Rêveuse

Delana Siwarka
Chapter #3

[2] - 398 Tahun

Indah.

Lei tidak pernah menatap matahari tenggelam seindah ini. Warna jingga kebiruan mewarnai ufuk langit, bersamaan dengan sang penyinar yang sudah hendak beranjak dari muka bumi, meninggalkan jejak warna yang sangat memukau di langit.

Lucu rasanya. Dulu, Lei tidak pernah mengamati matahari terbenam seperti sekarang. Dia terlalu sibuk untuk buru-buru pulang ke rumah sebelum Ibu mencarinya.

Dan sekarang, ketika Lei berada di situasi yang sama sekali tidak disangkanya, ia malah mendapati dirinya mengagumi salah satu momen terbaik itu.

Tiga ratus sembilan puluh delapan tahun.

Bisakah Lei percaya itu semua? Sudah selama itu dia tertidur, di ruangan tadi, yang disebut sebagai ruangan rahasia di jantung kapital dengan penjagaan yang sama ketatnya dengan Presiden.

Rasanya semuanya tidak nyata. Lei merasa melayang, seperti layaknya berada dalam mimpi. Seth, orang-orang mengerikan tadi, bahkan sampai ke pemandangan indah yang Lei lihat.

Seperti saat ini, Lei sedang berdiri di pinggir atap ruangan tempat ia tertidur. Ia melongok ke bawah, ke arah jalanan asing yang ramai akan orang yang berlalu lalang. Hanya palang pembatas setinggi pinggang satu-satunya benda yang menahan tubuh Lei untuk tidak terjun bebas ke bawah.

Kalau dia jatuh dari sana, apakah dia akan mati?

Bisakah ia mati, ketika ia bahkan sudah bertahan hidup selama beratus-ratus tahun tanpa makan dan minum?

Lei ini…apa? Kenapa Seth menyebutnya reinkarnasi Dewi Zephyra?

Lei hanya seorang gadis biasa di pinggir kota dengan hidup yang monoton setiap harinya. Satu-satunya hal yang telah ia lakukan adalah berdoa kepada Sang Dewi agar ia tidak bangun keesokan harinya.

Dan Dewi Zephyra mengabulkan permohonannya.

Haruskah Lei senang? Karena dia sudah bebas sekarang, bebas dari keinginan dan kekangan kedua orangtua-nya? Bebas menentukan jalan hidup seperti apa yang Lei mau?

Apakah Lei merasa senang saat ini?

Entahlah…seperti yang tadi Lei bilang, dia merasa tengah mengambang dalam mimpi. Mimpi yang sangat amat panjang.

“..n Putri…!!”

Dari kejauhan saja, Lei sudah bisa mendengar derap langkah kaki yang mendekat, sekaligus suara seorang laki-laki yang selalu memanggilnya dengan sebutan ‘Tuan Putri’.

“Tuan Putri!” Seth berdiri tepat di belakangnya, nafasnya tersengal hebat. “Saya—hh…saya mencari Anda dari tadi. Saya kira Anda…menghilang.” Seth menghembuskan nafas panjang, sebelum akhirnya membelalak kaget. “T-Tuan Putri, apa yang Anda lakukan disana?” tanyanya ngeri. “Menjauh dari ujung palang, Tuan Putri.”

Lei memutar bola mata.

Tapi karena seumur hidupnya, Lei selalu menuruti semua perkataan orang tuanya, maka kali ini juga secara refleks, Lei menuruti perkataan Seth untuk menjauhi palang pembatas.

Ia mundur selangkah, kemudian duduk disana.

Seth menghembuskan nafas lega, sebelum melangkah menghampiri Lei, berdiri tepat di sebelahnya.

“Apa yang Anda lakukan disini, Tuan Putri?”

Lei bergeming, hanya menatap ke depan.

Seth terdiam sejenak. “Apakah Anda lapar? Saya bisa membawakan makanan untuk Anda. Apa saja.”

Lei menghela nafas lelah dalam hati. Apakah ia masih perlu merasa lapar bahkan ketika ia belum makan selama 398 tahun?

“Hngg—“ Seth menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. “Ah! Matahari tenggelam ini sungguh sangat indah, bukan? Saya juga sering mengamatinya dari sini.” Seth tertawa kecil.

Namun tawanya memudar tatkala Lei masih tidak bereaksi sama sekali.

Seth bingung. Tidak tahu lagi apa yang harus dia katakan. Menghadapi seribu musuh bersenjata lebih mudah daripada menghadapi Tuan Putri berwajah datar di hadapannya ini.

“Tuan Putri…” Seth menghela nafas. “Kalau Anda bersedia, ada seseorang yang ingin menemui Anda.” Akhirnya Seth memutuskan untuk langsung menyatakan tujuannya.

“…”

Seth mengulurkan sebelah tangannya di depan wajah Lei. “Saya mohon kesediaan Anda untuk datang menemui Presiden kami.” Ia menunduk dalam-dalam.

Lei tersentak pelan. Fakta bahwa ia berada di kota yang paling ingin didatangi semua orang sudah cukup membuatnya kewalahan, dan sekarang…Presiden ingin menemui Lei?

Tanpa sadar, sedari tadi Lei sudah mengamati tangan yang terulur di depannya. Tangan Seth yang diselimuti sarung tangan berwarna senada dengan seragamnya. Hitam.

Seth yang menyadari itu tersenyum tak enak hati. “Maafkan saya karena menggunakan tangan kiri.” Lei melirik tangan kanan Seth yang tersembunyi di belakang punggungnya. “Tangan kanan saya…tidak layak saya gunakan untuk menyentuh Anda, Tuan Putri.” Ringisnya.

Lei tidak bertanya lebih jauh. Dia tidak mau tahu.

Menghela nafas, Lei meletakkan tangannya dengan perlahan di tangan Seth.

Dia…tidak punya pilihan lain lagi, bukan?

***

Lei merasa sangat tidak nyaman.

Bangunan besar kediaman Presiden tidak jauh dari tempat Lei berada. Bahkan tempatnya dihubungkan dengan sebuah penghubung berupa jalan penyeberangan yang besar. Orang-orang penting berlalu lalang kesana kemari, membawa berkas-berkas berat dan terlihat sangat sibuk. Begitupun juga dengan para pengawal yang selalu ada di setiap belokan yang Lei ambil. Wajah mereka datar dan tidak bersahabat.

Yang membuat Lei merasa mual adalah tatapan mereka. Ketika mata mereka menemukan Lei, langsung Lei bisa menangkap kilat ketakutan dan hormat disana.

Mereka menundukkan kepala, tidak berani mengadu pandang dengan Lei. Bahkan mundur beberapa langkah ketika Lei berlalu dari hadapan mereka.

Perlakuan berlebihan itu membuat Lei pusing seketika.

Lihat selengkapnya