Rêveuse

Delana Siwarka
Chapter #2

[1] - Seth

Lei…

Lei mengernyit pelan.

Lei...

Suara yang tadinya samar itu semakin lama semakin jelas. Apa hari sudah pagi? Cepat sekali, perasaan baru sebentar saja Lei memejamkan mata, dan sekarang dia sudah harus bangun dan memulai harinya yang monoton dan membosankan.

Lei! Bangun, Lei!

Lei mengerang pelan. Dia tahu dia harus bangun, tapi seluruh tubuhnya terasa kaku sekali. Tidurnya terasa sangat nyenyak, sudah lama sekali Lei tidak merasakan tidur senyenyak ini.

Rasanya seperti tidak ingin bangun dari tempat tidurnya yang empuk.

Lei…kamu harus bangun.

Hmm…sebentar lagi, Ibu. Biarkan Lei tidur sebentar lagi saja, lima menit lagi.

Tidak bisa, Lei, kamu tidak boleh tertidur lagi. Sudah waktunya bagimu untuk bangun.

Iya, Ibu, lima menit lagi.

Tidak boleh, Lei, kamu harus bangun sekarang. Dunia membutuhkanmu. Dia membutuhkanmu.

Dunia? Dia?

Lei mengernyit semakin dalam. Kesadaran perlahan menyelinap ke balik otaknya.

Suara yang memanggil namanya sedari tadi bukan suara Ibu, melainkan sebuah suara yang jauh lebih feminim dan lembut. Suara yang sama sekali tidak Lei kenal, tapi anehnya terasa sangat familiar.

Rasanya seperti suara yang sudah lama sekali tidak dia dengar.

Perlahan, Lei berusaha menggerakkan ujung jemarinya. Seluruh tubuhnya terasa kaku sekali dan sekaligus terasa sangat segar. Udara yang Lei hirup terasa berbeda. Entah hanya perasaannya saja atau apa, tapi Lei merasa seperti terlahir kembali.

Terdengar suara seperti benda besar yang jatuh, kemudian disusul dengan suara nafas yang tercekat.

Lei mengerang pelan, sebelum akhirnya membuka kelopak matanya perlahan. Dan langsung memicing tatkala mendapati seberkas cahaya mentari yang menusuk irisnya langsung.

Ia mengerjap pelan dan mengambil beberapa nafas panjang untuk membuat pikirannya lebih sadar. Dan kemudian terkesiap ketika menyadari dia sedang berada di sebuah ruangan yang tidak dia kenal sama sekali.

Ruangan itu besar dengan langit-langit yang menjulang tinggi. Atapnya terbuat dari kaca yang didesain dengan pola yang sedemikian rupa sehingga cahaya yang masuk dapat terbiaskan hingga mencapai keseluruhan ruangan.

Dan di tengah ruangan semegah dan se-estetik itu, Lei terbaring.

Seluruh tubuhnya terasa sangat kaku, seperti sudah tidak digerakkan selama entah berapa lama.

Perlahan, Lei mencoba menggerakkan jemarinya. Dan detik itu juga, sebuah sirene bergaung, suaranya menggema memenuhi ruangan tempat Lei terbaring, meneriakkan nada penuh peringatan.

Sebuah pergerakan kecil membuat Lei refleks menoleh ke sebelah kirinya, dan seketika itu, ia terkesima.

Matanya bertumbukan dengan iris coklat paling jernih yang pernah Lei lihat dalam seumur hidupnya. Laki-laki yang sedang balas memandangnya dengan tatapan takjub bercampur kalut itu berusia sekitar dua puluhan, dengan seragam aneh, tebal dan megah berwarna hitam yang membungkus tubuhnya yang menjulang tinggi.

Belum lagi dengan helaian rambut hitam legam yang disisir dengan rapi ke atas, dengan beberapa helai yang jatuh menutupi keningnya yang berkerut dalam.

Tapi…kenapa laki-laki itu terlihat sangat kaget melihat Lei?

Dan lagi, di atas semua itu, kenapa dia ada disini? Siapa laki-laki itu? Kenapa dia adalah orang pertama yang Lei lihat setelah membuka mata? Bukannya semalam dia sedang tidur sambil menangis? Lalu kenapa dia bisa sampai kesini?

Pertanyaan itu memenuhi benak Lei sedemikian kuatnya hingga sebuah serangan sakit yang tajam menusuk kepalanya, membuatnya mengerang kesakitan.

Tubuh laki-laki itu tersentak pelan, sebelum ia perlahan mengambil satu langkah mendekat ke arah Lei.

Lei ingin mengurut pelipisnya, namun tangannya belum bisa digerakkan. Suara sirene yang masih bergaung keras itu semakin membuat kepala Lei sakit.

Seakan mengetahui rasa tidak nyamannya, laki-laki itu menekan sesuatu di lengannya. Suara sirene itu lenyap, berganti dengan keheningan yang nyata.

Lihat selengkapnya