyela dari samping wawancara wang mereka lakukan. Semua kamera pun langsung menyorot sosoknya.
“Letkol Adji?!!” Sahut kaget para jurnalis.
“Jangan serakah. Dia anggotaku, jadi harusnya aku yang ikut dihukum.” Seorang lagi muncul di balik Letkol Adji.
“Kombes Pol Leo?!!”
“Sudah banyak korban jatuh dari pihak kami, tapi kami masih kesusahan menghentikan para teroris. Jika teroris memang berniat meledakkan rumah sakit dan mereka tidak di sini, aku tak tahu berapa banyak korban yang akan jatuh.”
“Pak Leo...”
“Aku tak bermaksud untuk mengabaikan banyaknya jumlah yang gugur, tapi bagiku, mereka adalah pahlawan yang sudah mencegah bertambahnya jumlah itu.”
*Drap drap drap... Gemuruh suara langkah terdengar dari kejauhan. Orang-orang pun berdatangan menghampiri mereka dari jalur pelipir.
“Ini dia... Giliranku sudah selesai. Biarkan orang-orang itu, para sandera dan kerabat untuk menyampaikan sesuatu pada mereka. Entah itu umpatan, cacian, sanjungan, atau hanya sekedar terima kasih, tolong rekan-rekan jurnalis siarkan adegan ini!” Pinta Leo pada para jurnalis.
Puluhan massa itu pun mengelilingi mereka. Beberapa dari mereka berterima kasih, beberapa mengumpat pada tubuh tak bernyawa para teroris, dan beberapa malah menyerahkan poin yang masih mereka miliki kepada Dika dan yang lainnya. Tak satu pun, dari banyaknya orang itu yang mengungkapkan kebencian dan sesal terhadap mereka.
Salah seorang jurnalis pun akhirnya menanyakan sesuatu yang tak terlintas di benak yang lainnya.
“Pak, apa kelompok Anda ini memiliki sebuah sebutan.”
Andika menyeringai dibalik maskernya. Sesuatu yang ia tanyakan saat rapat mereka tadi, akhirnya ditanyakan oleh orang lain. Di tegah mereka, Dika menatap yang lainnya satu-persatu lalu menjawab pertanyaan jurnalis itu.
“Ya. Kami adalah, Grace Enforcement!” Jawab Dika dengan tegas.
Di waktu yang bersamaan, 9 orang lainnya pun membuka masker N95 mereka.
∞∞∞
Jam menunjukkan pukul 23.00. Sepasang remaja, merebahkan tubuh mereka di dalam kamar sebuah hotel. Yang putra di atas sofa, dan yang putri di atas kasur. Mereka berdua menyaksikan berita yang tersiar pada TV di hadapan mereka.
“Kok... kayak déjà vu ya Jhenn?”
“Itu bukan déjà vu namanya kalau memang pernah dialami.”
“Nah, kamu benar. Ini cuma kejadian yang terulang ya?”
“Yup.”
Rega menoleh Jhennifer dengan pandangan sinisnya untuk beberapa saat. Ia mencoba menyindir namun tak mempan. Di sisi lain Jhennifer yang merasa diserang pun membalas, lagi.
“Hmmm... kamu tahu, jarang lo hotel kasih izin buat anjing ikut masuk kamarnya. Hmmm... kenyataan kalau aku biarkan dia tiduran di sofa juga... aku kok tumben murah hati ya... Harusnya kamu bersyukur, Rega.”
“Ya ya ya, ini memang bukan déjà vu.”
“Nah, benar kan?”
“Hmmm... Arogansimu memang nggak ada obatnya. Disindir malah bangga.”
“Ya karena aku bangga sama sifat aroganku.”
“Pfftt- hahahaha” Meski tak saling memandang, tawa mereka berdua lepas di waktu yang bersamaan, setelah sempat hening untuk beberapa detik.
“Hahahaha, kamu memang begini ya...”
*Nginggg... Jhennifer yang sudah selesai dengan tawanya, membalikkan tubuhnya ke samping. Ia memanggil pedang cahaya dan menatap tajam ke arah Rega.
“Hei... aku masih bisa kabulkan harapanmu.”