Di Desa Gulistan, matahari pagi sudah menjulang tinggi di atas perkebunan tebu. Shirin, gadis kecil berusia sembilan tahun, berbaju rok putih berjumbai yang tampak sesuai dengan piyama chooridaar-nya, dengan rambut pirang keriting berayun di sekitar bahunya, melompat-lompat di sepanjang jalan setapak berdebu menuju tempat favoritnya—gundukan tanah sarang rayap.
Sambil mendorong-dorong pinggirannya yang tebal dengan tangan mungilnya, gadis itu dengan riang memandangi gundukan tanah itu; benda mirip wadah saringan yang dipenuhi lubang yang mirip bintik-bintik. Kemarin dia dengan gembira memandangi ratusan semut lincah yang berkerumun dan berjalan berkelak-kelok keluar dari kerak bagian luar yang kering dan mirip kue.
Karena merasa kecewa, Shirin dengan agresif menyodok-nyodok lubanglubang itu dengan ranting yang tajam. Kerak kecil yang dipenuhi lusinan ‘binatang ganas’ kecil itu jatuh ke tangannya. Sambil menjerit, gadis itu menjatuhkan kerak tadi. Barisan semut kecil itu berebut keluar dari lubang-lubang, kerumunannya yang berubah kacau berjalan menuruni gundukan yang kini terpanggang sinar matahari.
Gadis kecil itu terkejut saat mendengar suara tapak kaki kuda dan teriakan bernada mendesak itu, “Minggirlah, Nak!”, sehingga dia tersandung batu.
Shirin jatuh tepat ke atas rerumputan dan gerumbulan semak belukar, durinya yang tajam menusuk pahanya yang lembut. Sambil menjerit kesakitan, gadis itu berkedip memandang kaki-kaki kuda putih yang menjulang itu. Si penunggang kuda, yang berambut tebal dan berwarna cokelat kemerahan yang berkilat di bawah sinar matahari pagi, membelalak ke bawah ke arah gadis itu. Bibir bawah Shirin gemetar, pandangan matanya buram. Kemudian, Ali, penunggang yang lain, muncul, berhenti dengan kasar di dekat si gadis kecil itu, menggenggam tali kekang dengan erat. Anak gadis itu!
Lelaki berambut cokelat kemerahan tadi menarik tali kekangnya dengan keras dan menghela kudanya ke arah desa, meninggalkan awan debu pagi yang hangat dan berembun di belakangnya.
“Kau tidak apa-apa, piari shahzadi?” tanya Ali lirih.
Suaranya yang bernada lembut dan kata-katanya yang penuh perhatian, ‘putri cantik’, membuat air mata Shirin berhenti mengalir.
Karena tergerak oleh sikap gadis itu, Ali bertanya, “Maukah kau kuantar pulang?” sambil mengulurkan tangan untuk menarik Shirin hingga berdiri.
“Ali!”
Tangan Ali menggenggam lengan gadis itu kuat-kuat lalu berpaling menatap tuannya. Dengan tubuh gemetar, ekspresi wajah Shirin berubah bingung saat menatap penunggang kuda lain yang sedang menatap mereka dari kejauhan dan gadis itu mengerutkan tubuhnya, menunduk ketakutan sambil memandangi noda yang mengotori baju rok favoritnya.
Dengan mulut cemberut karena kesal, Ali bertanya, “Tidak apa-apa, Tuan Putri?”
Shirin mengangguk, mulutnya mencebil kecil dan kedua bola matanya berkilau biru. Gadis itu menyukai lelaki ini; dia pernah membawakan makanan untuk mereka malam itu dan selalu memanggilnya piari shahzadi.
Puas mengetahui gadis itu baik-baik saja, Ali menghela kudanya melewati jalan setapak menuju alun-alun desa, mencuri pandang ke balik bahunya dan melempar seulas senyuman ramah kepada gadis kecil itu.
Shirin tetap memandang ke depan, hingga dia merasakan sengatansengatan kecil di jemari kakinya yang telanjang. Semut-semut itu berlarian di kakinya.
Sambil merengut marah dan menghapus air matanya dengan punggung telapak tangannya yang mungil, gadis itu mulai berjalan kembali, matanya menatap kuda putih yang perlahan menghilang ke sebuah hawali bercat putih. Tiba-tiba, seorang perempuan muda berjubah lebar dan berkerudung biru pucat melangkah keluar dari pepohonan tebu yang tinggi, mengagetkan gadis kecil itu.
Shirin menatapnya, dan bertanya dengan lugu, “Barusan kau buang air di perkebunan tebu?” Ibu anak itu dulu pernah berkata bahwa dulu orang-orang memanfaatkan perkebunan itu untuk buang air besar pada malam hari atau pagi-pagi sekali.
Sambil tersipu malu, Salma, putri si pembuat selimut kapas, terkejut mendengar pertanyaan itu dan menggelengkan kepala, berusaha menunjukkan senyumannya yang terbaik, dan mulai berjalan di samping gadis itu. Shirin dengan gugup mendongak menatap perempuan itu, penasaran apakah perempuan itu akan bicara. Ketika mereka melewati hawali di alun-alun desa itu, barulah perempuan tadi bergumam, “Kau dan aku dilarang memasuki pintu-pintu tertentu ....” Ujung jemari tangannya menyentuh sepanjang pagar yang berwarna putih. “Pintu-pintu gerbang ini ... tertutup bagimu! Dua pintu di jalanan berikutnya tertutup bagiku.”
Ruang sempit di antara kedua alis Shirin yang indah berkerut. Kata paghal11 tiba-tiba muncul di dalam benaknya. Seolah dapat membaca pikiran gadis itu, Salma bergumam murung. “Aku tidak marah .... Tanya saja ibumu,” Pandangan matanya menyapu bangunan yang mengesankan itu.
Di jalan utama desa itu, menantu perempuan si tukang bangunan yang sedang hamil, yang bibirnya berwarna kemerahan karena sak12-nya dan membawa sebuah keranjang berisi sayuran segar di pelukan lengannya, sedang berjalan ke arah mereka. Tangan yang satu lagi dengan hati-hati menggenggam selendang di sekitar bahunya untuk menutupi perutnya yang membuncit karena kehamilan yang mencapai usia tujuh bulan. Sambil memalingkan wajahnya, Salma mengangkat pinggiran kerudung birunya dengan erat ke dagunya dan bergegas pergi, melindungi perempuan yang satu lagi dari perchanvah, bayangan jahatnya.
Begum, istri Ali, sudah menyiapkan roti paratha13 berbentuk kotak dengan seiris acar mangga di atas nampan chappati14 yang terbuat dari logam.
11 Marah.